AD/ART dan Kharisma Kiai: Merawat Keseimbangan dalam Organisasi Pendidikan Islam

1 day ago 2

loading...

Tahun 2025 akan segera berganti dan menyisakan pelajaran berharga, salah satunya dari dinamika yang terjadi di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pekan ini. Foto/Dok.

Dosen Universitas Darunnajah Jakarta, Muhammad Irfanudin Kurniawan dan Afaf Saifullah Kamalie

Tahun 2025 akan segera berganti. Bagi kami sebagai praktisi pendidikan Islam, tahun ini menyisakan pelajaran berharga, salah satunya dari dinamika yang terjadi di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pekan ini.

Rapat pleno 9 Desember 2025 memantik perdebatan tentang kuorum, keabsahan keputusan, hingga kewenangan Syuriyah dan Tanfidziyah.

Kami tidak hendak berkomentar tentang siapa yang benar atau salah. Sebagai akademisi yang mengampu mata kuliah Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan, kami ingin menarik pelajaran yang lebih luas bagi pengelola organisasi pendidikan Islam, khususnya pesantren.

Sebab meski PBNU adalah organisasi kemasyarakatan (jam'iyah) dan pesantren adalah lembaga pendidikan, keduanya berbagi tantangan yang sama: bagaimana menyeimbangkan AD/ART dengan kharisma kiai.

Data Kementerian Agama 2025 mencatat lebih dari 42.000 pesantren di Indonesia dengan sekitar 11 juta santri. Jumlah sebesar ini membutuhkan tata kelola yang baik. Namun, modernisasi tidak boleh mencabut akar tradisi kepemimpinan yang telah berusia berabad-abad.

Pesantren sebagai Organisme

Dalam tulisan kami di SINDOnews berjudul Organisme Pesantren, kami mengajukan tesis sederhana: kita terlalu sering memandang pesantren sekadar sebagai lembaga. Lembaga pendidikan. Lembaga dakwah. Padahal lembaga bisa mati kapan saja, bergantung pendanaan atau siapa yang memimpin.

Pesantren yang sehat adalah organisme yang hidup. Selnya adalah santri yang aktif. Jaringannya adalah kegiatan di asrama, madrasah, dan masjid yang saling terhubung. Jantungnya adalah kiai yang memompa darah ke seluruh tubuh organisasi.

Analogi ini bukan permainan kata. Organisme tidak bisa dikelola semata-mata dengan aturan mekanistik. Ia membutuhkan sentuhan yang lebih hidup dan bernyawa.

Dalam tulisan lain, berjudul Kepemimpinan Tunggal dalam Pesantren: Belajar dari Model Al-Suffah, kami menelusuri akar historis kepemimpinan pendidikan Islam. Al-Suffah, serambi Masjid Nabawi, adalah cikal bakal pesantren pertama.

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online