Apakah Tarekat Ana Loloa di Maros Tergolong Aliran Sesat? Berikut Fatwa MUI Soal Aliran yang Menyimpang

1 month ago 57

TEMPO.CO, Jakarta - Adanya dugaan aliran sesat kembali menggemparkan masyarakat, khususnya bagi warga Maros, Sulawesi Selatan. Aliran “Pangissengana Tarekat Ana Loloa” yang dipimpin oleh Petta Bau dianggap menyimpang sebab dalam ajarannya menambahkan rukun Islam yang seharusnya 5 menjadi 11 dan mengajarkan bahwa ibadah haji ke Mekah tidak sah, kecuali dilakukan di Gunung Bawakaraeng.

Namun hingga saat ini, belum ada Fatwa Majelis Ulama Indonesia atau MUI yang dikeluarkan menanggapi kasus tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apakah yang dimaksud Fatwa MUI itu? Dan bagaimana proses legitimasinya?

Dalam artikel ilmiah berjudul Fatwa MUI tentang Aliran Sesat di Indonesia (1976-2010) di laman UINSU, Dimiyatri Sajari menjelaskan bahwa Fatwa Sesat MUI merupakan keputusan atau legitimasi dari para ulama mengenai suatu permasalahan dalam agama Islam.

Selain itu, ditegaskan bahwa fatwa yang dimaksud adalah fatwa MUI mengenai suatu persoalan keagamaan yang telah mendapatkan persetujuan dari anggota Komisi dalam rapat. Dengan kata lain, jika suatu jawaban atau penjelasan tidak dihasilkan melalui mekanisme rapat Komisi Fatwa, maka tidak dapat dianggap sebagai fatwa MUI, meskipun yang memberikan penjelasan tersebut adalah salah satu atau beberapa anggota Komisi Fatwa MUI.

Untuk itu, MUI telah menetapkan sepuluh kriteria ajaran atau aliran yang dianggap sesat, sebagaimana dirumuskan dalam Rakernas di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, pada 2007.

Kriteria tersebut mencakup: menolak salah satu dari enam rukun iman dan lima rukun Islam; meyakini atau mengikuti akidah yang bertentangan dengan Alquran dan Sunnah; mempercayai adanya wahyu yang turun setelah Al-Qur'an; mengingkari keaslian atau kebenaran isi Al-Qur'an; menafsirkan Alquran tanpa mengikuti kaidah tafsir yang benar; menolak hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam; menghina, merendahkan, atau melecehkan para nabi dan rasul; menolak Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir; mengubah, menambah, atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan dalam syariat, seperti melaksanakan haji di tempat selain Baitullah atau meninggalkan kewajiban salat lima waktu; serta mengkafirkan sesama muslim tanpa dasar syar'i, misalnya hanya karena perbedaan kelompok.

Berdasarkan sepuluh kriteria tersebut, MUI dapat menetapkan suatu kelompok sebagai aliran sesat atau menyatakannya berada di luar Islam jika kelompok tersebut memenuhi salah satu dari kriteria yang telah ditetapkan.

Terlebih lagi, jika suatu kelompok memiliki lebih dari satu kriteria yang menyimpang, maka statusnya semakin mengarah pada kesesatan. Setelah dilakukan penelitian dan kajian mendalam serta melalui prosedur yang sesuai di MUI, kelompok tersebut bisa dinyatakan sesat atau bahkan dianggap telah keluar dari Islam. Individu atau kelompok yang telah dinyatakan keluar dari Islam dianggap sebagai murtad, yang dalam ajaran Islam berarti berstatus kafir, atau lebih dikenal dengan istilah kafir murtad.

Dalam buku Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang diterbitkan pada 2010, Fatwa MUI dari tahun 1976 hingga 2010 diklasifikasikan ke dalam empat bidang utama. Pertama, bidang akidah dan aliran keagamaan dengan 14 fatwa. Kedua, bidang ibadah yang mencakup 30 fatwa. Ketiga, bidang sosial dan budaya dengan 47 fatwa. Terakhir, bidang yang berkaitan dengan pangan, obat-obatan, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang terdiri dari 29 fatwa.

Di samping empat bidang fatwa ini terdapat Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa seIndonesia yang terdiri dari tiga keputusan, yaitu Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia telah diadakan dalam beberapa periode. Pada tahun 2003, keputusan ini mencakup Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, tiga isu keagamaan (Masâ’il Waqi‘iyyah Mu‘âshirah), serta sembilan isu perundang-undangan (Masâ’il Qanûniyyah).

Kemudian, dalam Ijtima Ulama pada 2006, keputusan yang dihasilkan meliputi empat isu dasar keagamaan dan kebangsaan (Masâ’il Dîniyyah Asâsiyyah Wathaniyyah), tujuh isu kontemporer (Masâ’il Waqî‘iyyah Mu‘âshirah), serta tujuh isu perundang-undangan (Masâ’il Qanûniyyah). Selanjutnya, pada tahun 2009, Ijtima’ Ulama kembali menetapkan keputusan yang terdiri dari empat isu dasar keagamaan dan kebangsaan, delapan isu kontemporer, serta sembilan isu terkait perundang-undangan.

Ananda Bintang Purwaramdhona ikut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online