Polemik Presiden Prabowo Undang 8 Konglomerat ke Istana Negara

7 hours ago 2

TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto mendapat perhatian lantaran mengundang sejumlah konglomerat Tanah Air di Istana Negara, Jakarta pada Kamis, 6 Maret 2025.

Langkah Prabowo itu mengingatkan yang pernah dilakukan bekas mertuanya, Presiden ke-2 Soeharto di era Orde Baru. Kala itu mendiang Soeharto pernah mengundang para konglomerat dalam pertemuan khusus..

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertemuan Prabowo dengan sejumlah taipan itu terungkap berdasarkan unggahan akun Instagram resmi Sekretariat Kabinet. Ada delapan pengusaha besar di Indonesia yang diundang Prabowo, yakni Anthony Salim, Sugianto Kusuma atau Aguan, Prajogo Pangestu, Boy Thohir, Franky Oesman Widjaja, Dato Sri Tahir, James Riady, dan Tomy Winata.

“Pada kesempatan tersebut, Presiden berdiskusi mengenai perkembangan terkini di Tanah Air dan dunia global, serta program-program utama yang tengah dijalankan oleh pemerintah, termasuk program Makan Bergizi Gratis, infrastruktur, industri tekstil, swasembada pangan dan energi, industrialisasi, hingga Badan Pengelola Investasi Danantara,” tulis akun Instagram @sekretariat.kabinet.

Tentang politik koncoisme

Politik koncoisme, istilah yang populer era Soeharto, terutama kurun 1960-an sampai 1990-an, adalah paham yang mengutamakan kawan sebagai mitra kerja, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Untuk menyokong kekuasaannya, Soeharto bermitra baik dengan sejumlah orang kaya raya kala itu, di antaranya Liem Sioe Liong dan The Kian Seng alias Bob Hasan.

Salah satu kebijakan Soeharto adalah menggagas penggalangan dana dari para konglomerat untuk tujuan mengentaskan kemiskinan di 1994. Soeharto kala itu mengumpulkan para konglomerat di Bali, dan juga di Tapos, Bogor, Jawa Barat. Ia menagih komitmen sosial para konglomerat yang sudah menagantongi banyak keuntungan dari berbagai usaha mereka di Tanah Air.

Sekretaris Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat H. Ilham Bintang pernah menuliskan kepada Antara, gagasan itu pada awalnya tidak berjalan mulus. Soeharto memang menghendaki agar pengusaha itu menyumbangkan satu persen dari kekayaaan mereka, namun disambut dingin oleh para konglomerat.

Menurut cerita yang beredar, Liem Soei Liong keberatan dengan menunjukkan contoh bahwa satu persen dari kekayaan Grup Salim terlalu besar untuk disedekahkan. Keberatan Om Liem membuat Soeharto sempat naik pitam. Belakangan disepakatilah formulasi bantuan: yaitu konglomerat menyumbangkan dua perssen dari keuntungannya.

Kemunculan dan pelembagaan koncoisme rezim Soeharto ini terdiri dari praktek dan persekongkolan korupsi politik penguasa bersama segelintir tokoh bisnis. Mereka dianakemaskan lewat pemberian hak-hak monopoli dan kontrak pengadaan barang serta jasa pemerintah. Sehingga, keuntungan ekonomi yang diraih menjadi sangat berlebihan.

Profesor, Fakultas Bisnis dan Ekonomi, University of Melbourne sekaligus Newcastle University, Howard Dick dan Peneliti dalam Bidang Pemasaran Bisnis Internasional sekaligus Indonesianis dari Fakultas Ekonomi, La Trobe University, Australia Jeremy Mulholland dalam kolom Tempo pernah mengungkapkan Liem Sioe Liong yang lahir di Tiongkok, konco paling dekat Soeharto.

“Dari hubungan persahabatan mereka, Liem berhasil mengumpulkan dana berskala besar sejak 1966 untuk menjadi modal konglomerasinya,” tulis mereka dalam kolom Tempo edisi 15 Mei 2018.

Berikutnya The Kian Seng yang lahir di Semarang dan berganti nama menjadi Bob Hasan. Ia lalu memeluk Islam. Bob Hasan adalah anak angkat Gatot Subroto, sesepuh Soeharto di TNI Angkatan Darat. Bob Hasan bukan saja memimpin kelompok usaha Kalimanis dan Nusamba, tapi ia juga mengelola pendanaan terkait dengan beberapa yayasan keluarga Soeharto.

Walaupun, sebelum rezim Soeharto, korupsi politik bisnis sudah ada. Koncoisme tidak pernah dapat benar-benar kokoh dan melembaga. Di masa sistem politik parlementer antara 1950 hingga 1957, saking seringnya terjadi pergantian kabinet, hubungan perkoncoan tidak dimungkinkan terbentuk secara matang. Perlawanan yang diperjuangkan Presiden Sukarno terhadap kapitalisme juga jadi hambatan.

Kala Soeharto berada di kekuasaan pada 1966, Liem Sioe Liong ikut naik daun dan menikmati akses khusus ke Istana Kepresidenan. Sejak itu, politik koncoisme berkembang pesat buntut stabilitas rezim politik Soeharto selama 32 tahun menyediakan iklim yang menyuburkan koncoisme. Di sisi lain, Soeharto cukup cerdik menahan agar para konglomerat tak merebut kekuasaan dan lemah dalam perpolitikan.

Di satu sisi, penguasa politik memanfaatkan para pengusaha Tionghoa untuk dijadikan mesin uang, diberi fasilitas dan kemudahan. Namun, di sisi lain, dikembangkan pula wacana anti-Tionghoa. Mereka dikambinghitamkan sebagai konglomerat hitam. Hingga akhir runtuhnya Orde Baru, etnis Tionghoa bahkan menjadi pelampiasan kegeraman rakyat terhadap pemerintahan.

Praktek koncoisme?

Dua hari menjelang pemungutan suara di Pilpres 2024, kala pidato wisuda di Universitas Pertahanan (Unhan), Prabowo Subianto —saat itu menjabat Menteri Pertahanan —pernah menyampaikan kritik terhadap praktik koncoisme dan faktor ‘koneksi’. Ketua Umum Partai Gerindra itu menekankan jabatan mestinya diberikan kepada yang prestasi.

“Kalau negara kita mau maju, mau hebat (maka) yang dihormati, yang dihargai, yang harus segera dipromosikan perlu segera diberi penghargaan (adalah) mereka yang berprestasi. Kita harus menuju ke arah merit system,” kata Prabowo dalam sidang senat terbuka wisuda sarjana, magister, dan doktor Unhan, di Aula Merah Putih Unhan, Sentul, Bogor, Senin, 12 Februari 2024.

Belakangan Jaringan Advokasi Tambang atau Jatam menyentil pernyataan Prabowo setahun silam tersebut. Sebagaimana diunggah lewat akun media sosial X pada Selasa, 4 Mar 2025, Jatam menyebut Prabowo seperti ‘menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri’. Mereka menilai Prabowo justru melakukan praktik koncoisme tersebut setelah menang dan dilantik menjadi Presiden RI.

Jatam merinci bagaimana praktik koncoisme yang dilakukan Prabowo. Dalam Kabinet Merah Putih, misalnya, terdapat 54 perwakilan partai yang masuk dalam susunan kabinet sebagai menteri/wakil menteri dan kepala/wakil kepala badan/lembaga/utusan khusus presiden/dewan khusus. Dari total jumlah itu, partai Gerindra mendapat porsi terbanyak, yaitu 18 orang.

“Yang terdiri dari lima menteri, delapan wakil menteri, lima kepala/wakil kepala badan/lembaga/utusan khusus presiden/dewan khusus yang melapor langsung ke presiden.

Tak sebatas kader partai, para penopang politik Prabowo yang tergabung dalam Tim Kampanye Nasional (TKN) pun diberikan jabatan. Jumlahnya mencapai 36 orang, tersebar di hampir seluruh struktur, mulai dari jabatan menteri, wakil menteri, hingga utusan khusus presiden dan badan/lembaga. Di antara nama-nama itu, sebagiannya datang dari latar belakang pebisnis di sektor industri ekstraktif.

Konglomerat

Langkah Prabowo mengundang konglomerat mendapat sorotan. Presiden bersama delapan pengusaha membahas berbagai perkembangan terkini yang terjadi di Indonesia dan dunia serta berdiskusi tentang program-program utama pemerintah, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), infrastruktur, swasembada pangan dan energi, industri tekstil, industrialisasi, hingga Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).

Prabowo disorot lantaran beberapa konglomerat yang diundang kontroversial. Sugianto Kusuma alias Aguan misalnya. Aguan adalah salah satu pebisnis sukses di Indonesia yang merintis Agung Sedayu Group pada tahun 1970. Terbaru, Aguan ikut berperan dalam sejumlah pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintah seperti Swissotel Nusantara dan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2.

Aguan diduga terlibat dalam skandal pagar laut di perairan Tangerang, Banten. PT Pantai Indah Kapuk Dua (PANI) milik Aguan diduga memiliki saham mayoritas di PT Cahaya Inti Sentosa, salah satu perusahaan yang menggenggam sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di laut Tangerang, Banten. PT PANI mengempit saham mayoritas dengan kepemilikan 88.500 lembar atau senilai Rp 88 miliar.

Ada pula Tomy Winata yang tak lepas dari kontroversi proyek Rempang Eco City. Proyek ini dikerjakan oleh perusahaan milik pengusaha Tomy Winata. Proyek pengembangan pembangunan Pulau Rempang, Kota Batam itu menjadi sorotan publik karena warga belasan kampung menolak digusur. Bahkan sempat terjadi bentrokan dengan aparat pada September 2023 lalu.

Pengembangan proyek Rempang Eco City adalah hasil kerja sama antara pemerintah pusat melalui Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) dan Pemerintah Kota Batam dengan PT Makmur Elok Graha (MEG) yang merupakan anak usaha Artha Graha, kelompok usaha yang dibangun Tomy Winata.

Konglomerat kontroversial lainnya adalah Garibaldi Thohir alias Boy Thohir. Namanya disebut-sebut dalam kasus dugaan korupsi minyak mentah di Pertamina. 

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar membantah bahwa isi dokumen sitaan di rumah Reza Chalid telah bocor ke publik. Harli juga memastikan bahwa Menteri BUMN Erick Thohir dan Boy Thohir tidak terlibat dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina Subholding periode 2018-2023.

“Saya sudah tanya penyidik, tidak ada catatan yang ditemukan bernarasi seperti itu. Seharusnya dicari juga sumbernya dari mana,” kata Harli di Jakarta, Rabu, 5 Maret 2025, seperti dikutip dari Antara.

Eka Yudha Saputra, Adil Al Hasan, dan Yogi Eka Sahputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online