Arsip Tempo Dua Dekade Lalu: Sepiring Singkong Goreng di KPUD Solo Menjelang Pemilihan

4 hours ago 2

TEMPO.CO, Jakarta - Kemeja yang dipakai Suharsono sudah basah ketika ia melepas dua kancing baju dari kaitnya. Namun, rasa gerah yang menyergap membuatnya tak tahan lagi. Ketua KPUD Solo itu meraih map di hadapannya dan mulai mengipas-ngipas saat ditemui awal Maret 2005.

Sebenarnya, ruang kerja Suharsono dilengkapi dengan mesin penyejuk udara. Namun, sudah beberapa hari AC sengaja dimatikan untuk pengiritan. Bahkan, Suharsono juga telah dua kali meminta agar PLN tak memutus aliran listrik di ruangannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Enggak ada duit. Beruntung PLN bisa mengerti," kata Suharsono.

Persoalan di kantor KPUD Solo tidak sebatas itu saja. Tiga bulan sudah PT Telkom juga memblokir akses telepon. Hanya satu unit telepon yang berfungsi, itu pun hanya bisa digunakan untuk menerima panggilan.

Penyebabnya, adalah karena anggaran KPUD Solo yang kosong. Tak ada lagi dana operasional mengalir seperti yang selama ini mereka peroleh dari APBN dan APBD.

Sebetulnya, pada Pemilu 2004, KPUD Solo memiliki sisa anggaran Rp115 juta. Namun, berdasarkan ketentuan yang berlaku, sisa anggaran tersebut harus dikembalikan ke kas negara dan kas daerah.

Gegara cekaknya anggaran itu pula gaji lima anggota KPUD Solo berikut enam staf sekretariat, sopir, dan satpam belum dibayarkan selama tiga bulan.

Semenjak itu, pengurus teras KPUD Solo hidup prihatin. Tak ada lagi segelas teh manis terhidang setiap pagi, juga jatah makan siang yang lenyap.

Terkadang saja muncul sepiring singkong goreng alis blanggreng yang disajikan bersama kopi saat rapat pleno. Tetapi, camilan dan kopi itu sering tandas jauh sebelum rapat berakhir.

Padahal, sebagai penyelenggara pemilihan langsung, KPUD Solo berkewajiban menjalankan tugasnya mulai dari menyeleksi calon, mendata pemilih, mensosialisasikan peraturan dan teknik pemilihan, membentuk infrastruktur, Menyusun regulasi, dan masih banyak lagi.

Sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, mereka diburu menyelesaikan pekerjaan berat itu dalam tempo 100 hari. Repotnya, di tengah menjalankan pekerjaan, anggaran yang dimiliki cekak.

Penyebab persoalan ini, adalah banyak daerah yang telat memasukan anggaran pemilihan kepala daerah ke APBD masing-masing. Kalaupun kemudian dimasukkan, belum ada tanda kejelasan cairnya anggaran.

Pemerintah pusat memang berjanji membantu. Namun, lagi-lagi, masih harus menunggu karena proposal anggaran pilkada sebesar Rp1,2 triliun yang diusulkan Menteri Dalam Negeri saat itu Mochamad Ma'ruf baru dibahas di Panitia Anggaran DPR, medio Februari lalu.

Jika sudah begitu, mau tak mau KPUD harus cerdas memutar otak. Itu pula yang dilakukan Suharsono dan sohibulbait, yaitu melobi pemerintah kota agar mau menalangi dana Rp150 juta sebagai dana operasional KPUD.

"Kami berharap permintaan itu dipenuhi. Jika tidak, terpaksa kami menggadaikan surat keputusan pengangkatan kami ke bank," ujar Suharsono.

Kasus KPUD Solo 20 tahun ini seolah mirip kejadiannya dengan kasus belakangan ini: sejumlah daerah mengaku kesulitan membiayai pelaksanaan pemungutan suara ulang Pilkada 2024. Contohnya adalah Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.

Pemkab Tasikmalaya tidak menyiapkan anggaran untuk membiayai PSU Pilkada 2024 di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2025

Di sisi lain, pencoblosan ulang ini harus dilakukan usai Mahkamah Konstitusi menganulir bupati inkumben Ade Sugianto sebagai pemenang Pilkada 2024. "Kami tidak sanggup untuk membiayai pelaksanaan PSU ini," ujar Sekretaris Daerah Tasikmalaya, Mohamad Zen, Selasa, 25 Februari 2025.

Laporan selengkapnya dapat dibaca di sini, Sepiring Blanggreng Menjelang Pemilihan

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online