Lima Catatan Kritis Jatam Terhadap Revisi UU Minerba

5 hours ago 1

TEMPO.CO, Jakarta – Badan Legislasi DPR RI (Baleg DPR) bakal merevisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara atau UU Minerba. Rencana revisi UU Minerba yang keempat kalinya ini dilakukan secara mendadak melalui rapat pleno yang digelar secara tiba-tiba pada Senin, 20 Januari 2025 kemarin. Pertemuan digelar di hari terakhir masa reses DPR RI.

Ketua Baleg DPR Bob Hasan menjelaskan bahwa revisi UU Minerba ini diperlukan untuk menyikapi hasil putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-XVIII/2020 serta Nomor 37/PUU-XIX/2021. Bob menyatakan rapat ini sudah mendapat izin dari pimpinan DPR RI mengingat urgensinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Bukan persoalan kenapa baru sekarang, tapi hari ini kami harus segera mungkin (membahas revisi) agar kemaslahatan umat betul-betul dapat terlaksana sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945,” tuturnya pada Senin, 20 Januari 2025.

Menanggapi rencana ini, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) meragukan alasan dari DPR yang melakukan revisi UU Minerba untuk keempat kalinya hanya karena mematuhi putusan MK. Juru kampanye JATAM, Alfarhat Kasman menilai revisi ini sebagai upaya membancak kekayaan alam, terutama mineral tambang secara berjamaah, sistematis, dan seolah-olah legal.

“Pembancakan kekayaan alam itu tak terlepas dari latar belakang dan kepentingan elit politik istana dan parlemen yang mayoritas di antaranya datang dari latar belakang pebisnis,” katanya dalam keterangan tertulis, Selasa, 21 Januari 2025.

Farhat melanjutkan, setidaknya ada lima poin krusial dalam naskah revisi UU Minerba yang patut dikritisi keberadaannya. Yang pertama adalah pemberian izin usaha pertambangan atau IUP dengan luas kurang dari 2.500 hektar ke UMKM.

Kemudian, revisi UU Minerba yang terbaru juga memprioritaskan pemberian wilayah izin usaha pertambangan atau WIUP kepada perguruan tinggi. Hal ini menyusul pemberian WIUP kepada organisasi masyarakat atau ormas keagamaan yang kembali ditegaskan dasar hukumnya dalam revisi tersebut.

“Para pencoleng tersebut terkesan mendompleng pasal 33 UUD 1945 demi memoles citra semata saat memprioritaskan pemberian WIUP kepada perguruan tinggi dan UMKM,” sambung Farhat.

Poin keempat yang menurut JATAM patut menjadi perhatian adalah usulan Pasal 141 B yang mengatur sebagian penerimaan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dikelola oleh menteri. Apabila pengelolaan PNBP jatuh kepada Kementerian ESDM, semakin terlihat jelas revisi UU Minerba ini hanya untuk bagi-bagi 'gula' dari usaha pertambangan.

“Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yang memiliki gurita bisnis nikel di Maluku Utara,” ujar Farhat kembali.

Hal terakhir dalam revisi UU Minerba yang dikritisi oleh JATAM adalah prioritas pemberian WIUP dalam rangka hilirisasi. Farhat menilai, pertambangan dan hilirisasi bersifat dekstruktif dan tidak membawa dampak yang baik dalam masyarakat. Oleh karena itu, Farhat menunutur DPR untuk menghentikan proses revisi UU Minerba tersebut.

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online