Selular.id – Meta, perusahaan induk Facebook, Instagram, dan WhatsApp, diperkirakan meraup pendapatan sekitar 16 miliar dolar AS atau setara Rp 267 triliun dari iklan bermasalah sepanjang 2024.
Angka fantastis ini setara dengan 10 persen dari total pendapatan perusahaan yang mencapai lebih dari 164,5 miliar dolar AS (sekitar Rp 2.748 triliun).
Laporan internal yang bocor dan pertama kali diungkap Reuters mengungkap fakta mengejutkan bahwa sebagian besar keuntungan Meta justru bersumber dari iklan penipuan (scam ads) dan promosi barang terlarang.
Temuan ini memunculkan pertanyaan kritis mengenai efektivitas penegakan kebijakan keamanan iklan oleh raksasa teknologi tersebut.
Juru bicara Meta Andy Stone membantah tudingan bahwa perusahaan sengaja mencari keuntungan dari iklan penipuan.
Dalam pernyataannya, Stone menyebut angka 10 persen dalam dokumen bocor sebagai “perkiraan kasar dan terlalu luas cakupannya”.
Ia menegaskan bahwa sebagian besar iklan dalam kategori tersebut sebenarnya adalah iklan sah, dan analisis internal dilakukan untuk menilai efektivitas investasi keamanan iklan.
Yang lebih memprihatinkan, sebagian besar iklan bermasalah di platform Meta ternyata berasal dari pengiklan yang sudah lebih dulu terdeteksi mencurigakan oleh sistem internal perusahaan.
Alih-alih memblokir mereka sepenuhnya, Meta justru menerapkan tarif iklan lebih tinggi bagi pengiklan yang dikategorikan “berisiko tinggi”.
Kebijakan kontroversial ini disebut sebagai langkah “pencegahan” dengan harapan pengiklan penipu akan enggan beriklan karena biaya yang mahal.
Namun dalam praktiknya, strategi ini justru membuat Meta tetap memperoleh pendapatan besar dari iklan bermasalah tersebut.
Masalah semakin kompleks dengan sistem personalisasi Meta yang secara otomatis menampilkan lebih banyak iklan sesuai minat pengguna.
Akibatnya, pengguna yang pernah mengeklik iklan penipuan berpotensi lebih sering disodori iklan scam serupa, menciptakan siklus yang sulit terputus.
Dokumen internal bertanggal Desember 2024 mengungkap skala masalah yang sebenarnya.
Meta memperkirakan sekitar 15 miliar iklan “berisiko tinggi” dengan indikasi penipuan ditayangkan setiap hari di Facebook, Instagram, dan WhatsApp.
Angka yang sungguh mencengangkan ini menunjukkan betapa luasnya persebaran konten bermasalah di ekosistem digital Meta.
Selama tiga tahun terakhir, perusahaan juga dinilai gagal menekan peredaran berbagai jenis iklan bermasalah.
Mulai dari iklan investasi palsu, e-commerce fiktif, kasino ilegal, hingga penjualan obat terlarang tetap marak beredar di platformnya.
Fenomena ini semakin mengkhawatirkan mengingat maraknya iklan judi online yang sering kali sulit dibedakan dari konten legal.
Kritik dan Respons Meta
Temuan ini memicu kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk dari mantan penyelidik keamanan Meta sendiri.
Sandeep Abraham, mantan penyelidik keamanan Meta, menilai kebijakan perusahaan menunjukkan lemahnya pengawasan di industri periklanan digital.
“Jika regulator tidak membiarkan bank mendapat keuntungan dari aktivitas penipuan, maka perusahaan teknologi juga tidak seharusnya diizinkan melakukan hal yang sama,” tegas Abraham dalam wawancara dengan Reuters.
Pernyataan ini menyoroti perlunya standar regulasi yang setara antara sektor keuangan dan teknologi.
Menanggapi berbagai kritik, Meta melalui juru bicaranya Andy Stone menyatakan bahwa perusahaan “secara agresif melawan penipuan dan iklan berbahaya”.
Stone beralasan bahwa baik pengguna maupun pengiklan sah sama-sama tidak menginginkan konten semacam itu beredar di platform.
Meta juga mengklaim telah melakukan berbagai upaya perbaikan. Dalam 18 bulan terakhir, laporan pengguna terkait scam ads disebut turun 58 persen secara global.
Sepanjang 2025, perusahaan mengklaim telah menghapus lebih dari 134 juta iklan penipuan dari berbagai platformnya.
Stone menambahkan bahwa Meta menargetkan pengurangan iklan scam hingga 50 persen di beberapa wilayah pada tahun mendatang.
Target ambisius ini diharapkan dapat memulihkan kepercayaan publik terhadap sistem periklanan di platform media sosial.
Implikasi dan Masa Depan
Kasus ini menyoroti dilema bisnis yang dihadapi platform digital raksasa seperti Meta.
Di satu sisi, perusahaan memiliki tanggung jawab untuk melindungi pengguna dari konten berbahaya.
Di sisi lain, tekanan untuk terus menghasilkan pendapatan dari bisnis periklanan sering kali menciptakan konflik kepentingan.
Peningkatan kasus penipuan judi online dan berbagai skema penipuan digital lainnya memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif.
Tidak hanya dari sisi platform, tetapi juga melibatkan edukasi pengguna untuk lebih waspada terhadap berbagai modus penipuan yang semakin canggih.
Ke depan, tekanan regulasi diperkirakan akan semakin ketat terhadap perusahaan teknologi.
Berbagai negara mulai menyusun kerangka hukum yang lebih jelas mengenai tanggung jawab platform terhadap konten yang beredar di dalamnya.
Meta dan perusahaan sejenisnya harus bersiap menghadapi era dimana akuntabilitas menjadi harga mati.
Perkembangan teknologi AI dan machine learning juga diharapkan dapat membantu mendeteksi iklan bermasalah lebih dini dan akurat.
Namun, efektivitas solusi teknis ini tetap harus diimbangi dengan komitmen bisnis yang jelas dari perusahaan untuk memprioritaskan keselamatan pengguna.
Transparansi menjadi kunci dalam membangun kepercayaan kembali.
Meta dan platform digital lainnya perlu lebih terbuka mengenai langkah-langkah yang mereka ambil untuk memerangi iklan penipuan, termasuk dalam hal pelaporan kemajuan yang terukur dan dapat diverifikasi.
.png)

















































