Eksistensi E-Commerce dan Kinerja Inflasi

9 hours ago 5

loading...

Ciplis Gema Qori’ah, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember. Foto/Dok.Pribadi

Ciplis Gema Qori’ah
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember

PERUBAHAN harga yang merangkak naik seringkali menjadi kepanikan tersendiri bagi sebagian besar konsumen. Inilah yang sering kali kita kenali sebagai fenomena inflasi dalam kehidupan ekonomi. Ia menggerogoti daya beli, menciptakan kecemasan, terutama bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah.

Kelompok yang rentan terhadap guncangan ekonomi (shock) perlu mendapat perhatian khusus dalam skema kebijakan yang holistik. Namun sisi lain pemerintah menghadapi kondisi dilematis, sehingga harus menempuh kebijakan yang tidak populis, seperti mengurangi subsidi energi, menaikkan pajak, mengurangi volume impor barang konsumsi ataupun otoritas moneter menaikkan suku bunga acuan.

Fenomena inflasi dalam konteks peran teknologi dan e-commerce disebabkan oleh banyak faktor, Stigler (1982) mengungkapkan bahwa perbedaan harga (price dispersion) disebabkan oleh konsumen tidak mempunyai informasi sempurna karena ada biaya mendapatkan informasi (search cost), sehingga hal ini menyebabkan harga yang bervariasi di pasar yang sama.

Demikian halnya konsep yang disarikan dari adaptasi teori supply-demand dalam konteks ekonomi digital ataupun ekonomi berbasis platform, Varian dan Shapiro (1999) membuktikan bahwa informasi digital, platform online serta langkah logis dan sistematis (algoritma) akan mengubah cara kerja pasar secara signifikan (supply-demand dynamic).

Teori pertumbuhan ekonomi endogen (endogenous growth), Romer dan Nordhaus, peraih hadiah Nobel bidang ekonomi tahun 2018, membuktikan pemikirannya tentang pentingnya integrasi inovasi teknologi dan pertumbuhan melalui, automatisasi, big data dan kecerdasan buatan (artificial intelligence=AI) pada proses pembentukan harga dan logistik yang akan mempengaruhi segi operasional lebih efisien.

Selama ini, instrumen utama untuk menurunkan inflasi adalah kebijakan moneter konvensional melalui menaikkan suku bunga, menahan likuiditas atau mengatur ekspektasi pasar. Namun, di tengah akselerasi teknologi dan pergeseran perilaku konsumen, konon kehadiran digitalisasi dalam perdagangan elektronik (e-commerce) diyakini menjadi upaya meredam ketidakstabilan harga.

Paling tidak, temuan empiris memaparkan keniscayaan adanya dampak negatif signifikan dari digitalisasi dan e-commerce terhadap inflasi. Merujuk kajian Bank Indonesia (2024) menunjukkan bahwa pertumbuhan transaksi e-commerce secara signifikan mampu menekan inflasi inti, baik di tingkat nasional maupun daerah.

Karena ia mampu menekan biaya, sehingga terjadi efisiensi dan transparansi harga, selain tidak lagi memerlukan biaya operasional yang besar, memungkinkan masuknya barang impor yang lebih murah sehingga harga konsumen lebih bersaing. Hal ini sejurus dengan hasil asesmen Organization for Economic Co-operation and Development (OECD, 2019) dan International Monetary Fund (IMF, 2021) secara lugas menegaskan bahwa e-commerce memiliki potensi menyumbang deflationary effect terhadap perekonomian.

Logika yang bisa dihadirkan dari e-commerce bahwa ia diyakini bisa menekan inflasi terlihat pada, pertama, bahwa e-commerce menciptakan pasar yang lebih kompetitif dan transparan. Ketika produsen dan konsumen terhubung secara langsung melalui platform digital, lapisan-lapisan biaya distribusi menjadi lebih tipis.

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online