Selular.ID – Beberapa dari Anda mungkin menggunakan aplikasi seperti Slack, Trello, dan Zoom, atau aplikasi perpesanan seperti WhatsApp dan Signal.
Dan jika Anda menyukai hiburan, Anda mungkin menggunakan Amazon Prime Video, Xbox, Roblox, dan Fortnite.
Namun pada Selasa (21/10), aplikasi-aplikasi tersebut, ditambah banyak platform dan media berita utama lainnya, atau sekitar 1.000 situs/layanan web, yang semuanya didukung oleh AWS Amazon, mengalami gangguan besar (sumber: Downdetector & Techradar).
Gangguan yang meliputi layanan penyimpanan data, daya komputasi, dan infrastruktur digital lainnya ini berdampak luas pada berbagai situs dan aplikasi di seluruh dunia.
Daftar perusahaan lain yang terdampak mencakup Venmo dan Robinhood Markets di sektor finansial, layanan musik dan TV milik Apple, perusahaan perangkat lunak seperti Salesforce, dan Snowflake, hingga jaringan restoran cepat saji McDonald’s dan pengembang game, Epic Games.
Bahkan layanan internal Amazon sendiri, termasuk asisten pintar Alexa dan sistem keamanan rumah Ring, turut terdampak oleh gangguan ini.
Corey Quinn, Kepala Ekonom Cloud di Duckbill Group, menyebut gangguan kali ini kemungkinan merupakan yang terburuk bagi AWS sejak insiden besar sebelumnya yang terjadi pada Desember 2021.
Baca Juga: AWS Alami Gangguan, Roblox hingga Snapchat Lumpuh di Indonesia
“Pertanyaannya, apakah ini gangguan besar lainnya? Atau justru karena kita kini makin saling terhubung dan terlalu bergantung pada Amazon?” ujarnya.
Pernyataan ini menggarisbawahi ketergantungan global yang semakin besar pada layanan cloud AWS.
Untuk diketahui, AWS Amazon adalah penyedia cloud terbesar di dunia, menguasai 30%. Di susul Azure milik Microsoft 20%, Google 13%, Alibaba Cloud 4%, Oracle 3% Salesforce 2%, IBM Cloud 2%, dan Tencent Cloud 2% (Statista).
Secara kolektif, tiga raksasa (AWS, Azure, Google) mengendalikan 63% dari seluruh infrastruktur cloud dunia.
Dominasi absolut AWS di angka 30 – sepuluh poin di atas pesaing terdekatnya – menjadikannya single point of failure (titik kegagalan tunggal) terbesar bagi internet.
“Dunia sekarang berjalan di atas cloud,” kata Patrick Burgess, pakar keamanan siber.
“Jika kita menaruh semua telur kita di keranjang yang jumlahnya sedikit, (dan) salah satu keranjang itu bermasalah, itu akan berdampak pada miliaran orang,” tambah analis teknologi Carmi Levy.
Meskipun gangguan internet besar-besaran sering kali menimbulkan kekhawatiran langsung akan serangan siber, laporan terkini menunjukkan gangguan AWS yang signifikan disebabkan oleh kesalahan infrastruktur internal, alih-alih aktivitas jahat.
Menurut Darren Guccione, CEO & Co-founder Keeper Security, tumbangnya AWS menunjukkan perbedaan penting, karena tidak semua kegagalan sistem merupakan akibat dari pelanggaran keamanan siber, dan menggabungkan keduanya dapat mengaburkan pemahaman tentang di mana letak risiko sebenarnya.
“Ekosistem TI modern kompleks, saling terhubung, dan sangat bergantung pada segelintir penyedia cloud penting. Ketika insiden sebesar ini terjadi, baik melalui kegagalan teknis maupun kesalahan konfigurasi, dampaknya terhadap operasi global bisa sama parahnya dengan serangan siber terkoordinasi”, ujar Darren.
Bagi organisasi perusahaan, hal ini menggarisbawahi perlunya ketahanan yang melampaui pencegahan ancaman.
Rencana kesinambungan bisnis harus memperhitungkan gangguan siber dan non-siber, memastikan bahwa akses istimewa, autentikasi, dan sistem cadangan tetap aman dan berfungsi, bahkan ketika infrastruktur inti terdampak.
Kerangka kerja zero-trust dan solusi Privileged Access Management (PAM) dirancang untuk melindungi dari pelaku jahat.
Namun keduanya juga dapat memainkan peran penting dalam menjaga visibilitas dan kontrol selama sistem pemadaman listrik, sekaligus meningkatkan ketahanan pelanggan dan kemampuan respons insiden.
“Ketahanan sejati bukan hanya tentang mencegah serangan, tetapi juga tentang memastikan stabilitas saat kegagalan terjadi”, pungkas Darren.
Di sisi lain, dampak gangguan AWS kali ini mengingatkan kembali pentingnya diversifikasi infrastruktur digital dan sistem cadangan yang robust.
Banyak perusahaan mulai mempertimbangkan strategi multi-cloud untuk mengurangi ketergantungan pada satu penyedia layanan cloud saja.
Meskipun solusi cloud computing menawarkan efisiensi dan skalabilitas, insiden seperti ini menunjukkan bahwa risiko konsentrasi layanan pada satu provider tetap perlu diwaspadai.
Pemulihan penuh layanan AWS setelah 15 jam gangguan memberikan pelajaran berharga bagi ekosistem digital global.
Berbagai layanan yang terdampak memang telah berfungsi normal. Namun, insiden ini meninggalkan pertanyaan tentang ketahanan infrastruktur digital global dan perlunya pengembangan sistem yang lebih resilient di masa depan.
Perusahaan-perusahaan yang bergantung pada layanan cloud kini mungkin akan lebih serius mempertimbangkan strategi backup dan disaster recovery yang lebih komprehensif.
Baca Juga: AWS Pulih Usai Gangguan 15 Jam, Apple hingga Zoom Kembali Normal
.png)




























