loading...
Hendarman - Analis Kebijakan Ahli Utama pada Kemendikbudristek/ Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan. Foto/Dok Pribadi
JAKARTA - Hendarman
Analis Kebijakan Ahli Utama pada Pusat Penguatan Karakter, Kemendikdasmen/Ketua Dewan Pakar Jabatan Fungsional Analis Kebijakan INAKI /Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan
Percepatan transformasi digital membawa perubahan besar dalam cara masyarakat Indonesia berinteraksi, belajar, bekerja, dan membangun identitas sosial. Kehadiran internet, media sosial, kecerdasan buatan, serta pola komunikasi instan menghadirkan peluang luar biasa, khususnya bagi pemuda Indonesia. Mereka adalah kelompok usia produktif dengan tingkat adaptasi tertinggi terhadap teknologi.
Perubahan ekosistem digital sering memunculkan fenomena disinformasi, budaya instan, polarisasi digital, online harassment, dan melemahnya interaksi sosial yang mengurangi kedalaman relasi dan kepekaan sosial. Dalam situasi ini, pembangunan karakter tidak lagi dapat dianggap sebagai urusan pendidikan semata, melainkan menjadi isu lintas sektor yang menuntut sinergi dan kolaborasi kebijakan secara sistemik.
Tantangan serius terkait pembangunan karakter bagi pemuda terutama terkait bagaimana menjaga nilai patriotik, kegigihan, dan empati. Ketiga nilai tersebut tampaknya perlu diangkat untuk membangun pemuda masa depan mengingat ketiganya menjadi fondasi keutuhan dan kemajuan bangsa.
Fenomena Era Digital dan Pemuda
Mengapa ketiga nilai tersebut perlu mendapatkan perhatian bagi Pemerintah terutama bagi Kementerian Pemuda dan Olahraga, khususnya dikaitkan dengan konteks transformasi digital? Beberapa fenomena menunjukkan hal tersebut dan seyogianya perlu segera diantisipasi.
Pertama, melemahnya rasa patriotik pada ruang digital. Di era digital, rasa cinta tanah air seringkali berkompetisi dengan arus informasi global yang demikian cepat. Beberapa fenomena yang muncul antara lain (1) menurunnya minat pemuda pada sejarah bangsa karena konten digital yang lebih menarik perhatian namun kurang edukatif, (2) maraknya narasi negatif terhadap negara yang tidak diimbangi literasi kritis, dan (3) munculnya influencer yang membawa opini provokatif sehingga memengaruhi cara berpikir pemuda. Patriotisme semestinya tidak hanya dipahami secara formalistik (upacara, simbol), tetapi direlevansikan dengan konteks kekinian: kontribusi positif, inovasi, produk lokal, dan etika digital.
.png)













































