Berkaca Kasus Predator Seks di Jepara, Puan: Penanganan Kekerasan Seksual harus Dibarengi Pencegahan

6 hours ago 4

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Puan Maharani berpendapat, penanganan kasus kekerasan seksual tidak cukup hanya fokus pada penegakan hukum usai kejahatan terjadi, namun harus dibarengi dengan upaya pencegahan yang konkret.

"Kasus kekerasan seksual di Indonesia yang sudah seperti gunung es perlu penanganan komprehensif yang terstruktur, termasuk bagaimana negara membangun sistem yang mampu mencegah kejahatan seksual terjadi sejak awal," kata Puan di Jakarta, dilansir dari Antara, Rabu, 30 April 2025.

Puan mengatakan kasus kekerasan seksual yang terus bermunculan menunjukkan adanya sistem yang kurang, utamanya dalam langkah-langkah pencegahan. Menurut dia, Indonesia memerlukan sistem peringatan real time untuk mengidentifikasi kemungkinan terjadinya kekerasan seksual sehingga korban kasus kejahatan seksual dapat diminimalisasi.

"Jadi, bagaimana pendekatannya adalah bukan lagi menyelesaikan kasus kekerasan seksual, tetapi bagaimana negara memiliki sebuah sarana yang dapat mencegah tindak-tindak kekerasan seksual," ujar dia.

Menurut Puan pemerintah melalui kementerian terkait dapat membangun sistem pengamanan dan peringatan dini, khususnya yang diperuntukkan bagi anak-anak dan perempuan yang sering menjadi korban kekerasan seksual. Sistem ini dapat ditempatkan di ruang-ruang publik serta lingkungan sosial, terutama yang rawan menjadi tempat perburuan predator seksual.

Puan menambahkan sarana sistem peringatan seperti itu dapat mengurangi kasus kekerasan seksual sedikit demi sedikit. Hal ini penting mengingat kasus kekerasan seksual terus bermunculan setiap harinya.

Seperti misalnya yang baru-baru terjadi, seorang pemuda berusia 21 tahun di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, ditangkap polisi  karena melakukan kasus kekerasan seksual berbasis online. Predator seksual dari Kecamatan Kalinyamatan berinisial S itu diduga melecehkan puluhan korban.

Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Jawa Tengah mencatat ada 31 korban pelecehan seksual yang masih di bawah umur. Peristiwa kekerasan seksual ini terungkap berawal ketika telepon seluler seorang korban rusak. Orang tua korban lantas membawa ponsel itu ke jasa reparasi. Kemudian ditemukan sejumlah foto korban pelecehan seksual tanpa busana.

"Orang tua korban setelah melihat handphone putrinya, kemudian memberi info ke kami dan ditindaklanjuti dengan penyelidikan," kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Tengah Komisaris Besar Dwi Subagio, pada Rabu, 30 April 2025.

Dwi menyebut foto-foto tersebut diambil atas permintaan S. Sebelumnya, pelaku dan korban bertemu di aplikasi perpesanan dalam jaringan. "Pelaku tidak memakai foto orang lain di media sosial," ujarnya.

S merayu korban agar mengirimkan foto dan video melalui media sosial tersebut. Ketika sudah mendapatkan file yang diinginkan, dia kemudian mengancam korban. Jika perintahnya tak dilakukan, S mengancam akan menyebarkan foto dan video korban.

Pada hari yang sama jaksa menuntut hukuman 10 tahun penjara kepada  anggota DPRD Singkawang, Kalimantan Barat, berinisial HA ihwal kasus persetubuhan anak di bawah umur. Terdakwa juga didenda Rp 2,5 miliar. Apabila tidak dibayarkan maka diganti dengan pidana penjara selama 3 bulan.

"HA  dibebani  membayar biaya restitusi sebesar Rp 130 juta, dan apabila tidak dibayar maka diganti dengan pidana penjara selama 3 bulan serta membayar biaya perkara sebesar Rp 5000," kata Kepala Seksi Pidana Umum Kejari Singkawang Heri Susanto.

Menurut jaksa, HA terbukti melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa akan melakukan persetubuhan kepada korban. Lembaga Bantuan Hukum Rakyat Khatulistiwa (LBH RAKHA) selaku pendamping korban menilai  tuntutan tersebut belum mencerminkan rasa keadilan dan belum menyentuh batas maksimal sebagaimana seharusnya dalam perkara kejahatan seksual terhadap anak.

“Kami menilai bahwa tuntutan tersebut belum maksimal. Kami tetap berharap agar majelis hakim dalam putusannya menjatuhkan hukuman yang maksimal sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat (2) juncto Pasal 76D Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No.17 Tahun 2016," ujarnya Mardiana Maya Satrini dari LBH RAKHA.

Jamal Abdun Nashr berkontribusi pada penulisan artikel ini.

Pilihan Editor: Rektor Universitas Pancasila: Saya Diberhentikan karena Melindungi Korban Kekerasan Seksual

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online