TEMPO.CO, Jakarta - Aktivis Pendidikan dari Tamansiswa Ki Darmaningtyas setuju dengan rencana pemerintah mengembalikan sistem penjurusan di tingkat sekolah menengah atas atau SMA. Dia menilai sistem ini memiliki lebih banyak keunggulan dibandingkan dengan Kurikulum Merdeka yang digagas oleh Menteri Nadiem Makarim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertama, menurut Tyas, pembagian kelas menjadi IPA, IPS, dan Bahasa memberikan batasan yang jelas terhadap minta siswa. “Hal ini amat membantu membekali murid yang akan melanjutkan studi ke perguruan tinggi,” kata Tyas melalui keterangan tertulis di kutip Senin, 14 April 2025.
Kedua, dengan sistem penjurusan, pihak sekolah akan jauh lebih mudah mengatur jadwal pembelajaran. Selain itu, sistem ini juga akan membuat kebutuhan guru untuk masing- masing mata pelajaran bisa diketahui dengan pasti. Sehingga apabila jumlah guru tidak mencukupi, maka kekurangannya pun mudah diprediksi.
Tak hanya itu, Tyas menilai sistem ini juga akan membuat kebutuhan infrastruktur setiap sekolah lebih jelas. Mulai dari jumlah kelas, laboratorium, hingga alat penunjang lainnya. “Bagi pemerintah, ini semua juga akan membuat semua jauh lebih jelas dan lebih mudah,” katanya.
Meski demikian, Tyas tak menampik adanya kekurangan dalam sistem ini. Salah satunya dampaknya terhadap sosiologis, di mana akan muncul kesenjangan privilese lantaran adanya persepsi bahwa jurusan IPA adalah jurusan yang paling unggul. Anggapan ini berpotensi membuat siswa tidak memilih kelas sesuai peminatan, tapi justru ingin terlihat unggul dan memaksakan diri masuk kelas IPA.
Alasan tersebut merupakan salah satu pertimbangan pemerintah sebelumnya menghapuskan sistem ini, “Tapi saya yakin, di tengah berkembangnya profesi baru yang memberikan imbalan tinggi dan justru itu banyak didominasi oleh mereka yang berlatar belakang sosial humaniora, persepsi negatif itu lama-lama akan terkikis juga,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia memaparkan adanya keterbatasan jumlah guru dan prasarana, persyaratan harus mengajar minimal 24 jam seminggu guna memperoleh tunjang profesi guru, serta pertimbangan linieritas dalam melanjutkan studi ke perguruan tinggi, sudah cukup untuk menjadi landasan bahwa Indonesia belum siap menerapkan sistem yang lebih fleksibel seperti Kurikulum Merdeka.
“Maka kembali ke penjurusan tidak dosa,” ujar Tyas menyimpulkan.
Sebelumnya, kebijakan pengembalian penjurusan ini mencuat setelah Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti menyatakan akan kembali menerapkan struktur jurusan klasik sebagai bagian dari persiapan pelaksanaan Tes Kemampuan Akademik (TKA), pengganti Ujian Nasional. Kebijakan ini juga akan berdampak pada penyusunan struktur kurikulum dan persiapan seleksi masuk perguruan tinggi.
Dinda Sabrina berkontribusi dalam penulisan artikel ini.