Fenomena Gen Z Cari Tips Karier di Medsos, Tak Lagi Minat Saran Formal

3 hours ago 1

Banyak orang berusaha keras agar sukses di dunia kerja. Dulu melamar kerja dari satu perusahaan ke perusahaan lain adalah hal yang lumrah dilakukan. Seiring perkembangan zaman, Gen Z kini lebih memilih untuk memanfaatkan media sosial dalam mencari tips karier.

Fenomena ini membuat mereka belajar mengembangkan diri melalui informasi digital, sehingga dianggap sudah tidak berminat dengan saran formal dari senior.

Di era digital yang kian dinamis, media sosial tak lagi sekadar wadah hiburan. Kini platform seperti TikTok, YouTube, dan Instagram menjelma menjadi ruang belajar baru bagi generasi muda, termasuk dalam urusan karier.

Fenomena ini kian marak di kalangan Generasi Z, kelompok kelahiran antara pertengahan 1997 hingga awal 2012, lebih memilih mencari inspirasi dan panduan karier dari layar ponsel. Dibandingkan meminta saran formal dari profesional, seperti dosen, konselor kampus, atau pakar.

Mengutip CNBC International, menurut terbaru dari Schultz Family Foundation dan HarrisX melalui Broken Marketplace Study memperlihatkan bahwa 70 persen Gen Z di Amerika Serikat, kini mencari saran karier melalui media sosial. Angka ini menunjukkan perubahan besar dalam cara anak muda membentuk masa depan profesional mereka.

Sementara generasi sebelumnya mungkin berkonsultasi dengan guru BK atau membaca buku pengembangan diri. Gen Z lebih percaya pada video berdurasi 60 detik yang terasa lebih nyata, relevan, dan mudah dipahami.

Bagi Gen Z, media sosial menghadirkan ruang yang terasa 'otentik'. Tak hanya sekadar mendengar teori atau wejangan, media sosial bisa memaparkan kisah nyata, kesalahan, dan keberhasilan orang lain yang mungkin dapat menjadi inspirasi.

Gen Z lebih tertarik pada pengalaman nyata yang dibagikan secara jujur, bukan nasihat formal yang sering terasa kaku dan jauh dari kenyataan dunia kerja saat ini. Fenomena tersebut bukan hanya tren sesaat, melainkan cerminan dari perubahan paradigma besar dalam mencari arah hidup dan karier di era digital.

TikTok jadi 'kantor konsultasi' karier baru

Bagi sebagian orang, TikTok masih identik dengan tren tarian dan konten hiburan. Namun bagi banyak anak muda, platform ini kini menjadi career coach virtual.

Di balik tagar populer seperti #CareerTok, #JobSearch, atau #CorporateBaddies, terselip ribuan video yang berisi tips menulis CV, etika wawancara, hingga cara menghadapi atasan toxic. Salah satu contohnya datang dari Baron Leung, seorang pekerja muda asal Toronto.

Setelah dua bulan gagal mendapatkan pekerjaan lewat jalur konvensional, ia membuat video berdurasi dua menit berjudul Why You Should Hire Baron di TikTok. Dalam video itu, Leung mempresentasikan dirinya secara kreatif, menonjolkan kemampuan dan kepribadian yang tak bisa ia tuangkan dalam CV biasa.

Tak disangka, video tersebut viral dan menarik perhatian perekrut dari agensi iklan Zenith. Hasilnya, ia mendapatkan pekerjaan impiannya. Kisah Leung bukan kasus tunggal.

Banyak anak muda kini menggunakan media sosial bukan hanya untuk mencari lowongan, melainkan untuk menonjolkan keunikan mereka di tengah persaingan kerja. Format video yang ringan, lucu, dan personal membuat perekrut bisa melihat sisi autentik pelamar, tidak hanya sekadar daftar pencapaian formal di atas kertas.

Kisah serupa dialami oleh Jade Walters, 24 tahun, yang menemukan peluang karier berkat fitur TikTok Resumes pada 2021. Ia membuat video singkat berisi perjalanan akademiknya dan pengalaman magang yang kemudian menarik perhatian perekrut dari TikTok sendiri.

Tak lama setelah itu, Walters resmi bergabung sebagai media planner di perusahaan tersebut. Kini Walters justru menjadi pembuat konten karier di TikTok dengan nama pengguna @theninthsemester.

Ia membagikan tips untuk mahasiswa dan fresh graduate, seperti cara membuat portfolio digital, menghadapi wawancara, hingga menegosiasikan gaji pertama. Menurutnya, media sosial bisa menjadi sarana paling mudah diakses bagi anak muda yang tak punya mentor atau dukungan profesional.

“Saya generasi pertama di keluarga yang kuliah, dan saya belajar lebih banyak tentang dunia kerja dari TikTok dibanding kampus,” ujar Walters.

Konten karier yang relevan

Fenomena ini juga dirasakan oleh Grace Dunlavy  yang mengaku kerap mencari inspirasi karier lewat konten 'Get Ready With Me' atau 'A Day in My Life'. Ia mencari video orang-orang yang bekerja di bidang komunikasi dan PR untuk memahami seperti apa kehidupan nyata di profesi itu.

“Melihat rutinitas mereka membantu saya memvisualisasikan masa depan saya, TikTok memberi gambaran realistis yang tidak saya dapatkan dari brosur kampus atau seminar karier,” tambahnya.

Kini Dunlavy bekerja di agensi komunikasi New York dan masih mengandalkan TikTok untuk mencari inspirasi meningkatkan performa kerjanya.

Panduan karier tradisional sudah terhempas zaman

Studi Broken Marketplace mengungkapkan bahwa sistem bimbingan karier tradisional kini tertinggal dari kebutuhan generasi muda. Banyak konselor sekolah yang kewalahan, orangtua memberi saran berdasarkan pengalaman masa lalu, sementara perusahaan menuntut pengalaman kerja tanpa memberi kesempatan belajar.

Akibatnya, terbentuk 'pasar bimbingan karier yang rusak', di mana semangat anak muda tinggi, tapi dukungan sistemik lemah. Dalam situasi itu, media sosial hadir sebagai solusi spontan.

Sekitar 40 persen Gen Z, secara aktif mencari konten karier, sementara 30 persen menemukannya secara tidak sengaja saat berselancar di dunia maya. Menariknya, YouTube menjadi platform paling dipercaya untuk konten edukasi, diikuti oleh TikTok dan Instagram.

Yang membuat konten ini menarik juga rasa kedekatan. Pembuatnya sering kali hanya beberapa tahun lebih tua dari penontonnya sehingga nasihat yang dibagikan terasa jujur dan bisa diterapkan.

Format vlog, tutorial, hingga storytime membantu Gen Z memahami dunia kerja dengan cara yang relevan dan realistis.

Tidak semua saran di medsos bisa dipercaya

Meski memberikan banyak manfaat, pakar perekrutan mengingatkan bahwa tidak semua saran di TikTok bisa dijadikan patokan. Bonnie Dilber, seorang perekrut di perusahaan perangkat lunak Zapier, menilai bahwa pengguna perlu berhati-hati agar tidak 'terlalu terbuka' atau curhat berlebihan di media sosial.

“Shoshanna Davis, pendiri konsultan karier Fairy Job Mother, menyoroti bahwa siapa pun bisa mengaku sebagai pakar di TikTok tanpa bukti pengalaman profesional. Banyak yang viral karena gaya bicara menarik, bukan ilmunya akurat,” jelas Dilber dila.

Para ahli menyarankan agar pengguna selalu memeriksa latar belakang pembuat konten, meninjau profil LinkedIn-nya, atau membandingkan saran tersebut dengan sumber terpercaya seperti lembaga pendidikan dan asosiasi profesional.

Perubahan perilaku Gen Z ini bukan sekadar tren digital, melainkan refleksi dari pergeseran sosial yang lebih luas. Sebanyak 57 persen anak muda mengaku khawatir tidak akan ada cukup lapangan kerja di masa depan, dan 54 persen takut posisinya akan digantikan oleh AI.

Di tengah ketidakpastian ini, media sosial menawarkan lebih dari sekadar tips, namun juga harapan, komunitas, dan arah. Bagi generasi yang tumbuh di dunia serba cepat dan transparan, pendekatan konvensional terasa lambat dan kaku.

Untuk itu, Bunda bisa mencari bimbingan yang langsung, jujur, dan mudah diakses. Bahkan jika itu datang dari seseorang di sisi lain layar ponsel mereka.

TikTok mungkin hanyalah permulaan. Namun fenomena ini menunjukkan satu hal pasti: Gen Z tidak hanya mengubah cara kita bekerja, tapi juga cara kita belajar bekerja. Bagaimana menurut Bunda mengenai pandangan Gen Z kali ini?

Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!

(rap/rap)

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online