loading...
Adhitya Wardhono, Dosen dan Peneliti Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember, Koordinator Ke-Ris Benefitly. Foto.Dok Pribadi
Adhitya Wardhono
Dosen dan Peneliti Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember, Koordinator Ke-Ris Benefitly
BANK INDONESIA (BI) meluncurkan Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) berbasis kinerja dan berorientasi ke depan (forward looking) yang diarahkan mengkuatkan dukungan pertumbuhan kredit. Kebijakan ini berlaku efektif 1 Desember 2025 dan akan memberikan insentif likuiditas maksimal 5,5%. Pertanyaannya, seberapa perlu dan efektifkah KLM kali ini?
KLM ini memberi ruang sektor perbankan mendapatkan insentif likuiditas tambahan bila mereka berkomitmen menyalurkan kredit ke sektor-sektor prioritas, seperti sektor pertanian, hilirisasi industri, perumahan, UMKM, Koperasi. Sektor-sektor yang berpotensi besar, menyerap tenaga kerja, terlebih berdampak ekonomi daerah. BI seakan memastikan stimulus likuiditas yang diberikan tidak berhenti di meja bank, melainkan benar-benar mengalir ke pelaku usaha.
KLM ini berbeda dengan kebijakan pelonggaran likuiditas konvensional. Tidak sekedar memberikan “uang murah”, tapi memberikan insentif berbasis kinerja dan arah pembiayaan produktif yang ditentukan BI. Bank yang menyalurkan kredit ke sektor yang tepat akan dapat kelonggaran likuiditas lebih besar, namun yang tidak berkontribusi signifikan mendapat ruang terbatas.
Ada pemberian pengurangan Giro Wajib Minimum bank berdasarkan realisasi kredit yang telah diberikan bank kepada sektor prioritas dan melihat elastisitas atau kecepatan penyesuaian bunga kredit baru terhadap perubahan suku bunga acuan atau BI Rate. Selain itu juga melihat komitmen dan rencana kredit yang akan diberikan.
BI juga menerapkan insentif melalui saluran suku bunga (interest rate channel). Bank yang lebih cepat menurunkan suku bunga kredit akan mendapatkan tambahan insentif likuiditas hingga 0,5% dari Dana Pihak Ketiga. Ini menunjukkan transformasi besar desain kebijakan BI, dari sekadar reaktif menjadi lebih terukur, terarah, dan berbasis dampak.
Tentu, setiap kebijakan yang mendorong ekspansi kredit pasti mengandung risiko. Penyesuaian insentif KLM ini bisa menjadi alat efektif mendorong bank lebih agresif menyalurkan kredit ke sektor prioritas. Namun, ada risiko moral hazard ketika bank terlalu bergantung insentif dan mengabaikan kualitas kredit. Peran pengawasan jadi krusial. BI tampaknya telah mengantisipasi dengan sistem monitoring dan evaluasi kinerja yang transparan dan real-time.
.png)

















































