Pengusaha Sebut Kontaminasi Radioaktif Udang Jadi Taruhan Masa Depan Industri

1 hour ago 1

loading...

Persoalan kontaminasi radioaktif Cesium-137 (Cs-137) pada produk udang Indonesia kembali menghantui industri perikanan nasional. FOTO/dok.SindoNews

JAKARTA - Persoalan kontaminasi radioaktif Cesium-137 (Cs-137) pada produk udang Indonesia kembali menghantui industri perikanan nasional. Kasus ini mencuat sejak U.S. Food and Drug Administration (FDA) pada 14 Agustus 2025 mengeluarkan import alert terhadap PT Bahari Makmur Sejati (BMS), salah satu pengolah dan eksportir udang terbesar di Indonesia dengan fasilitas di Cikande, Serang, Banten.

Di sisi lain, keputusan pemerintah untuk melepaskan kembali kontainer produk udang BMS ke pasar domestik menimbulkan kegelisahan baru. Ketua Petambak Muda Indonesia (PMI), Rizky Darmawan, menilai langkah ini harus disertai transparansi penuh. "Tes pengujian harus terbuka dan kuantitatif," ujar Rizky, dalam pernyataannya, Senin (22/9).

Baca Juga: Udang Asal Indonesia Disebut Mengandung Radioaktif Nuklir, AS Beri Peringatan

Menurut Rizky, jika pemerintah yakin produk tersebut aman, hasil pengujian seharusnya dipublikasikan secara resmi agar dapat meyakinkan pasar, termasuk FDA. Tanpa transparansi, pelepasan kontainer justru berisiko memicu ketakutan di pasar ekspor maupun domestik.

Ketidakjelasan penyelesaian kasus ini mulai menimbulkan dampak luas. Penghentian operasi pabrik BMS telah menurunkan daya serap industri terhadap hasil panen tambak. Produksi di tingkat petambak tetap berlangsung, tetapi penjualan terhambat karena sebagian besar udang yang diproduksi di Indonesia ditujukan untuk ekspor.

Sebagai catatan, udang merupakan kontributor devisa terbesar dari seluruh ekspor perikanan Indonesia, dengan nilai ekspor sekitar US$ 1,68 miliar pada 2024. Dengan sebagian besar produk udang diekspor ke Amerika Serikat, gangguan akses pasar berpotensi memberikan dampak besar terhadap perekonomian nasional dan kesejahteraan jutaan petambak.

PMI mencatat harga udang di beberapa daerah, khususnya Aceh dan Medan, turun drastis, namun penjualan tetap sulit. “Jika kondisi ini terus berlarut, harga bisa semakin jatuh dan mengancam keberlangsungan usaha petambak,” ujar Rizky.

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online