Menkes: Kekerasan Seksual di RS Merupakan Fenomena Gunung Es

2 hours ago 2

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengakui bahwa kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan rumah sakit, khususnya dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) merupakan persoalan serius dan sistemik. Ia menyebut maraknya pengaduan saat ini sebagai ‘fenomena gunung es’ yang selama ini tertutup dan tidak terungkap ke publik.

"Selama ini memang praktik-praktik seperti ini sangat tertutup. Tapi sekarang, dengan media sosial dan keterbukaan dari generasi muda, kasus-kasus ini bisa muncul ke permukaan," ujar Budi dalam sesi tanya jawab bersama wartawan secara hybrid di gedung Kemenkes, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin, 21 April 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pernyataan ini merespons mengenai maraknya kasus kekerasan seksual terhadap peserta PPDS, seperti pemerkosaan yang dilakukan dokter residen Priguna Anugerah kepada pendamping pasien di RSHS Bandung dan kasus dokter obgyn di Garut yang melakukan pelecehan seksual kepada beberapa pasiennya di klinik swasta.

Budi menyatakan pihaknya telah berkoordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) untuk merancang program pengawasan bersama guna mencegah kekerasan seksual di lingkungan rumah sakit pendidikan. “Saya diberi tahu langsung oleh Ibu Menteri PPPA dan diajak membuat program pengawasan bersama,” kata dia.

Menurut Budi, sekarang menjadi momentum yang tepat bagi seluruh institusi kesehatan untuk melakukan introspeksi menyeluruh terhadap sistem yang selama ini memungkinkan kekerasan seksual terjadi secara berulang. "Saya berterima kasih ini. Kita akan bersama-sama memperbaiki prosesnya, agar kejadian-kejadian ini tidak terulang lagi," ujarnya.

Meski begitu, Budi tidak secara eksplisit menjawab apakah akan ada regulasi khusus soal kawasan bebas kekerasan seksual di rumah sakit seperti yang direkomendasikan oleh Komnas Perempuan sebelumnya. Ia hanya menyampaikan soal perlunya upaya sistemik dan terbuka untuk memastikan perlindungan terhadap peserta didik dan tenaga medis di lingkungan kerja mereka.

Sebelumnya Komnas Perempuan mendesak Menteri Kesehatan untuk segera membuat kebijakan nasional yang mengatur pembentukan kawasan bebas kekerasan seksual di seluruh fasilitas kesehatan. Kebijakan tersebut harus memuat mekanisme pencegahan dan penanganan, panduan operasional, hingga pembentukan satuan tugas.

“Sudah saatnya hal serupa dengan KBK di lingkungan pendidikan juga dikembangkan di fasilitas kesehatan. Harus ada SOP dan satgas yang jelas dalam merespons kasus kekerasan seksual,” ujar Komisioner Komnas Perempuan Yuni Asriyanti kepada Tempo, Rabu, 16 April 2025.

Yuni menyoroti dalam banyak kasus, terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan keilmuan oleh tenaga kesehatan, terutama dokter, terhadap pasien. Dalam relasi yang tidak setara ini, pasien berada dalam posisi rentan. “UU TPKS pasal 15 menyebut bahwa penyalahgunaan kekuasaan bisa menjadi pemberat pidana,” ujar dia.

Komnas Perempuan menilai, maraknya kasus seperti dugaan pelecehan oleh residen anestesi di Bandung, dokter kandungan di Garut, dan kasus di Malang yang memvideokan pasien dalam keadaan setengah telanjang, menunjukkan pentingnya pengembangan Kawasan Bebas Kekerasan Seksual (KBK) di fasilitas kesehatan.

Meski makin banyak kasus kekerasan seksual di rumah sakit yang terungkap di media, Yuni menyebut belum ada korban dari beberapa kasus terakhir yang mengadu ke Komnas Perempuan. Namun, ia memandang gelombang korban yang berani speak up sebagai pertanda positif bahwa korban semakin sadar terhadap hak-haknya. “Hal ini harus dibarengi dengan kesiapan layanan korban yang lebih responsif dan berkualitas,” katanya.

Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2024, Yuni menyebut terdapat tiga kasus kekerasan seksual yang tercatat terjadi di fasilitas kesehatan, dengan pelaku bisa berasal dari tenaga medis terhadap pasien, sesama tenaga medis, atau bahkan pasien terhadap tenaga medis.

Yuni mengatakan, “UU TPKS menjamin hak korban atas penanganan, perlindungan, pemulihan, restitusi, kompensasi, serta pendampingan. Korban tidak boleh disalahkan ataupun distigmatisasi.”

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online