RAKYAT MERDEKA — Presiden Amerika Serikat Donald Trump diprediksi tidak akan menerima Nobel Perdamaian (Nobel Peace Prize) tahun ini. Penghargaan bergengsi yang sangat diidam-idamkan Trump itu disebut tidak akan jatuh ke tangannya karena berbagai alasan politik dan moral.
Sejumlah pengamat meyakini Komite Nobel Norwegia tidak akan memilih Trump sebagai kandidat tahun ini.
Profesor hubungan internasional asal Swedia, Peter Wallensteen, mengatakan kepada AFP bahwa Trump mungkin saja bisa mendapatkannya tahun depan, asalkan berhasil menyelesaikan konflik Palestina–Israel yang masih memanas.
“Tidak, pemenangnya tahun ini bukan Trump,” kata Wallensteen.
“Namun mungkin saja tahun depan, jika situasi Gaza benar-benar mereda dan inisiatifnya menunjukkan hasil nyata,” tambahnya.
Menurut Wallensteen, agresi Israel di Gaza menjadi faktor utama yang membuat peluang Trump menipis. Selama konflik itu belum berakhir secara tuntas, kontribusi Trump dalam perdamaian dunia dianggap belum cukup signifikan.
Sekilas Tentang Nobel Perdamaian
Nobel Peace Prize merupakan penghargaan tahunan bagi individu atau organisasi yang berkontribusi besar dalam menciptakan perdamaian global — melalui diplomasi, penyelesaian konflik, perlindungan hak asasi manusia, hingga pelucutan senjata.
Penghargaan ini berasal dari wasiat Alfred Nobel, penemu dinamit asal Swedia. Nobel mempercayakan Norwegia untuk mengelola penghargaan perdamaian karena dianggap lebih netral dan independen dalam urusan internasional.
Saat ini, pemenang Nobel Perdamaian dipilih oleh Komite Nobel Norwegia, yang terdiri dari lima anggota yang ditunjuk oleh Parlemen Norwegia. Anggotanya biasanya berasal dari kalangan politikus, akademisi, hingga tokoh masyarakat terkemuka.
Trump Ngotot Ingin Raih Nobel
Trump diketahui sangat berambisi memenangkan Nobel Perdamaian. Ia bahkan mengklaim telah menyelesaikan delapan konflik dunia selama masa jabatannya sebagai Presiden AS.
Trump juga dikabarkan membujuk sejumlah negara untuk menominasikan dirinya dalam penghargaan tersebut. Di antara negara yang disebut mendukungnya adalah Israel, Pakistan, dan Kamboja.
Meski begitu, para pengamat menilai klaim tersebut tidak cukup kuat untuk membuktikan kontribusinya dalam perdamaian dunia.
Kepala Peace Research Institute of Oslo, Nina Graeger, menilai bahwa tindakan Trump selama ini justru bertolak belakang dengan semangat Nobel Perdamaian.
“Kita telah menyaksikan kebijakan yang bertentangan dengan tujuan Alfred Nobel — yakni mendorong kerja sama internasional, persaudaraan antarbangsa, dan pelucutan senjata,” kata Graeger.
Graeger menilai langkah-langkah Trump dalam diplomasi global masih jauh dari makna perdamaian sejati. Upayanya dianggap lebih banyak untuk kepentingan politik dalam negeri ketimbang membangun stabilitas dunia.
Kebijakan Trump yang Dinilai Kontraproduktif
Sejumlah kebijakan Trump selama masa jabatannya juga menjadi alasan ia sulit meraih Nobel Perdamaian, di antaranya:
- Menarik AS dari berbagai organisasi internasional dan perjanjian global.
- Melancarkan perang dagang terhadap sekutu maupun rival Amerika.
- Mengancam merebut Greenland dari Denmark.
- Mengirim Garda Nasional ke kota-kota AS saat terjadi demonstrasi.
- Menyerang kebebasan berpendapat di universitas-universitas Amerika.
Langkah-langkah ini dinilai bertentangan dengan semangat perdamaian dan demokrasi yang menjadi dasar penghargaan Nobel.
Peluang Nobel Masih Terbuka di Masa Depan
Meski gagal tahun ini, beberapa analis tidak menutup kemungkinan Trump bisa menjadi kandidat di masa depan, terutama jika berhasil membawa perubahan besar di kawasan konflik seperti Gaza.
Namun, hingga kini, rekam jejak Trump masih lebih banyak menimbulkan perdebatan ketimbang pujian di kancah internasional.
Untuk mendapatkan Nobel Perdamaian, Trump harus membuktikan bahwa tindakannya benar-benar menciptakan dampak nyata bagi perdamaian dunia, bukan hanya sekadar retorika politik.