Dedi Mulyadi Ingin Kirim Anak ke Barak TNI, Efektifkah Kurangi Kenakalan?

5 hours ago 3

TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi berencana menyerahkan anak-anak yang dianggapnya nakal ke institusi TNI dan Polri untuk dididik ala militer. Dedi menyampaikan hal ini saat menghadiri acara HUT ke-26 Kota Depok di Jalan Margonda Raya pada Jumat, 25 April 2025.

Kebijakan itu, kata dia, akan diterapkan mulai Mei 2025. Dedi menilai anak-anak yang dianggap bermasalah itu meliputi anak-anak yang tak mau sekolah, yang terlibat balapan motor, hingga tawuran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dedi menyebut akan menyiapkan anggaran selama enam bulan atau bahkan hingga satu tahun agar anak-anak yang dinilai berperilaku nakal dibina TNI dan Polri. Menurut Dedi, ketika anak-anak itu sudah berperilaku “baik”, mereka akan dikembalikan kepada orang tuanya.

Namun demikian, sejumlah pihak mengkritik rencana Dedi mengirim anak-anak ke barak militer. Menanggapi itu, Dedi mengatakan gagasannya adalah untuk mengubah paradigma anak-anak sekarang yang tidak kompetitif.

Ia mengklaim banyak orang tua dan guru sekarang yang tidak lagi sanggup menghadapi murid nakal. Apalagi ada tren mengkriminalisasi guru yang bersikap tegas. “Maka, salah satu pilihannya adalah melibatkan TNI-Polri menjadi bagian dari upaya pembinaan mereka,” kara Dedi saat ditemui di Kompleks Parlemen DPR/MPR di Jakarta, Selasa, 29 April 2025. 

Ia mengatakan orang tua akan membuat surat pernyataan dan mengantar anaknya ke barak TNI untuk dibina. Ia memastikan anak tersebut tidak akan kehilangan status pelajarnya. Mereka akan tetap belajar seperti biasa. Hanya saja wajib mengubah pola hidup, misalnya, tidur pukul 20.00 WIB dan bangun pukul 04.00 WIB. 

Kemudian, anak tersebut diajarkan disiplin seperti membereskan ruang tidur, sarapan, dan berolahraga tepat waktu. Bahkan, kata Dedi, anak-anak tersebut akan diajarkan puasa Senin-Kamis atau mengaji bada magrib bagi yang muslim. 

“Ini adalah arah pembinaan yang tidak didapatkan di lingkup kehidupan pribadi mereka di lingkungan rumah mereka. Dan tidak ada pelatihan militer. Jadi masuk barak militer bukan latihan perang-perangan, bukan,” ujar Dedi.

Psikolog klinis anak dan remaja Mira Damayanti Amir menyebut persoalan kenakalan anak dan remaja tak bisa diselesaikan hanya dengan pendidikan militer. Menurut Mira, permasalahan kenakalan harus dilihat dan diselesaikan secara komprehensif. “Bisa saja sih, pendidikan militer mendisiplinkan anak, tapi apakah itu otomatis menyelesaikan masalah? Enggak menjamin juga,” ucap Mira melalui sambungan telepon pada Rabu, 30 April 2025.

Mira menjelaskan, latar belakang permasalahan kenakalan anak harus ditilik dari akarnya, yakni kondisi keluarga si anak. Dia menyebut situasi keluarga dan lingkungan anak mempengaruhi perilaku mereka. Oleh karena itu, bila ada anak maupun remaja yang tak disiplin, maka harus dilihat pula penyebab ketidakdisiplinan itu. “Itu banyak faktornya, bisa karena kurang pengawasan orang dewasa, terutama mungkin orang tua,” tutur Mira.

Kemudian, jika anak berperilaku kasar atau agresif, maka perlu dilihat pula apa penyebabnya. “Bisa saja karena orang tuanya juga agresif, suka berteriak atau berkata kasar kepada si anak,” ujar dia. 

Lebih jauh, Mira juga menyebut nutrisi anak akan mempengaruhi prestasi anak. Bila anak dianggap bodoh karena tak berprestasi di sekolah, maka perlu dilihat juga bagaimana proses pertumbuhan anak selama ini. “Mungkin saja orang tuanya tidak memberi nutrisi yang baik. Misalnya, rendah protein, kurang bergizi, dan lain-lain,” tutur Mira.

Mira pun meminta semua pihak untuk berempati kepada anak-anak yang dianggap bermasalah. Ia mengatakan penyelesaian persoalan kenakalan anak perlu didukung dari semua area yang berdampak langsung pada perilaku mereka. “Perilaku bermasalah bisa dicegah jika anak-anak ini tumbuh dari keluarga dan lingkungan yang sehat secara fisik dan mental,” tutur dia.

Sementara mengenai rencana pengiriman anak ke barak militer, Mira mengatakan perlu adanya pemeriksaan atau screening kesehatan mental calon peserta. “Dari sekian anak, misalnya 50 orang, perlu dicermati, bisa saja ada satu hingga dua anak yang kondisinya tidak bisa dikatakan normal,” kata Mira.

Anak-anak dengan kondisi mental yang rentan, Mira berujar, berpotensi terpicu oleh situasi itu. Anak tersebut, menurut Mira, bisa semakin tertekan atau stres ketika dibawa ke lingkungan militer. “Jadi teriak-teriak, gelisah, kondisi psikiatrinya terganggu. Mungkin harus ada dokter yang standby di sana,” ucap dia.

Adapun anggota Komisi X DPR RI Bonnie Triyana menilai pendidikan militer bukan cara yang tepat untuk menguatkan karakter anak, khususnya anak yang dinilai bermasalah. “Penanganan siswa bermasalah harus dipahami secara holistik dengan menelaah keluarga, lingkungan pergaulan dan aktivitas di sekolah," ujar dia.

Menangani siswa bermasalah, ia melanjutkan, memerlukan pendekatan psikologis. "Melibatkan psikolog dan psikiater untuk menangani siswa bermasalah jauh lebih tepat ketimbang mengirim mereka ke barak militer," tutur politikus dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu, dikutip dari keterangan tertulis, Rabu, 30 April 2025.

Bonnie menilai pemerintah daerah di tingkat kabupaten/kota hingga provinsi seharusnya memastikan keberadaan guru konseling di setiap sekolah. Guru-guru itu harus yang terlatih dalam mengatasi siswa bermasalah. Bonnie mengatakan para pemangku kepentingan perlu memperhatikan kebutuhan dasar anak didik, yakni kebutuhan untuk mendapatkan bimbingan dari tenaga pengajar. 

Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Atip Latipulhayat menilai usulan Dedi Mulyadi tersebut kurang tepat. Ia mengatakan kementeriannya sudah memiliki mekanisme yang baku untuk menangani anak-anak yang butuh bimbingan.

“Kami sudah punya mekanisme yaitu dengan guru-guru bimbingan konseling (BK). Jadi, untuk menangani persoalan, masalah-masalah yang berkaitan dengan siswa, termasuk di dalamnya yang disebut kenakalan siswa, itu ditangani oleh guru BK,” kata Atip kepada Tempo, Senin, 28 April 2025.

Atip mengatakan pendekatan yang tepat harusnya menggunakan pendekatan edukatif. Menurut dia, langkah mngirim anak yang bermasalah ke barak militer bukan menjadi solusi. “Nanti malah konotasinya kurang baik. Kok militerisasi di dalam pendidikan Indonesia?” ujarnya.

Menurut dia, sejauh ini guru bimbingan konseling sudah terlembaga dengan baik dan ada di setiap sekolah. Tugas guru-guru BK tersebutlah yang mestinya dimaksimalkan untuk membimbing siswa agar lebih terarah.

Dinda Shabrina dan Eka Yudha Saputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Pilihan Editor: Menhan Minta Tunjangan Operasi untuk Prajurit TNI Naik 75 Persen

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online