Pakar Sebut PP 45/2025 Picu Kekhawatiran Masa Depan Industri Sawit Nasional

9 hours ago 2

loading...

Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 2025 menimbulkan kegelisahan di kalangan pelaku industri sawit. FOTO/dok.SindoNews

JAKARTA - Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 2025 menimbulkan kegelisahan di kalangan pelaku industri sawit. Aturan ini dinilai tidak hanya memperberat beban pelaku usaha karena besarnya denda, tetapi juga berpotensi mematikan sektor sawit nasional, terutama bagi petani dan pelaku usaha sawit kecil menengah.

Menurut Pakar Hukum Kehutanan Dr. Sadino, kelahiran PP 45/2025 merupakan ancaman serius bagi keberlanjutan industri sawit nasional. Ia menilai proses pembahasan PP ini minim uji publik dan tidak melibatkan pemangku kepentingan utama, terutama petani sawit yang menguasai sekitar 42 persen lahan sawit nasional.

"Kalau sebelumnya PP No. 24 Tahun 2021 memberi ruang penyelesaian keterlanjuran secara administratif, PP yang baru ini justru mengarah pada pendekatan penghukuman. Paradigma kebijakan bergeser dari pembinaan menjadi pembinasaan, dari penataan menuju pengambilalihan," kata Sadino dalam keterangannya, Kamis (9/10/2025).

Baca Juga: Kepastian Status Lahan Kunci Sukses PT Agrinas Kelola 1,5 Juta Hektar Sawit

PP 45/2025 merupakan revisi dari PP 24/ 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Salah satu sorotan utama PP 45/2025 adalah tarif denda administratif yang sangat tinggi. Pemerintah menetapkan denda Rp25 juta per hektare per tahun bagi lahan sawit yang dikategorikan sebagai pelanggaran. Jika penguasaan lahan dilakukan selama 20 tahun, maka nilai dendanya mencapai Rp375 juta per hektare jauh melampaui nilai pasar lahan sawit yang hanya Rp50–100 juta per hektare.

"Angka itu tidak masuk akal dan membunuh pelaku usaha kecil dan menengah. Perusahaan besar pun akan terguncang arus kasnya. Kredit perbankan akan macet karena usaha ini dianggap tidak bankable. Akibatnya, bisa terjadi PHK massal dan penelantaran kebun sawit," ujar Sadino yang juga staf pengajar di Universitas Al-Azhar Indonesia ini.

Dia menegaskan bahwa secara normatif, prinsip pengenaan denda seharusnya disesuaikan dengan tingkat pelanggaran dan keuntungan yang diperoleh, bukan angka tetap. "UU Cipta Kerja menekankan denda berdasarkan persentase keuntungan, bukan nilai absolut yang memberatkan. Tujuannya memperbaiki kepatuhan, bukan mematikan usaha," katanya.

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online