TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi masyarakat sipil mengkritik keras wacana penambahan kewenangan lembaga-lembaga penegak hukum dan militer lewat wacana revisi Undang-Undang Kepolisian, Undang-Undang Kejaksaan, dan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia. Mereka menilai dengan aturan yang ada saat ini, lembaga penegak hukum maupun militer berulang kali menyalahgunakan wewenang yang berujung pada praktik korupsi, kekerasan dan penyimpangan lainnya.
Penegak hukum dan militer juga rawan disalahgunakan oleh rezim yang berkuasa untuk mempertahankan kekuasaan maupun untuk kepentingan politik. Ia mendesak DPR segera menghentikan dan menolak segala upaya pembahasan ketiga revisi undang-undang tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Penambahan kewenangan dalam beragam RUU yang ada hanya akan menambah kerusakan penegakkan hukum dan demokrasi di Indonesia,” kata Bhatara Ibnu Reza, salah satu anggota dari koalisi, dalam keterangan resmi mereka seperti dikutip Tempo, Sabtu, 8 Februari 2025.
Menukil data dari World Justice Project (WJP), Indonesia berada di peringkat ke-68 untuk Indeks Rule of Law tahun 2024. Urutan ini menurun 2 poin dari tahun 2023 yang ada di urutan 66 atau mengalami penurunan 0,53 poin.
Padahal lembaga penegak hukum seperti Polri dan Kejaksaan dinilai perlu dievaluasi dan diawasi lebih jauh. Di kepolisian, kasus pemerasan kepada penonton Djakarta Warehouse Project (DWP) di JIExpo Kemayoran oleh polisi aktif menjadi salah satu contohnya. Mabes Polri lalu menahan 18 anggota polisi yang diduga terlibat dalam kasus pemerasan tersebut.
Dari Kejaksaan Agung, ada kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang tertangkap korupsi pada 2019 silam. Pinangki terbukti menerima suap sebesar US$ 500 ribu dari Djoko Tjandra, buronan kasus korupsi Bank Bali. "Kasus Jaksa Pinangki ini menjadi salah satu contoh nyata penyalahgunaan wewenang di Indonesia," kata Bhatara.
Meski bukan sebagai lembaga penegak hukum, institusi TNI juga menjadi sorotan karena korupsi Kepala Badan SAR Nasional (Kabasarnas). Kasus ini menjadi heboh lantaran penetapan tersangka terhadap Kepala Basarnas tersebut malah dianulir oleh KPK setelah kasus hukumnya diambil alih peradilan militer.
"Ragam kasus yang terjadi selama ini menunjukkan kecenderungan yang kuat bagaimana lembaga penegak hukum seharusnya memperbaiki dan mengevaluasi diri," kata Bhatara.
Koalisi yang terdiri dari Persatuan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Imparsial, hingga Centra Initiative itu menilai DPR seharusnya memperkuat fungsi dari lembaga-lembaga pengawas yang telah tersedia, seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional, dan Komnas HAM, Komnas Perempuan. “Reformasi penegakan hukum tidak dapat dilakukan dengan menambah kewenangan, tetapi dengan membangun akuntabilitas dengan memperkuat lembaga pengawas independen,” kata Bhatara.