loading...
Visi Indonesia Emas sulit terwujud jika sistem riset nasional masih karut-marut. Kemandirian sains dan teknologi yang menjadi pondasi kemajuan masih lemah. Ilustrasi/SindoNews
JAKARTA - Visi Indonesia Emas 2045 dinilai sulit terwujud jika sistem riset nasional masih karut-marut. Kemandirian sains dan teknologi yang seharusnya menjadi pondasi kemajuan bangsa justru masih lemah karena tidak adanya visi kuat dari pemerintah dalam membangun riset .
Direktur Eksekutif Indonesia Maritime Institute (IMI) Y Paonganan mengatakan, revolusi industri adalah kebangkitan dunia menjadi negara maju, dan itu tidak datang tiba-tiba tapi melalui serangkaian riset panjang. “Perkembangan telekomunikasi, energi, hingga teknologi digital semuanya diawali dari riset. Intinya semua kemajuan dunia lahir dari riset,” kata Y Paonganan dalam keterangan tertulisnya, Rabu (1/10/2025). Baca juga: Wamen Stella: Riset adalah Investasi Penting untuk Masa Depan Indonesia
Pria yang akrab disapa Ongen menegaskan negara-negara besar di Asia seperti Jepang, Korea Selatan, dan kini China, bisa menjadi kekuatan global karena sejak awal membangun sistem riset nasional yang solid. “Sementara di Indonesia, riset dan pengembangan ilmu pengetahuan kerap hanya berhenti pada retorika,” tegasnya.
Data menunjukkan, anggaran riset nasional justru mengalami pemangkasan tajam setelah dibentuknya Badan Riset dan Inovasi Nasional ( BRIN ). Pada 2017, anggaran riset masih sekitar Rp24,9 triliun atau 0,2% dari PDB, namun turun drastis menjadi Rp3,1 triliun pada 2022 dan hanya Rp2,2 triliun pada 2023 (0,01%). Angka ini jauh di bawah negara tetangga. Malaysia mengalokasikan 0,95% PDB, Thailand 0,40%, dan Singapura bahkan mencapai 1,89%.
Kondisi ini diperparah dengan perampingan lembaga-lembaga riset yang justru membuat ribuan peneliti kehilangan kepastian. Kasus integrasi Lembaga Biologi Molekuler Eijkman ke BRIN, misalnya, menyebabkan lebih dari seratus peneliti diberhentikan. “Situasi tersebut menimbulkan kesan BRIN seperti badan riset “mati suri”, dengan ribuan peneliti dikumpulkan tanpa arah yang jelas,” jelasnya.
Meski demikian, sejumlah peneliti Indonesia masih menorehkan prestasi di kancah internasional. Beberapa nama bahkan masuk dalam daftar 2% ilmuwan terbaik dunia versi Stanford University dan Elsevier. “Namun pencapaian individu ini dinilai tidak cukup menopang ambisi nasional bila sistem riset secara keseluruhan tetap amburadul,” tuturnya. Baca juga: Menko Polkam: Sekolah Rakyat Investasi Bangsa untuk Indonesia Emas 2045
Sebagian besar, menurut Ongen, riset berhenti di jurnal akademik tanpa dihilirisasi menjadi produk teknologi atau inovasi industri. “Pemerintah harus segera mengambil langkah revolusioner untuk memperbaiki sistem riset nasional. Jika tidak, visi Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi mimpi di siang bolong,” terangnya.
(poe)