Jakarta -
Bullying merupakan salah satu kasus yang banyak menimpa anak-anak Indonesia, Bunda. Hal ini juga menjadi kekhawatiran bagi seorang perempuan bernama Waitatiri.
Waitatiri adalah perempuan lulusan S1 Universitas Indonesia jurusan Program Studi Jerman tahun 2016. Di tahun 2022, ia melanjutkan studi S2 nya di Harvard Graduate School of Education jurusan Learning Design, Innovation, and Technology, dan lulus di bulan Mei 2023.
Ketika menempuh pendidikan S2 ini, Wai mengambil salah satu kelas yang di dalamnya mempelajari pendidikan di situasi ketidakpastian seperti anak-anak di lingkungan perang, negara yang krisis, pengungsi, dan masih banyak lagi. Wai pun mengambil masalah tentang bully yang ada di Indonesia.
"Aku merasa bullying (terutama di Indonesia) juga merupakan situasi ketidakpastian, karena banyak anak-anak di Indonesia para korban bully yang berujung parah seperti cacat berat, cacat permanen, hingga meninggal dunia," ceritanya ketika dihubungi HaiBunda beberapa waktu lalu.
"Anak-anak ini menjalani sekolah dengan ketidakpastian, belum tahu besok masih bisa sekolah atau tidak. Selain itu memang aku pernah beberapa kali melakukan inisiatif pendidikan untuk anak-anak pengungsi korban bencana alam di Indonesia," sambungnya.
Wai membuat buku tentang bullying sebagai tugas akhir
Dalam kelas ini, Wai diminta untuk membuat tugas akhir dengan bentuk yang dibebaskan. Kebanyakan mahasiswa lain memilih untuk menulis jurnal ataupun policy memo.
Karena memiliki latar belakang penulisan kreatif dan pernah menulis buku di tahun 2014, Wai pun mengajukan untuk membuat proyek akhir dalam bentuk buku anak. Ia pun berhasil menerbitkan buku berjudul The Missing Colors (Warna yang Hilang), dalam dua bahasa, yakni Bahasa Indonesia dan Inggris.
Buku ini pun mendapat respons baik dari dosen dan mendapatkan nilai sempurna. Wai pun diminta untuk mempresentasikan proses pembuatan bukunya, bahkan diminta untuk memasukkan buku tersebut ke website milik Harvard.
"Setelah kelas, dosenku menawarkan untuk mem-fitur buku The Missing Colors di website Harvard REACH yang berisi resources untuk pendidik, peneliti, dan pembuat kebijakan di bidang pendidikan. Beberapa bulan terakhir aku banyak berkoordinasi dengan dosenku dan tim Harvard REACH untuk membuat kurikulum K-3 (TK-SD Kelas 3) berdasarkan buku tersebut," ujarnya.
"Sejak April (2024) lalu, buku dan kurikulumnya telah resmi menjadi resource untuk pendidik di Harvard REACH. Kurikulum dan bukunya bisa diakses gratis oleh siapa saja, dan disebarkan ke sekolah-sekolah di Amerika," lanjut Wai.
Wai mengungkap bahwa pembuatan buku ini dilakukan selama tiga bulan mulai dari pengajuan, riset, hingga pembuatan ilustrasi. Ia juga membuat buku ini dengan bantuan banyak pihak termasuk dosen dan teman-teman sekelasnya.
"Pembuatan bukunya sendiri aku lakukan selama kira-kira 3 bulan, mulai dari proses pengajuan ke dosen, riset, wawancara, penulisan, hingga ilustrasi. Banyak pihak luar biasa yang terlibat dalam proses pembuatan buku ini. Aku banyak meminta pendapat dan masukan dari dosen dan teman-teman sekelasku."
"Aku juga dibantu oleh salah satu temanku, Kartika, seorang ilustrator yang bersedia membuat ilustrasi untuk buku ini. Dan tentunya pihak yang berjasa adalah narasumber yang bersedia menceritakan pengalamannya di-bully di salah satu sekolah di Indonesia selama bertahun-tahun," imbuh Wai.
Perbedaan buku The Missing Colors dengan buku anak lainnya
Menurut Wai, buku The Missing Colors sangat berhubungan dengan anak-anak di Indonesia karena mengangkat praktik bullying di sekolah. Buku ini pun membantu anak untuk lebih berempati kepada korban dan mengerti bahwa tetap ada harapan untuk masa depan yang lebih baik bagi para korban.
Tidak hanya itu, buku ini juga dibuat sebagai bahan diskusi antara orang tua dan anak serta guru maupun pengasuh. Penggunaan metafora warna dan pengembangan karakter utama pun dapat membantu anak mengenal jenis-jenis emosi yang dirasakan.
"Penggunaan metafora warna dan pengembangan karakter utama di buku ini bisa membantu anak mengerti mengenai jenis-jenis emosi yang dirasakannya, mana emosi yang positif dan negatif, serta pentingnya menyadari ketika ada orang lain yang membuat dirinya merasa tidak baik agar bisa speak up."
"Anak juga diajak untuk belajar berempati terhadap karakter dalam buku, Putra (nama samaran)," lanjutnya.
Dengan hadirnya buku ini, Wai berharap agar anak-anak, pelajar, pendidik, dan orang tua lebih berempati. Mereka juga akan lebih menyadari tentang bahayanya bullying, terutama di sekolah.
"Semoga anak-anak lebih mahir mengenali jenis emosi yang dirasakan, bagaimana mengelolanya dengan baik, dan lebih berani untuk meminta bantuan kepada orang dewasa saat ada hal buruk terjadi padanya," kata Wai.
Tidak hanya itu, ia juga berharap agar masyarakat Indonesia tidak lagi menormalisasi bullying berkedok 'tradisi sekolah' dan kata 'namanya juga anak-anak'.
Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!
(mua/som)