Bitcoin Halving & Market Cycle: Panduan Lengkap Memahami Siklus Bitcoin

2 months ago 68

Jakarta, Pintu News – Pasar Bitcoin dikenal dengan siklus unik yang membuat harganya bisa melonjak tajam atau anjlok drastis dalam waktu tertentu. Siklus ini berulang setiap empat tahun, didorong oleh peristiwa halving yang memengaruhi pasokan dan sentimen pasar.

Dari akumulasi hingga crash, investor crypto bisa memanfaatkan pola ini untuk meraih keuntungan besar. Dalam artikel ini, kita akan membedah fase-fase siklus pasar crypto Bitcoin dan pengaruhnya terhadap harga serta adopsi mainstream cryptocurrency!

Apa Itu Siklus Pasar Bitcoin?

Siklus pasar Bitcoin (BTC) adalah pola perilaku harga yang berulang, ditandai oleh periode apresiasi dan depresiasi nilai. Fluktuasi ini sangat dipengaruhi oleh sentimen investor yang berubah-ubah mengikuti kondisi ekonomi global, regulasi, dan inovasi teknologi.

Peristiwa penting dalam siklus ini adalah halving, yaitu pemotongan 50% imbalan bagi penambang Bitcoin yang terjadi setiap empat tahun. Terakhir kali, halving terjadi pada 19 April 2024, ketika imbalan menurun dari 6,25 BTC menjadi 3,125 BTC.

Selanjutnya, halving berikutnya diperkirakan terjadi pada April 2028. Penurunan pasokan baru ini sering memicu lonjakan harga karena terbatasnya ketersediaan BTC di pasar.

Baca juga: 5 Crypto yang Diprediksi Bisa Kalahkan Bitcoin (BTC) dan Berpotensi Naik 9900%

Fase-Fase Siklus Pasar Crypto: Dari Akumulasi hingga Crash

Siklus pasar Bitcoin terdiri dari empat fase: akumulasi, pertumbuhan, gelembung, dan crash. Fase pertama, yaitu akumulasi, terjadi ketika harga masih rendah, tetapi ada tanda-tanda awal pemulihan. Investor cerdas biasanya mulai membeli di fase ini karena potensi keuntungan jangka panjangnya sangat besar.

Fase pertumbuhan muncul ketika harga mulai naik menuju rekor tertinggi sebelumnya. Selama fase ini, volume perdagangan mulai naik, dan banyak investor mulai membeli dalam jumlah besar. Biasanya, peristiwa halving terjadi di fase ini, mendorong ekspektasi harga lebih tinggi. Pasokan BTC di bursa juga mulai menyusut karena banyak investor memilih untuk menyimpan koin mereka.

Sumber: Caleb & Brown

Gelembung harga muncul ketika harga BTC melebihi rekor sebelumnya dan naik secara eksponensial. Di fase ini, banyak investor ritel mulai masuk karena takut ketinggalan , meski volatilitas tinggi. Indeks Fear & Greed biasanya menunjukkan “Extreme Greed”, menandakan euforia pasar. Namun, harga yang terlalu cepat naik juga membuatnya rentan terhadap koreksi besar.

Fase crash terjadi setelah puncak euforia, di mana harga jatuh hingga 80% dari puncaknya. Sebagai contoh, BTC anjlok dari $69.000 (sekitar Rp1,1 miliar) pada November 2021 menjadi $15.476 (sekitar Rp252 juta) setahun kemudian.

Koreksi ini biasanya berlangsung sekitar satu tahun dan memunculkan kembali sentimen bearish. Di fase ini, investor yang panik mulai menjual, sementara investor sabar bersiap untuk fase akumulasi berikutnya.

Baca juga: 10 Contoh Crypto Paling Populer di Tahun 2025

Sentimen Pasar dan Data Pendukung

Sentimen pasar crypto dapat dilihat dari berbagai indikator seperti volume perdagangan, indeks Fear & Greed, serta cadangan Bitcoin di bursa.

Ketika cadangan di bursa menurun, artinya banyak investor menyimpan BTC mereka, menandakan kepercayaan terhadap kenaikan harga. Ini sering terjadi menjelang fase pertumbuhan atau gelembung.

Sumber: Caleb & Brown

Selain itu, tren pencarian di Google untuk kata “bitcoin” atau “crypto” juga menjadi indikator minat publik. Puncak pencarian terjadi pada Desember 2017 dan saat bull run tahun 2021.

Namun, sejak saat itu, pencarian tidak pernah setinggi itu lagi, meskipun harga BTC sempat mencetak rekor baru. Hal ini menunjukkan bahwa crypto semakin dikenal luas, dan informasi tentang cryptocurrency kini tersebar lewat media sosial dan kanal berita mainstream.

Korelasi dengan Pasar Tradisional dan Dampak Makro

Harga Bitcoin kini semakin menunjukkan korelasi tinggi dengan aset berisiko seperti saham di S&P 500 dan Nasdaq. Pada April 2025, korelasinya mencapai 0,73 dan 0,76 setelah pengumuman tarif oleh Presiden Trump. Ketika ketegangan geopolitik meningkat di Timur Tengah, korelasi ini bahkan melonjak ke 0,90.

Artinya, meskipun Bitcoin awalnya dikenal sebagai aset lindung nilai, kini ia juga terpengaruh oleh faktor eksternal seperti ketidakpastian makro dan kebijakan pemerintah. Korelasi ini bisa berubah tergantung kondisi global, dan investor harus memperhatikannya dalam strategi investasi mereka.

Baca juga: 3 Kripto yang Layak Dibeli Saat Pasar Crypto Bullish

Adopsi Mainstream Bitcoin dan Regulasi Terbaru

Bitcoin makin diakui sebagai penyimpan nilai dan alat pembayaran legal di berbagai negara dan perusahaan besar. Misalnya, MicroStrategy kini memegang 576.230 BTC dengan harga beli rata-rata $66.384 (sekitar Rp1,08 miliar per BTC). Tesla juga memegang lebih dari 11.500 BTC di neracanya, menunjukkan minat institusi yang terus bertambah.

Lebih dari sepuluh ETF Bitcoin spot telah diluncurkan, mempermudah investor tradisional berinvestasi di BTC tanpa harus memahami teknologinya secara mendalam. Namun, pengguna crypto yang peduli pada privasi tetap lebih suka membeli BTC langsung dan menyimpannya di dompet dingin (cold wallet), sesuai prinsip “not your keys, not your coins”.

Langkah Regulasi AS dan Peran Pemerintah

Regulasi cryptocurrency menjadi fokus utama pemerintahan Trump sejak 2025. Presiden Trump membentuk dua dana digital negara: Strategic Bitcoin Reserve dan cadangan aset digital nasional. Dana ini dibiayai dari aset crypto hasil sitaan kriminal, dan kemungkinan akan diperluas dengan penggunaan dana publik.

Sejauh ini, tiga negara bagian AS—Arizona, New Hampshire, dan Texas—sudah mengesahkan pembentukan SBR dengan dana negara. Di sisi lain, 19 negara bagian menolak rancangan ini. Beberapa RUU lain, seperti GENIUS Act dan CLARITY Act, tengah dibahas untuk memberikan kepastian hukum dan potensi lonjakan harga lebih lanjut di pasar crypto.

Nabung Rutin Bitcoin di Pintu: Strategi Sederhana di Tengah Siklus Pasar

Menghadapi fluktuasi harga Bitcoin (BTC) akibat siklus pasar dan halving, strategi nabung rutin atau Dollar Cost Averaging (DCA) jadi cara paling praktis untuk investasi jangka panjang. Dengan DCA, kamu membeli Bitcoin secara berkala dalam jumlah tetap tanpa perlu menebak harga pasar, sehingga cocok diterapkan di semua fase siklus—dari akumulasi hingga crash.

Lewat aplikasi Pintu, kamu bisa mulai nabung Bitcoin dari Rp11.000 saja, otomatis dan tanpa repot. Ini membuatmu tetap konsisten berinvestasi, sekaligus memanfaatkan momen pasokan BTC yang menurun pasca-halving dan potensi lonjakan harga di masa depan.

Itu dia informasi terkini seputar crypto. Ikuti kami di Google News untuk mendapatkan informasi terkini seputar dunia crypto dan teknologi blockchain. Cek harga bitcoin hari iniharga solana hari inipepe coin dan harga aset crypto lainnya lewat Pintu Market.

Nikmati pengalaman trading crypto yang mudah dan aman dengan mengunduh aplikasi kripto Pintu melalui Google Play Store maupun App Store sekarang juga. Dapatkan juga pengalaman web trading dengan berbagai tools trading canggih seperti pro charting, beragam jenis tipe order, hingga portfolio tracker hanya di Pintu Pro.

*Disclaimer

Konten ini bertujuan memperkaya informasi pembaca. Pintu mengumpulkan informasi ini dari berbagai sumber relevan dan tidak terpengaruh oleh pihak luar. Sebagai catatan, kinerja masa lalu aset tidak menentukan proyeksi kinerja yang akan datang. Aktivitas jual beli crypto memiliki risiko dan volatilitas tinggi, selalu lakukan riset mandiri dan gunakan uang dingin sebelum berinvestasi. Segala aktivitas jual beli bitcoin dan investasi aset crypto lainnya menjadi tanggung jawab pembaca.

Referensi:

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online