Jejak Ahmadiyah Dalam Sejarah Dunia Islam

4 hours ago 2

INFO NASIONAL - Jejak Ahmadiyah dalam sejarah dunia Islam berkaitan erat dengan sosok Mirza Ghulam Ahmad. Kelahirannya disebut sebagai penggenapan nubuat Nabi Muhammad SAW tentang kedatangan Imam Mahdi.

Klaim Mirza Ghulam Ahmad sebagai Imam Mahdi telah menimbulkan perdebatan sejak awal dan masih menjadi topik diskusi hingga kini. Meskipun menghadapi penolakan dari berbagai pihak, gerakan Ahmadiyah terus berkembang dan menyebar ke berbagai negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak usia muda, Mirza Ghulam Ahmad mengaku menerima wahyu yang semakin menguatkan keyakinannya akan peran spiritualnya. Pada 1876, di usia 41 tahun, ia menerima wahyu yang mempertegas misinya dalam Islam.

Zafrullah Khan, seperti dikutip Louis J. Hammann dalam Ahmadiyyat – An Introduction, menyebut bahwa Mirza Ghulam Ahmad diyakini sebagai al-Masih yang dijanjikan dan seorang nabi sebagaimana disebut dalam berbagai ajaran agama. Ia digambarkan sebagai “Juara yang berasal dari Tuhan dengan jubah pakaian semua nabi.”

Mirza Ghulam Ahmad—atau acap dibubuhi gelar “Hazrat” sebagai tanda kehormatan yang disematkan oleh para pengikutnya—menjelaskan bahwa pengutusan dirinya sebagai Imam Mahdi memiliki dua tujuan. “Pendek kata, tujuan kedatanganku adalah untuk memenangkan Islam atas agama-agama yang lain. Tugas yang kedua adalah agar timbul di dalam diri orang-orang, kondisi yang merupakan intisari dan pokok dari Islam,” ucap dia dalam pidatonya di Ludhiana, saat pendirian Ahmadiyah.

Salah satu upayanya membela Islam terlihat ketika di India  muncul sebuah sekte agama Hindu Arya Samaj. Sekte ini berpusat pada sosok Swami Dayanand, seorang anti-Islam yang begitu agresif menjelek-jelekkan Islam dan Muhammad SAW. Kehadiran Arya Samaj memercikkan api pertentangan yang sebelumnya padam antara tiga agama utama di India: Islam, Hindu, dan Sikh.

Menghadapi berbagai serangan tersebut,  Mirza Ghulam Ahmad akhirnya menerbitkan tulisan pada 1880 berjudul Barhn-e- Ahmadiyya: Dalil-dalil Yang Mendukung Kebenaran Al-Quran dan Kenabian Nabi Muhammad SAW. Buku ini menjadi karyanya yang monumental.

Mirza Ghulam Ahmad menyatakan, sebagaimana dikutip Adamson, “Dasar dari semua kebajikan dalam hubungan antarmanusia adalah perkataan yang benar.” Kemudian, ia melanjutkan pernyataannya dengan tantangan, “Adakah agama Kristen, Hindu atau Sikh dapat menghasilkan lebih banyak kutipan-kutipan dari kitab mereka mengenai nilai kejujuran dibandingkan dengan apa yang dihasilkan dari Al-Qur'an?”

Mirza Ghulam Ahmad juga pernah mengumpulkan sekitar 3.000 keberatan atau kritik yang diajukan terhadap Islam. Namun, pada saat yang sama, kemunduran Islam di India semakin jelas, terutama setelah wilayah itu berada di bawah kekuasaan Inggris. Kristen, yang saat itu masih tergolong baru di India, mulai dipandang lebih unggul oleh sebagian masyarakat. Sebagai agama yang dianut penguasa kolonial, Kristen dianggap memiliki kedudukan lebih kuat dan berpengaruh di tengah masyarakat.

Banyak orang India meyakini bahwa memeluk Kristen adalah jalan menuju kesuksesan. Dengan menjadi Kristen, mereka bisa mengakses pendidikan di sekolah-sekolah misionaris serta memperoleh peluang lebih besar untuk berkarier di pemerintahan.

 “Sementara para misionaris berhasil mengkristenkan orang, agama Islam terlihat oleh banyak orang Islam sedikit memiliki kegagalan dalam argumentasinya. Terdapat banyak masjid, namun sedikit orang yang salat di dalamnya,” tulis Adamson, seorang penulis dan akademisi yang banyak meneliti sejarah Islam dan gerakan-gerakan keagamaannya.

Umat Islam pada masa itu lebih menekankan aspek lahiriah dalam menjalankan agama. Masjid-masjid dihiasi dengan lampu-lampu gemerlap, Al-Qur'an dibalut kain sutra, dan berbagai ritual ibadah dijalankan. Namun, esensi ajaran Islam sering kali terabaikan.

Kondisi inilah yang berusaha diperbaiki oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Hingga akhir hayatnya, ia terus berjuang membela Islam. Dalam bukunya “Ajaranku”, ia menyebut telah menulis lebih dari 90 buku, mengirim ribuan surat, serta aktif dalam berbagai perdebatan agama.

Buku-buku itu tidak saja membahas keunggulan Islam di atas agama-agama lainnya, namun sekaligus memberikan tuntunan mengenai apa dan bagaimana amalan yang menjadi inti ajaran Islam yang sejati.

Bagaimanapun, buku tampaknya tidak cukup untuk memberi pencerahan. Pada 1886,  Mirza Ghulam Ahmad menyatakan telah menerima wahyu untuk mendirikan sebuah jamaah. Namun, hal ini tidak disampaikan kepada publik hingga Desember 1888.

Pada Sabtu, 23 Maret 1889, Mirza Ghulam Ahmad mengadakan ikrar baiat pertama di Ludhiana, yang menandai berdirinya Jemaat Muslim Ahmadiyah. Ia menyatakan bahwa komunitas ini didirikan untuk meneladani para sahabat Nabi Muhammad SAW dan menjadi contoh dalam menjalankan ajaran Islam. Pernyataan ini tercatat dalam Malfuzat jilid III.

Dalam perkembangannya, Ahmadiyah aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan kemanusiaan. Melalui lembaga Humanity First, komunitas ini menjalankan program kemanusiaan di berbagai negara, termasuk Ghana dan Indonesia.

Chaudhry Sir Al Hajj Muhammad Zafarullah Khan Sahi. Dok. Istimewa

Selain itu, Ahmadiyah juga berperan dalam wacana intelektual dengan mendorong hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama. Beberapa tokoh cendekiawan dari komunitas ini terlibat dalam berbagai diskusi akademik, menyoroti bagaimana aspek spiritual dan keilmuan dapat berjalan beriringan.

Sejumlah tokoh dari komunitas Ahmadiyah telah memberikan kontribusi di berbagai bidang, mulai dari diplomasi hingga ilmu pengetahuan. Mereka dikenal di tingkat internasional dan memiliki peran penting dalam perkembangan keilmuan serta hubungan antarnegara. Dua di antaranya adalah Sir Muhammad Zafrullah Khan dan Profesor Abdus Salam.

Sir Muhammad Zafrullah Khan adalah seorang politikus, diplomat, dan ahli hukum internasional asal Pakistan. Ia dikenal atas perannya dalam mewakili Pakistan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Setelah kemerdekaan Pakistan, ia menjadi menteri luar negeri pertama negara tersebut dan memimpin delegasi Pakistan di PBB dari 1947 hingga 1954. Pada 1954-1961, ia menjabat sebagai anggota Mahkamah Internasional di Den Haag, kemudian kembali ke PBB sebagai perwakilan Pakistan pada 1961-1964. Pada 1962-1963, ia terpilih sebagai Presiden Majelis Umum PBB. Ia kembali ke Mahkamah Internasional pada 1964 dan menjabat sebagai presiden lembaga tersebut dari 1970 hingga 1973.

Muhammad Abdus Salam .Dok. Istimewa

Sedangkan Profesor Abdus Salam adalah peraih Nobel Fisika pada 1979 atas kontribusinya dalam penyatuan teoritis dua gaya fundamental alam. Sebelumnya, pada 1978, ia menerima Royal Medal dari Royal Society of London. Abdus Salam juga merupakan anggota National Academy of Sciences di AS dan Uni Soviet, pencapaian yang menunjukkan pengakuan dunia terhadap keilmuannya.

Keterlibatan Abdus Salam dengan PBB dimulai pada 1955, ketika ia menjadi Sekretaris Ilmiah dalam Konferensi Jenewa tentang Penggunaan Energi Atom secara Damai. Ia juga dikenal aktif dalam mendorong pengembangan riset ilmiah di negara-negara berkembang.

Peran tokoh-tokoh Ahmadiyah dalam berbagai bidang menunjukkan bahwa komunitas ini telah berkembang sejak pertama kali muncul di India dan kini tersebar di berbagai negara. Gerakan ini menekankan aspek spiritual serta reformasi keagamaan dalam ajarannya. . Berawal dari sebuah gerakan keagamaan di India pada akhir abad ke-19, komunitas ini kini tersebar ke 220 negara.

Dalam perjalanannya, Ahmadiyah menghadapi berbagai tantangan dan penolakan, tetapi komunitas ini terus berkembang. Pengikutnya meyakini bahwa ajaran mereka sesuai dengan nubuat dalam Islam. Terlepas dari berbagai hambatan, Ahmadiyah tetap eksis dan terus berupaya memperkenalkan pandangannya dalam ranah keislaman global. (*)

Lisa Aviatun Nahar | Pemimpin Redaksi Buletin Asy-Syifa, buletin internal sayap organisasi perempuan Jemaat Muslim Ahmadiyah, Lajnah Imaillah Indonesia.

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online