Banjir dari Puncak Turun ke Jabodetabek: Bukti Kerusakan Lingkungan

4 hours ago 2

BANJIR bandang melanda kawasan Puncak, Cisarua, Bogor, Jawa Barat buntut hujan berkepanjangan sejak Ahad, 2 Maret 2025. Anggota DPR Dapil Kabupaten Bogor, Mulyadi, menduga banjir disebabkan kerusakan lingkungan buntut banyaknya alih fungsi lahan kebun yang dilakukan oleh PT Perkebunan Nusantara atau PTPN VIII.

“Bisa disebut karena dampak alih fungsi lahan kebun teh. PTPN banyak alih fungsi. Ini mesti diaudit total dari semua sisi dan saya juga sudah meminta kepada pemerintah eksekutif untuk pengendalian alam di Puncak,” kata Mulyadi kepada Tempo, Senin, 3 Maret 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Banjir baru-baru ini tersebut mengakibatkan beberapa fasilitas umum rusak, tanah longsor, hingga korban jiwa. Sedikitnya tujuh unit jembatan terdampak dan menyebabkan seorang warga meninggal dunia akibat hanyut. Selain itu, bencana hidrometeorologi juga berdampak terhadap 1.399 jiwa dari 381 keluarga.

Menurut Mulyadi, banjir di kawasan Puncak bukan kali ini saja terjadi. Beberapa tahun lalu juga terjadi banjir di lokasi yang sama. “Tahun 2021 banjir juga meluluhkan kawasan permukiman pensiunan pegawai PTPN VIII, ratusan KK terdampak dan mengungsi. Kejadian kali ini harus ada solusi permanen dan juga korban terdampak mendapat bantuan,” katanya.

Perusakan lingkungan akibat alih fungsi lahan di kawasan Puncak masif terjadi dalam beberapa dekade terakhir. Forest Watch Indonesia (FWI) melaporkan sekitar 5.700 hektare hutan di kawasan Puncak dan sekitarnya lenyap sepanjang 2000-2016. Gencarnya perambahan hutan dan pembangunan vila di kawasan tersebut membuat gundul ratusan hektare hutan lindung di hulu aliran sungai menuju Jakarta itu.

“Selama tiga masa kepresidenan, hutan di Puncak yang hilang 66 kali lebih luas dari Kebun Raya Bogor,” kata peneliti FWI Anggi Putra Prayoga kepada Tempo, Selasa, 20 Maret 2018 silam.

Pada awal 2000-an, menurut catatan FWI, luas hutan di kawasan Puncak dan sekitarnya masih mencapai 9.111 hektare. Pada 2018, tutupan hutan yang tersisa tinggal 3.640 hektare. Itu pun hanya 1.820 hektare yang termasuk kawasan taman nasional dan 79 hektare hutan cagar alam. Sisanya 1.741 hektare telah beralih fungsi menjadi hutan produksi.

“Jika perambahan dibiarkan, diperkirakan hutan di kawasan Puncak bakal lenyap pada 2027. Padahal, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008, hutan di kawasan Puncak berstatus hutan lindung dengan fungsi antara lain sebagai area resapan air,” kata Anggi.

Yuliarto Joko Putranto, selaku pejabat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat itu, membenarkan terjadinya deforestasi di kawasan Puncak. Namun dia menyodorkan angka kerusakan yang lebih rendah. Pada 2006, hutan di hulu Ciliwung itu sekitar 5.641 hektare. Sepuluh tahun kemudian, pada 2016, hutan di sana tinggal 5.244 hektare. “Secara persentase (deforestasi) cukup parah,” tutur dia.

Menurut Yuliarto, tutupan hutan di hulu Sungai Ciliwung itu berkurang seiring melonjaknya kawasan permukiman. Pada 2006, luas lahan permukiman di kawasan Puncak sekitar 1.249 hektare. Pada 2016, kawasan permukiman meluas menjadi 2.046 hektare. Berdasarkan penelusuran Tempo pada 2018, vila dan resor baru bermunculan di wilayah Kecamatan Cisarua, Megamendung, dan Ciawi.

Sedangkan tempat tetirah yang dirobohkan pada 2013 sebagian berdiri kembali. Di Blok Citamiang, Desa Tugu Utara, Cisarua, belasan vila mewah milik sejumlah jenderal dan pejabat asal Jakarta masih berdiri tegak. Dibandingkan dengan hasil penelusuran Tempo pada 2007, jumlah bangunan di kilometer nol hulu Ciliwung itu, pada 2018 malah lebih banyak.

Pada 2018 lalu, musibah longsor di Puncak berulang kali terjadi pada Maret, tepatnya di Km 20+650, Puncak Pass, Ciloto, Kabupaten Cianjur. Saat itu, Ernan Rustandi Pakar Tata Ruang Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pembangunan Wilayah (P4W) Institut Pertanian Bogor (IPB) menilai longsor merupakan akibat kerusakan lingkungan hidup karena maraknya alih fungsi lahan.

“Akibat telah terlampauinya daya dukung lingkungan, di kawasan Puncak setiap tahunnya akan terus mengalami kejadian longsor seperti itu,” katanya pada Ahad 1 April 2018.

Dosen IPB ini mengatakan, ada peningkatan yang signifikan alih fungsi lahan di wilayah Puncak yang awalnya menjadi kawasan lindung yang berfungsi menjadi daerah resapan air, berubah jadi bangunan vila, permukiman dan kebun sayuran. Menurutnya, daya dukung lingkungan puncak yang terlalu berat akibat pemanfaatan ruang yang tidak sesuai, sehingga daya tampung resapan air pun berkurang.

“Akibatnya wilayah puncak menjadi kawasan rawan pergerakan tanah yang berubah jadi longsor saat diguyur hujan,” katanya.

Pada 2021, banjir bandang dan longsor juga melanda kawasan Puncak. Kejadian pada Rabu, 19 Januari itu, memaksa ratusan masyarakat mengungsi. Pemerintah kabupaten dan warga curiga telah terjadi kerusakan ekologi pada hutan di wilayah tersebut. Menurut Iwan Setiawan selaku Wakil Bupati Bogor kala itu, curah hujan tinggi seharusnya tak menimbulkan luapan air pada Sungai Cisampay karena dikelilingi hutan yang lebat.

“Saya menduga ada pembalakan liar, sehingga terjadi erosi,” kata dia di lokasi bencana, Rabu, 20 Januari 2021.

Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR juga memiliki kecurigaan serupa. Anggota Komisi V yang membidangi infrastruktur, Eddy Santana Putra, mengatakan legislatif memiliki data dugaan pembukaan lahan hingga 1.200 hektare di atas kawasan hutan lindung Puncak. Selain pembalakan liar, perusakan ekologi ini berupa pembangunan sejumlah rumah dan vila secara liar.

Kecurigaan itu sejalan dengan kesaksian warga. Menurut Kepala Desa Tugu Selatan, Eko Windiana, mengatakan warga setempat sempat melihat aktivitas penebangan pohon di kawasan hutan yang berada di seberang desa mereka. Beberapa saat kemudia berdiri sejumlah bangunan vila mewah di lahan gundul tersebut. Meski demikian, dia mengklaim tak bisa menuding pembangunan yang berada di wilayah Kabupaten Ciamis tersebut ilegal dan menjadi penyebab banjir bandang.

“Kalau di wilayah kami, semua aktivitas tercatat. Tak ada penebangan liar,” kata Eko.

Baca juga artikel Majalah Tempo edisi 21 Mei 2007 bertajuk Pejabat di Puncak, Banjir di Jakarta,

Laporan Tempo pada 2021 mendapati dugaan pembangunan sejumlah vila bermasalah di atas lahan konservasi, salah satunya kawasan resor pemangkuan hutan (RPH) Cipayung-Megamendung dan Babakan Madang. Padahal, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 144 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor, Puncak, dan Cianjur, dua RPH tersebut tercatat sebagai kawasan konservasi air serta tanah.

Dalam laporan yang sama, Tempo menemukan sejumlah nama orang berpengaruh sebagai pemilik vila mewah tersebut. Di antaranya beberapa jenderal, pengusaha, dan pengacara ternama. Kasus bangunan bermasalah ini pun seperti isu musiman yang mencuat ketika musim hujan tiba, tapi minim tindak lanjut. Bagaimanapun, banjir bandang di Puncak yang terjadi belakangan adalah bukti nyata akibat kerusakan lingkungan.

Fransisco Rosarians, Hendrik Yaputra, Jajang Jamaludin, Avit Hidayat, Muhammad Sidik Permana, Ananda Ridho Sulistya, Anwar Siswadi, Irsyan Hasyim, dan Mahfuzulloh Al Murtadho berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online