Revisi UU TNI Masuk Prolegnas, Koalisi Masyarakat Sipil Soroti Pasal Bermasalah

9 hours ago 3

TEMPO.CO, Jakarta - DPR menetapkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau revisi UU TNI sebagai program legislasi nasional prioritas 2025 dalam rapat paripurna, Selasa, 18 Februari 2025. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyoroti sejumlah pasal yang bermasalah.

Koalisi Masyarakat Sipil ini terdiri dari berbagai organisasi seperti Imparsial, YLBHI, KontraS, Setara Institute, Amnesty Internasional Indonesia, WALHI, PBHI, hingga Centra Initiative.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka menilai beberapa perubahan yang ada di draf revisi TNI berpotensi mengembalikan peran dan fungsi militer saat era pemerintahan Orde Baru. Koalisi Masyarakat Sipil menyoroti usulan perubahan pada Pasal 47 ayat 2, yang menyatakan adanya perluasan jabatan sipil yang bisa dijabat prajurit TNI aktif.

Usulan di pasal itu membuka peluang kepada prajurit TNI aktif ditempatkan pada kementerian atau lembaga, selain dari 10 instansi yang sudah ditetapkan dalam undang-undang. "Kami memandang perubahan ini sebenarnya tak lain merupakan upaya Prabowo melegitimasi penempatan TNI aktif yang sudah dilakukan secara tidak sah dan bertentangan dengan UU TNI sejak awal pemerintahannya," kata Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan dalam keterangan tertulisnya, dikutip Sabtu, 22 Februari 2025.

Dalam catatan Koalisi Masyarakat Sipil, pada 2023 sebanyak 2.569 prajurit TNI aktif berada di jabatan sipil. Sebanyak 29 di antaranya merupakan perwira aktif yang menjabat di luar sepuluh lembaga sesuai ketentuan UU TNI.

Koalisi mencontohkan ketika Prabowo menunjuk Mayor Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet. Baru-baru ini, tentara aktif dapat jabatan sipil juga kembali terjadi lewat penunjukan Mayor Jenderal Novi Helmy Prasetya sebagai Direktur Utama Perum Bulog.

"Perubahan ini dapat menjadi legitimasi kebijakan keliru dalam pelibatan dan mobilisasi TNI dalam menjalankan program pemerintahan Prabowo," ujarnya.

Di pemerintahan Prabowo, TNI kerap dilibatkan dalam urusan sipil domestik. Misalnya program Makan Bergizi Gratis hingga pelaksanaan proyek strategis nasional.

Koalisi menilai, masifnya pelibatan militer di urusan sipil dan domestik itu membuat TNI kerap berhadapan langsung dengan masyarakat lokal dan adat. Hal itu dinilai berisiko menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

"Pemerintah menempatkan militer sebagai solusi atas semua problematika pembangunan," kata Koalisi Masyarakat Sipil.

Selain itu, Koalisi menganggap perluasan wewenang TNI di jabatan sipil justru hanya memperlemah profesionalisme instansi keamanan tersebut. Terlebih lagi penempatan militer aktif di jabatan sipil acap kali tidak sesuai kapasitas ataupun kompetensinya.

Koalisi Masyarakat Sipil juga menyoroti usulan perubahan Pasal 53 ayat 2. Usulan di beleid itu mengatur penambahan usia pensiun prajurit TNI. Semula masa usia pensiun prajurit TNI ialah 58 tahun, kini diusulkan diperpanjang menjadi 60 tahun untuk perwira. Sementara untuk bintara dan tamtama diusulkan ditambah dari 53 tahun menjadi 58 tahun.

"Usulan tersebut akan memicu inefisiensi pada tubuh TNI, dapat menambah beban anggaran di sektor pertahanan," ucapnya.

Selian itu, Koalisi juga menilai bahwa perpanjangan masa usia pensiun untuk prajurit TNI berpotensi menghambat regenerasi. Kondisi itu dinilai akan menyebabkan terjadinya penumpukan atau surplus perwira TNI yang non-job.

Koalisi Masyarakat Sipil turut menyoroti adanya upaya politisasi militer. Hal itu tertuang dalam Pasal 53 ayat 3 RUU TNI. Aturan itu memungkinkan perpanjangan masa jabatan untuk perwira tinggi bintang empat, yang berpotensi rentan digunakan dalam agenda politik kekuasaan.

Terlebih lagi, kata Koalisi, Presiden Prabowo punya latar belakang militer. "Langkah ini semakin memperkuat dugaan bahwa revisi UU TNI didorong oleh kepentingan elite, bukan demi profesionalisme TNI," katanya.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak agar pemerintah menghentikan pembahasan RUU TNI ini. Menurut dia, lembaga legislatif dan eksekutif mustinya fokus pada agenda reformasi TNI.

Wakil Ketua DPR Adies Kadir mengklaim revisi UU TNI tidak akan memuat pasal-pasal yang berpotensi memperluas peran TNI di ranah sipil. Ia mengatakan, revisi yang ada berkutat pada urusan perpanjangan masa pensiun.

“Enggak, enggak, itu yang dwifungsi ABRI segala macam? Enggak, kita lihat nanti sama-sama,” kata Adies usai memimpin Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Selasa, 18 Februari 2025.

Dalam keterangan terpisah, Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Hariyanto menyatakan bahwa RUU TNI itu akan tetap berlandaskan prinsip profesionalitas dan netralitas instansi. Dia mengatakan bahwa TNI akan berkoordinasi dengan pelbagai pihak dalam membahas RUU tersebut.

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online