TEMPO.CO, Jakarta - Serikat Pekerja Fisipol (SPF) Universitas Gadjah Mada (UGM) ikut serta mengawal isu penundaan pembayaran tunjangan kinerja atau tukin dosen Aparatur Sipil Negara (ASN) oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendiktisaintek) lewat aksi demonstrasi pada Rabu, 12 Februari 2025 di Balairung UGM, Sleman, DI Yogyakarta.
Menindaklanjuti aksi tersebut, SPF kembali menanggapi bila dosen tidak mendapatkan hak tukin atas kinerja mereka sehingga merenggut kesejahteraan dosen, bahkan termasuk dosen ASN di Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH).
Ekspektasi kampus terhadap dosen sangat tinggi, yakni pengajaran yang berkualitas, bimbingan mahasiswa secara intensif, pelaksanaan penelitian dan kolaborasi penelitian dengan institusi internasional, publikasi di jurnal internasional bereputasi, pengabdian masyarakat, dan kewajiban lainnya. Namun, dosen masih tidak mendapat hak atas tukin tersebut.
“Di tengah tekanan untuk berkinerja sangat baik, kami tidak mendapatkan hak kami,” kata pihak SPF, yang tak bersedia disebutkan namanya kepada Tempo pada 21 Februari 2025.
SPF menjelaskan bahwa dosen juga mendapatkan evaluasi kinerja secara bertingkat, mulai dari universitas, fakultas, hingga ke departemen. Sebagai contoh, departemen di Fisipol UGM memiliki instrumen evaluasi untuk menilai kinerja dosen di kelas maupun dalam proses bimbingan mahasiswa. Bahkan, beberapa departemen didorong untuk mendapatkan akreditasi dari lembaga internasional.
Isu tukin juga melibatkan rancangan perpres baru. Saat ini, Kementerian PAN RB dikabarkan merancang perpres yang akan merevisi Perpres nomor 136 Tahun 2018 tentang tukin dosen ASN. Dalam rancangan tersebut, salah satu substansi yang akan disahkan adalah pemberian tukin yang diatur masing-masing perguruan tinggi untuk dosen ASN PTN BH, seperti UGM. Sementara itu, PTN lainnya hanya diberikan remunerasi.
Menurut penuturan SPF, substansi dari rancangan perpres tersebut masih bersifat diskriminatif. Padahal, tugas dan tanggung jawab yang dimiliki oleh semua dosen sama, baik PTN BH, PTN BLU, maupun satker. Kemampuan kampus untuk menyediakan besaran tukin dan remunerasi juga berbeda-beda yang menyebabkan tidak semua dosen dengan kinerja baik dihargai dengan nilai yang sama. Di beberapa tempat, remunerasi yang diberikan kepada dosen justru menjadi alat politik pejabat kampus untuk mendapatkan dukungan dosen yang melanggengkan kekuasaan mereka untuk menempati posisi strategis di perguruan tinggi.
Berdasarkan pengamatan SPF, seringkali dosen yang turun ke jalan dan melakukan aksi adalah dosen ASN non PTNBH. Banyak asumsi yang beredar bila dosen PTN BH lebih makmur dibandingkan dengan kampus lainnya karena akses yang mereka miliki atas pendapatan di luar kampus.
Nyatanya, banyak dosen PTNBH yang mendapatkan proyek riset dari pemerintah atau lembaga internasional. Dengan adanya akses tersebut, maka dosen punya kesempatan untuk menambah akses ke pendapatan lain di luar gaji. Walaupun demikian, tidak semua dosen memiliki kesempatan tersebut.
“Tetapi karena dosen PTNBH jarang menunjukkan keresahan semacam ini, semakin mengamplifikasi mitos yang ada bahwa semua dosen PTNBH pasti makmur, yang mana jawabannya tidak,” ujar SPF.
SPF melanjutkan, “Tidak semua dosen mengerjakan research project atau tidak semua dosen punya consulting project. Banyak dosen yang juga tidak melaksanakan hal serupa. Alasannya beragam, mulai dari tidak dapat kesempatan yang sama dengan dosen lain atau punya keterbatasan waktu atau alasan kesehatan.”
Bahkan, status PTNBH tidak mampu memberikan jaminan kesejahteraan bagi para pengajar. Alasan-alasan tersebut akhirnya memunculkan motivasi SPF untuk turun melakukan aksi yang harapannya membantah narasi keliru soal kesejahteraan dosen di PTNBH.
“Kalau kita ingin lebih jujur, dosen PTNBH tidak baik-baik saja dan kami ingin menyuarakan untuk men-trigger dosen-dosen PTNBH lainnya untuk melakukan hal yang sama,” kata pihak SPF.
Menurut SPF, aksi solidaritas yang dilakukan SPF bisa menjadi cara untuk menunjukkan bila isu tukin merenggut kesejahteraan dosen tanpa memandang status badan hukum yang diterima perguruan tinggi. SPF ingin menggalang solidaritas semua dosen sampai selesai.
“Kita akan terus bersuara dan menggalang solidaritas semua dosen yang mengawal sampai selesai,” ujar SPF, menekankan semangat mengawal pembayaran tukin hingga tuntas.
Pilihan Editor: Serikat Pekerja Fisipol UGM Menilai Penundaan Tukin Dosen Bisa Merembet Kenaikan UKT