Suramnya Awal Karier Scarlett Johansson, Dieksploitasi hingga Jadi Objek Seks Hollywood / Foto: Dok. Marvel
Jakarta, Insertlive -
Scarlett Johansson membongkar bagaimana sisi kelam industri hiburan Hollywood yang pernah ia alami di awal kariernya.
Dalam wawancara terbaru bersama Vanity Fair, bintang film Black Widow itu menyinggung soal tekanan dan ekspektasi tak sehat yang muncul sejak dirinya membintangi Lost in Translation pada 2003.
Kala itu, Scarlett Johansson masih berusia 17 tahun. Perannya dalam film garapan Sofia Coppola tersebut memang melambungkan namanya, namun juga menempatkannya dalam citra yang sulit dilepaskan.
"Setelah Lost in Translation, setiap peran yang ditawarkan kepada saya selama bertahun-tahun hanyalah pacar, wanita simpanan, atau objek seks. Saya nggak bisa keluar dari siklus itu," keluh Scarlett dilansir pada Minggu (18/5).
Bahkan, Scarlett merasa identitasnya sebagai aktris terkunci dalam peran-peran yang penuh stereotip.
"Rasanya seperti, 'Oh, sepertinya ini adalah identitas saya sekarang sebagai aktor.' Nggak banyak yang bisa saya lakukan dengan peran-peran seperti itu," tambahnya.
Menurut Scarlett, para agen yang mendampinginya saat itu tidak mampu memberi arahan baru untuk keluar dari peran-peran serupa. Ia menganggap hal tersebut sebagai bagian dari budaya industri yang sudah lama terbentuk.
"Mereka hanya bereaksi terhadap norma industri. Industri ini memang sudah lama bekerja seperti itu," katanya.
Aktris kelahiran 1984 itu juga menyinggung soal fase pendewasaan dirinya yang menurutnya sering disalah-artikan oleh lingkungan sekitar.
Scarlett menyebut proses mengenali jati diri dan cara berekspresi sebagai hal yang semestinya wajar, namun justru bisa dianggap berlebihan atau keliru.
"Kamu mulai mengenal seksualitas dan daya tarikmu sebagai bagian dari pertumbuhan. Menjadi diri sendiri itu menyenangkan, mengenakan pakaian yang kamu suka, mengekspresikan diri," ucap Scarlett.
"Tapi kemudian kamu tiba-tiba sadar dan berpikir, tunggu, saya merasa seperti sedang, saya nggak mau mengatakan dieksploitasi karena itu kata yang berat. Tapi ya, semacam itu," sambungnya.
Dalam kesempatan yang sama, Scarlett turut menyinggung rekan mainnya dalam Lost in Translation, Bill Murray. Ia menyebut saat itu Murray sedang dalam kondisi emosional yang tidak stabil.
"Dia sedang menghadapi berbagai hal," ucapnya singkat.
Namun, pertemuan Scarlett dan Murray pada awal 2025 di belakang panggung acara SNL50 terasa jauh berbeda.
"Dia adalah orang yang sangat berbeda sekarang. Saya rasa hidup telah membuatnya lebih rendah hati," kata Scarlett.
Scarlett membenarkan komentarnya mengacu pada insiden di lokasi syuting film Being Mortal (2022), yang produksinya dihentikan akibat dugaan perilaku tidak pantas Murray terhadap seorang perempuan. Dirinya menyebut momen itu sebagai titik perubahan bagi aktor senior tersebut.
"Ya, itu benar-benar buruk. Tapi saya juga tahu COVID adalah masa yang sulit baginya. Peristiwa itu akhirnya membawanya pada pertanggungjawaban atas perilakunya. Tapi tahukah kamu? Menyenangkan rasanya melihat seseorang bisa berubah," ungkapnya.
Meski harus melalui berbagai tantangan, Scarlett Johansson tetap mempertahankan profesionalismenya selama proses syuting. Ia mengaku fokus pada pekerjaan menjadi kunci untuk bertahan dalam tekanan.
"Saya cukup bangga dengan bagaimana saya menangani semuanya. Saya benar-benar hanya bekerja. Itu adalah taktik yang baik buat melewati semua hal, fokus pada tujuan," tutupnya.
Kini, Scarlett Johansson tak hanya dikenal sebagai aktris papan atas, tetapi juga sebagai suara yang vokal menyuarakan realita keras dunia hiburan. Ceritanya menjadi pengingat bahwa di balik sorotan kamera, ada perjuangan panjang untuk mempertahankan kendali atas diri sendiri.
(ikh/ikh)
Tonton juga video berikut:
ARTIKEL TERKAIT
Loading LoadingBACA JUGA
detikNetwork