Kata Ahli Hukum soal Tuntutan Terdakwa Kasus Spa Bali Dinilai Terlalu Ringan

1 month ago 52

Flame Spa Bali Kata Ahli Hukum soal Tuntutan Terdakwa Kasus Spa Bali Dinilai Terlalu Ringan/Foto: Istimewa

Jakarta, Insertlive -

Kasus spa esek-esek Bali, Flame Spa masih menuai atensi publik setelah terbongkarnya praktik ilegal serta prostitusi terselubung di balik layanan pijat sensual.

Setelah ramai masuk ke ranah hukum polisi akhirnya mengamankan lima terdakwa dalam kasus Flame Spa.

Lima terdakwa tersebut adalah eks Komisaris Flame Spa Ni Ketut Sri Astari Sarnanitha, Direktur Flame Spa Ni Made Purnami Sari, Marketing Flame Spa Angel Christina alias Miss Angel, serta dua resepsionis, Kadek Widya Helena Saputri dan Risqia Ayu Budianti


Kelima terdakwa tersebut pun dijatuhi tuntutan hukum dari Gusti Ngurah Arya Surya Diatmika sebagai Jaksa Penuntut Umum dalam amar tuntutannya yakni hanya 9 bulan penjara.

"Masing-masing terdakwa dituntut sembilan bulan penjara," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) Gusti Ngurah Arya Surya Diatmika dalam amar tuntutannya, Selasa (18/2), dikutip dari detikBali.

Lebih lanjut, Surya menjelaskan bahwa Angel, Helena, dan Risqia menawarkan paket pijat plus layanan sensual kepada pelanggan. Paket pijat tersebut terdiri dari lima kategori, dengan harga termurah yaitu Lava Flow seharga Rp970 ribu hingga yang termahal, Firestorm, seharga Rp3,75 juta.

Semakin mahal paketnya, semakin mewah fasilitas ruangan yang diberikan, termasuk layanan dari tiga terapis. Semua paket pijat di Flame Spa diakhiri dengan layanan sensual, meskipun tidak ada hubungan badan antara tamu dan terapis.

Menanggapi tuntutan ringan tersebut, publik masih menantikan bagaimana keputusan hakim atas kasus spa ilegal ini di mana saat ini izin dari bisnis spa tersebut sudah dicabut.


Selain itu, praktisi hukum serta pengacara I Made Somya Putra, S.H., M.H. ikut menilai bagaimana kasus ini berjalan dengan lambat dan dinilai tak adil.

"Dengan omzet mencapai Rp 6 miliar per bulan, bisnis ini bukan sekadar pelanggaran kecil. Vonis yang ringan tidak akan memberi efek jera bagi pelaku bisnis prostitusi terselubung lainnya,, saya yakini lebih besar dari apa yang terlihat di pengadilan," kata I Made Somya Putra pada wartawan.

"Kasus ini seperti dilihat seolah seperti menangani Pekerja Seks Kormesial (PSK) biasa, padahal ini sangat tersistem, ada manajemennya, uangnya besar, dan yang mencoreng citra pariwisata Bali. Pariwisata yang berkembang harus berbasis budaya dan kearifan lokal, bukan yang justru merusak moral dan menciptakan dampak sosial negatif, dan menutupi pemodal sesungguhnya," lanjutnya.

I Made Somya Putra menambahkan bahwa hakim sebagai peran kunci dalam kasus ini harus bersikap adil.

"Hakim harus berani menjatuhkan hukuman lebih berat dari tuntutan jaksa, agar ada efek jera. Kalau vonisnya terlalu ringan, kasus serupa bisa terus berulang," tegasnya.

"Jaksa tidak melihat situasi lebih utuh secara sosial dalam kasus ini. Saya melihat orang-orang yang dituntut ini sebenarnya ada peran masing masing namun semua dipukul rata," lanjutnya.

"Tuntutan ini terlalu ringan dan tidak memberikan efek jera kepada pemilik usaha. Tentunya masyarakat juga tidak puas, karena penegakan hukum terlihat hanya sebatas formalitas dan memilih-milih kasus," tandasnya.

(dis/kmb)

ARTIKEL TERKAIT

Loading Loading

BACA JUGA

detikNetwork

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online