KOMISI I Dewan Perwakilan Rakyat sedang membahas Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau RUU TNI. Komisi I DPR telah menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) pada 3-4 Maret 2025 untuk mendengar masukan pakar dan lembaga swadaya masyarakat terhadap isu-isu mengenai revisi UU TNI.
Salah satu masukan yang dibahas dalam RDPU tersebut adalah anggota TNI diperbolehkan mengisi jabatan sipil di luar ketentuan Pasal 47 ayat (2) UU TNI.
Sebelumnya, Rapat Paripurna DPR pada 18 Februari 2025 menyetujui RUU TNI masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Wakil Ketua DPR Adies Kadir, yang memimpin rapat paripurna, mengatakan pembahasan RUU TNI selanjutnya ditugaskan kepada Komisi I DPR selaku alat kelengkapan dewan dengan ruang lingkup tugas mencakup bidang pertahanan, luar negeri, komunikasi dan informatika, serta intelijen.
Akademisi: TNI Dalam Jabatan Sipil Tetap Merujuk Pasal 47 Ayat (2) UU TNI
Guru Besar Ilmu Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran (Unpad), Muradi, mengatakan penempatan prajurit TNI dalam jabatan sipil tetap merujuk Pasal 47 ayat (2) UU TNI. Pasal 47 ayat (2) UU TNI mengatur prajurit TNI dapat menduduki jabatan sipil pada 10 institusi, yaitu yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, lembaga ketahanan nasional, dewan pertahanan nasional, search and rescue (SAR) nasional, narkotika nasional, dan Mahkamah Agung.
Dia menyebutkan penempatan pada bidang-bidang lain, kalau tidak jelas, akan mengancam. “Ancaman itu bukan cuma ancaman militer terhadap sipil, melainkan mengancam militer jadi tidak profesional,” kata Muradi saat dihubungi dari Jakarta pada Rabu, 5 Maret 2025, seperti dikutip dari Antara.
Muradi menyampaikan pernyataan tersebut ketika ditanya mengenai wacana perluasan penempatan prajurit pada jabatan sipil dalam RUU TNI. “Untuk perluasan ini, saya cenderung memandang lebih banyak mudaratnya ketimbang positifnya buat tentara karena mereka akhirnya nanti tidak fokus pada kerja-kerja pertahanan negara,” ujarnya.
Karena itu, dia mengingatkan kepada prajurit TNI harus tetap profesional sehingga perluasan penempatan tidak diperlukan. “Mereka itu jadi tentara ya kan, bukan pengin jadi petani, bukan pengin jadi ahli perhubungan, justru mereka adalah untuk membela negara,” ujarnya.
Pakar Pertahanan Usulkan Prajurit TNI Terbuka Mengisi Jabatan Sipil
Sementara itu, dalam rapat dengan Komisi I DPR, pakar pertahanan yang juga Advisor Defense Diplomacy Strategic Forum Mayjen TNI Purn. Rodon Pedrason mengusulkan agar prajurit TNI bisa secara terbuka mengisi jabatan sipil.
Pasal 47 UU TNI menjelaskan prajurit TNI aktif hanya bisa mengisi 10 kategori jabatan sipil. Menurut Rodon, pembatasan tersebut sejak awal justru menimbulkan polemik di kalangan TNI. “Kenapa disebutkan 10 lembaga ini? Kenapa enggak kita biarkan terbuka seperti undang-undang yang ada di polisi? Dengan demikian, tidak menimbulkan debat,” kata dia di kompleks parlemen pada Senin, 3 Maret 2025.
Rodon mengungkapkan setiap warga negara mana pun berhak berada di mana pun sejauh hal tersebut demi kepentingan negara. Menurut dia, kebutuhan sumber daya manusia lebih pada pengalaman empirik yang perlu selaras dengan rencana percepatan dari pemerintah untuk memberdayakan TNI dan Polri. “Penempatan prajurit TNI di kementerian/lembaga saat ini karena berdasarkan undang-undang perlu dibahas,” kata dia.
Dia juga mengatakan jaringan yang dimiliki TNI atau Polri itu hingga ke tingkat bawah. Misalnya, hingga ke komando rayon militer (koramil) di tingkat kecamatan dan bintara pembina desa (babinsa). Dia mencontohkan penanganan Covid-19 oleh pemerintah tidak mungkin tanpa peran TNI dan Polri. Bahkan, semangat prajurit membantu pemerintah pun sudah mulai berkembang di tingkat bawah. “Kita juga dengar bahwa terakhir panglima mengatakan bahwa penempatan prajurit di kementerian/lembaga itu bukan merupakan dwifungsi, melainkan multifungsi,” ujar Rodon.
Karena itu, dia menilai partisipasi militer dalam pemerintahan sipil semestinya dimaknai dalam konteks pengembangan pemerintahan sebagai akselerator. Selain itu, partisipasi militer juga bisa menunjukkan variasi kuantitatif dan kualitatif.
Hammam Izzuddin dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Pesan Pakar untuk Penyelenggara Pemilu: Antisipasi Politik Uang Menjelang PSU