TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies (CESS) Ali Ahmudi Achyak menilai kepastian hukum merupakan kebutuhan utama bagi pelaku bisnis, termasuk di sektor tambang. Dia merespons vonis kasus korupsi timah baru-baru ini..
Pasalnya, kata dia, apabila yang terjadi justru sebaliknya, yakni ketidakpastian hukum dalam sektor pertambangan, maka berpotensi merusak iklim investasi di Indonesia.
"Hal yang paling sulit di negeri ini adalah kepastian hukum. Padahal, yang paling dibutuhkan oleh pelaku bisnis adalah kepastian hukum," ujar Ali dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa, 24 Desember 2024 seperti dikutip dari Antara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia berpendapat isu tersebut pun semakin relevan setelah kasus korupsi PT Timah Tbk. mencuat, yang mana dampak lingkungan dari kegiatan pertambangan dihitung sebagai kerugian negara dan dijadikan dasar untuk tindak pidana korupsi. Untuk itu, Ali menekankan bahwa tanggung jawab atas dampak lingkungan seharusnya sudah menjadi tanggung jawab perusahaan dengan melakukan penghijauan kembali atau pengelolaan lahan pasca-tambang, bukan kerugian negara.
“Dampak lingkungan ditanggung negara jika terkait infrastruktur dasar yang memang menjadi kewajiban negara untuk menyediakannya atau terjadi force majeur (bencana alam, kerusuhan, dan lain-lain),” ucap dia.
Selain itu, dirinya turut menyoroti adanya ketimpangan dalam penerapan hukum lantaran banyak pengusaha tambang yang patuh terhadap aturan justru terkena dampaknya, sedangkan pelaku nakal yang merusak lingkungan tetap aman.
Dalam bisnis tambang, kata dia, sebenarnya sudah ada aturan jelas dalam izin usaha pertambangan (IUP)/izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Dengan demikian, lanjut dia, pemerintah tinggal menegakkannya dan memberikan keadilan yang sama kepada para pelanggarnya.
Ali pun mewanti-wanti apabila ketidakpastian hukum berlanjut, terdapat kemungkinan iklim investasi di dalam negeri terganggu di tengah pemerintah yang sedang gencar mendorong hilirisasi sektor energi atau hilirisasi nasional.
"Ketidakadilan dan ketidakpastian hukum ini jelas akan mengganggu iklim investasi usaha ke depan, termasuk sektor pertambangan yang sangat sensitif terhadap masalah hukum," ungkap Ali.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menetapkan negara mengalami kerugian senilai Rp 300 triliun akibat kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. pada tahun 2015 hingga 2022.
Kerugian negara dari korupsi timah tersebut meliputi sebanyak Rp 2,28 triliun berupa kerugian negara atas kerja sama penyewaan alat processing (pengolahan) penglogaman timah yang tidak sesuai ketentuan.
Kemudian, terdiri atas sebanyak Rp26,65 triliun akibat pembayaran bijih timah dari tambang timah ilegal serta Rp271,07 triliun kerugian negara atas kerusakan lingkungan.