Pesan Pakar untuk Penyelenggara Pemilu: Antisipasi Politik Uang Menjelang PSU

15 hours ago 4

MAHKAMAH Konstitusi atau MK memerintahkan pemungutan suara ulang di 24 daerah untuk Pilkada 2024. Perintah PSU atau pencoblosan ulang itu adalah bagian dari putusan sidang perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) kepala daerah yang dibacakan pada Senin, 24 Februari 2025.

Dalam putusannya, MK menetapkan lima kategori tenggat waktu penyelenggaraan pencoblosan ulang pilkada, yaitu 30, 45, 60, 90, dan 180 hari setelah putusan MK dibacakan. Dengan skema tersebut, maka usulan waktu pelaksanaan PSU dalam tenggat waktu 30 hari akan dilaksanakan pada Sabtu, 22 Maret nanti. Sedangkan daerah yang tenggat waktu pelaksanaan PSU masuk pada kategori 180 hari, pencoblosan ulang akan dilakukan pada Sabtu, 9 Agustus 2025.

Menjelang PSU, sejumlah kalangan mengingatkan penyelenggara pemilu mengantisipasi permasalahan yang berpotensi muncul, seperti politik uang.

Pakar Ingatkan Penyelenggara PSU Antisipasi Politik Uang

Guru Besar Ilmu Politik Universitas Andalas (Unand), Asrinaldi, mengingatkan penyelenggara pemilu mengantisipasi politik uang menjelang PSU, terutama yang dilaksanakan setelah Idulfitri 1446 Hijriah. “Politik uang yang dianggap bisa menjadi persoalan, dan ditambah dengan wujudnya sembako, saya pikir itu memang harus diantisipasi,” kata dia saat dihubungi di Jakarta pada Rabu, 5 Maret 2025, seperti dikutip dari Antara.

Dia juga menuturkan fenomena politik uang perlu diantisipasi karena kerap menjadi strategi meraih suara. “Kondisi ekonomi yang sulit seperti ini, saya pikir memang itu menjadi pilihan yang harus diawasi ya, atau harus diantisipasi oleh penyelenggara pemilu dan masyarakat,” ujarnya.

Asrinaldi mengatakan antisipasi perlu dilakukan karena PSU membatasi kampanye para calon kepala dan wakil kepala daerah. “Jadi strategi sembako politik uang itu menjadi pilihan yang rasional bagi calon untuk bisa menaikkan suaranya. Apalagi kampanye mereka dibatasi ya,” ujar dia.

Karena itu, dia berharap penyelenggara pemilu dapat mengantisipasinya agar tidak berdampak terhadap kualitas PSU yang akan dilakukan. “Apalagi kalau dilaksanakan setelah Lebaran. Setelah Lebaran itu kan tidak ada jaminan juga bahwa tidak menerima bantuan-bantuan karena bagaimanapun ya kehidupan masyarakat hari ini memang sulit gitu,” kata dia.

Bawaslu Perlu Kerja Ekstra Awasi Politik Uang Jelang PSU

Pakar Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ) Ardli Johan Kusuma memandang perlu Bawaslu bekerja ekstra untuk mengantisipasi politik uang menjelang PSU. “Penyelenggara pemilu, termasuk Bawaslu, harus bekerja ekstra untuk melakukan pengawasan di lapangan,” kata Ardli saat dihubungi dari Jakarta, Rabu.

Dia mengatakan kerja ekstra dibutuhkan, terutama untuk penyelenggaraan PSU setelah Lebaran 2025 yang dia nilai punya tantangan berat terkait dengan politik uang. Kegiatan politik uang, menurut Ardli, bisa disamarkan dalam bentuk bingkisan Lebaran atau kegiatan santunan selama bulan puasa.

Kerja ekstra itu, kata dia, adalah dengan menanggapi secara serius setiap aduan dari masyarakat mengenai upaya kecurangan dari peserta PSU Pilkada 2024 menjelang hari pelaksanaannya. Dia menuturkan pelibatan masyarakat tersebut dapat menjadi kunci dalam mengawasi pelaksanaan PSU.

Sejumlah Masalah pada Pilkada 2024 yang Kerap Berulang

Sebelumnya, pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, memaparkan tujuh masalah pada Pilkada 2024 yang masih sering berulang pada setiap pelaksanaan pemilu. “Dari Pilkada 2024, masih ditemukan tujuh masalah klasik dan berulang," kata Titi saat rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu, 26 Februari 2025.

Dia menjelaskan permasalahan pertama adalah keluhan tentang politik biaya tinggi. Hal itu terjadi di ruang-ruang ‘gelap’ yang tidak kompatibel dengan akuntabilitas laporan dana kampanye pasangan calon. “Kalau dilihat laporan dana kampanye pasangan calon, semua masuk akal, semua realistis, tetapi pilkada biaya tinggi selalu menjadi keluhan,” ujarnya.

Masalah kedua, kata dia, politik uang atau jual beli suara (vote buying). “Bahkan mulai dikemas dengan kontrak politik berbasis privat yang transaksional, menyertakan angka-angka per pemilih dengan kemasan kontrak politik,” ucapnya.

Kemudian, dia mengungkapkan adanya politisasi dan ketidaknetralan aparatur sipil negara (ASN) dan kepala desa yang kemudian berdampak pada pemungutan suara ulang serta diskualifikasi calon.

Titi mengatakan masih terjadi pula keberpihakan dan penyalahgunaan wewenang oleh petahana serta penyelenggara negara dan daerah, khususnya ketika berkelindan dengan hubungan keluarga dan kekerabatan.

Permasalahan kelima, kata dia, sentralisasi rekomendasi pencalonan yang mewajibkan rekomendasi dewan pengurus pusat partai politik sehingga mengakibatkan problematika ikutan, yakni soal praktik politik mahar, mahar politik, dan juga politik biaya tinggi. 

Dia mengatakan masalah keenam adalah masih ada manipulasi suara. Sedangkan ketujuh adalah problem profesionalitas dan netralitas penyelenggara pemilu, yakni terjadi disparitas antara aturan main dan implementasi teknis di lapangan, khususnya oleh para petugas ad hoc.

Vedro Imanuel Girsang dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: Sederet Pernyataan Pratikno soal Banjir: Dari Audit Infrastruktur Bekasi hingga soal Isu Politik

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online