FOMO adalah singkatan dari Fear Of Missing Out, fenomena "takut ketinggalan". Di era digital ini wajar jika dialami anak, karena orang dewasa juga mengalaminya.
Namun, dalam ranah psikologi, FOMO adalah sebuah entitas psikologis yang cukup dikenal, mendorong kebutuhan kita untuk memeriksa akun media sosial, tetapi seringkali menyebabkan kecemasan dan depresi, terutama melihat unggahan yang seolah-olah semua orang memiliki rumah yang indah, hubungan yang luar biasa, dan liburan yang luar biasa.
Perasaan depresi akibat hal ini telah terdokumentasi dengan baik, Bunda. Faktanya, dilansir Forbes, dalam sebuah studi tahun 2018 di University of Pennsylvania terhadap remaja yang beranjak dewasa muda, mereka yang membatasi penggunaan media sosial hingga 10 menit per hari, mengalami penurunan perasaan depresi dan kesepian.
Sementara, berita 24 jam sehari dapat memperburuk stres dan memicu respons "lawan atau lari" sistem simpatik. Terpapar media terus-menerus dapat membuat hidup dalam ketakutan.
Ada beberapa ciri anak jika mengalami FOMO, dikutip dari Yahoo News, berikut ciri-cirinya:
- Menempatkan prioritas ekstra pada popularitas
- Terus-menerus memeriksa ponsel untuk melihat apa yang dilakukan teman-teman mereka
- Terlihat cemas atau murung setelah menghabiskan waktu online
- Kesulitan menikmati momen
- Terobsesi dengan apa yang terjadi di tempat lain
- Ketidakmampuan untuk berkomitmen atau mengatakan tidak
Nah, bagaimana sikap orang tua menghadapi fenomena ini jika terjadi pada anaknya sendiri?
Cara mengatasi anak yang selalu FOMO
Mungkin sebagian dari kita menjadi stres jika melihat anak sendiri selalu dan selalu FOMO. Namun, ada beberapa hal konkret yang dapat orang tua lakukan sebagai orang tua untuk membantu mengurangi cengkeraman FOMO pada anak. Dilansir Parents, berikut beberapa kiat dari para ahli:
1. Bicarakan secara terbuka
Salah satu hal paling ampuh yang dapat dilakukan ketika anak mengalami FOMO adalah menciptakan ruang emosional yang aman bagi anak untuk membicarakan perasaannya. Menurut psikolog klinis dan pendiri sekaligus direktur klinis Milika Center for Therapy & Resilience, Kanchi Wijesekera, PhD, bersikap terbuka dan tidak menghakimi adalah hal pertama yang perlu orang tua lakukan.
Pertimbangkan untuk berbagi cerita kita sendiri terkait perasaan tersisih, untuk membantu menormalkan apa yang mereka rasakan, sarannya. Dorong mereka untuk menemukan cara menggambarkan dan menyebutkan perasaan mereka.
2. Ajarkan literasi media
Mengelola FOMO media sosial dimulai dengan membahas kebenaran tentang apa yang dilihat anak secara daring. Ini termasuk menekankan bahwa media sosial hanya melihat momen-momen penting dalam hidup seseorang, dan biasanya perjuangan serta ketidaksempurnaannya di baliknya justru tersembunyi.
“Dorong mereka untuk menyadari ketika mereka membandingkan diri dengan sesuatu yang mereka lihat dan bagaimana hal itu seringkali tidak mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi,” kata Dr. Wijesekera.
“Mengajari mereka cara berpikir kritis tentang apa yang mereka lihat di media sosial dapat membantu mereka lebih memahami perbedaan antara kehidupan daring yang dikurasi dan kenyataan.”
3. Tetapkan batas screen time
Sangat penting bagi orang tua untuk mendiskusikan pentingnya menetapkan batas waktu layar dengan anak-anak dan memprioritaskan rutinitas dalam kehidupan keluarga yang berfokus pada hubungan langsung. Misalnya seperti pergi piknik, baca buku atau pergi ke toko buku, rutin berolahraga, dan memberikan peraturan yang disiplin dalam menggunakan gawai.
4. Normalisasi JOMO atau tetap bahagia walau ketinggalan
Membantu anak mengatasi FOMO adalah tentang belajar membangun perspektif dan ketahanan (resilien). Salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan menormalkan gagasan tentang rasa kehilangan. Normalisasi konsep atau fenomena JOMO atau Joy Of Missing Out. Kita tetap bahagia walaupun ketinggalan.
“Berakar pada batasan sosial, JOMO dapat membantu anak remaja menyadari bahwa ada nilai dalam memperlambat langkah dan bahwa kegembiraan dapat ditemukan dalam memilih istirahat, menyendiri, atau waktu pribadi daripada keterlibatan sosial yang konstan,” kata pendiri dan direktur di Digital Wellness Project, Leah Jacobs, LMHC.
5. Alihkan fokus ke kegiatan yang lebih bermanfaat
Anak-anak mengalami FOMO di berbagai aspek kehidupan, mereka melewatkan pengalaman yang baik seperti mengikuti klub, olahraga, atau komunitas. Melewatkan pengalaman itu dapat memengaruhi citra diri dan harga diri mereka. Itulah sebabnya mengelola FOMO mencakup membantu anak membangun identitas yang kuat di luar media sosial dan kelompok sebayanya, Bunda.
Demikian pembahasan mengenai cara mengatasi anak yang selalu ingin mengikuti trend atau biasa dikenal dengan FOMO. Lakukan beberapa langkah antisipasi agar anak tidak mengalami stres ya, Bunda. Semoga tipsnya bermanfaat!
Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!
(rap/rap)