Peluang dan Tantangan Perhutanan Sosial untuk Ketahanan Pangan di Riau

8 hours ago 6

TEMPO.CO, Jakarta - Perkumpulan Elang mengadakan diskusi Mengoptimalkan Perhutanan Sosial untuk Ketahanan Pangan: Peluang, Tantangan, dan Rekomendasi. Kegiatan berlangsung di Kantor Perkumpulan Elang, Pekanbaru, Riau, pada Jumat 14 Maret 2025.

Wakil Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) Apriyan Sagita bahas Aspek Regulasi dan Perlindungan Hukum dalam Pengelolaan Perhutanan Sosial untuk Ketahanan Pangan. Dia mengatakan belum menemukan aturan khusus yang bahas tentang ketahanan pangan. Sebelum masa Presiden Prabowo ada Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2023 tentang Perencanaan Terpadu Percepatan Pengelolaan Perhutanan Sosial, namun juga tidak secara gamblang bahas ketahanan pangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perencanaan terpadu adalah perencanaan yang disusun untuk mempercepat pengelolaan perhutanan sosial secara terintegrasi dan komprehensif antara kelembagaan serta pihak terkait. Perencanaan terpadu percepatan pengelolaan Perhutanan Sosial (PS) meliputi distribusi akses legal, pengembangan usaha PS, dan pendampingan.

Kata Apriyan dalam pengelolaan PS melibatkan pelaku usaha, akademisi, dan masyarakat. Untuk meningkatkan produktivitas areal perhutanan sosial melalui kegiatan wana tani, wana ternak, wana mina, wana tani ternak, dan ekowisata.

Dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, salah satunya membahas Swasembada Pangan yang juga menjadi target Proyek Strategis Nasional (PSN).

“Ternyata areal PS (Perhutanan Sosial) menjadi salah satu support swasembada pangan di Indonesia,” ujar Apriyan.

Berdasarkan data capain PS nasional mencapai 8,3 juta hektar, untuk wilayah Riau hanya mencapai 260 ribu hektar. Padahal kata Apriyan, mungkin tidak sampai 10 persen dari total PS Riau itu kerja dari Pemerintah Provinsi Riau.

“Ini sangat menarik  kebijakan ketahanan pangan ini masuk ke areal perhutanan sosial, sebelum ada kebijakan ini pun teman-teman PS Indonesia sudah melakukan praktik itu,” katanya.

Selama ini dalam praktiknya ada tiga seperti agroforestri, silvopastura, dan silvofishery. Salah satu contohnya, seperti Indragiri Hilir punya potensi kepiting. “Di Riau  areal [PS] tidak banyak dan yang berhasil pun belum,” ujar Aprian.

Ketika  areal PS menjadi fokus ketahanan pangan, pasti ada berbagai cara untuk mendukung program ini. Apriyan mengingatkan, jangan sampai masyarakat sudah menanam jagung namun setelah panen tidak ada yang membeli.

Manager Kampanye dan Advokasi Perkumpulan Elang Fachrul Adam bahas Peran Masyarakat dan Organisasi dalam Pengelolaan Perhutanan Sosial untuk Ketahanan Pangan. Selama ini mereka mendorong akses dan hak kelola masyarakat. Sehingga masyarakat mendapatkan izin perhutanan sosial dan punya hak legal mengelola hutan secara lestari.

Hingga kini sudah ada empat surat keputusan (SK) dan enam usulan dengan luas total 26.035 hektar. Menurut Adam, ketahanan pangan menjadi topik urgensi karena beberapa hal. Seperti menjawab ancaman krisi pangan atas perubahan iklim, degradasi lahan, dan deforestasi yang mengancam produksi pangan.

Dengan ketahanan pangan juga jadi tempat pemanfaatan lahan hutan secara berkelanjutan. Rata-rata masyarakat sekitar hutan bergantung pada sumber daya alam, namun tidak punya akses legal yang jelas. Ketahanan pangan juga meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat, tidak hanya tentang ketersediaan makanan tapi juga akses ekonomi.

”Dengan adanya perhutanan sosial, masyarakat dapat mengembangkan usaha berbasis hasil hutan seperti madu hutan, tanaman pangan, dan komoditas bernilai tinggi seperti aren dan kopi,” kata Adam.

Pada potensi areal perhutanan sosial guna mendukung ketahanan pangan, total persetujuan lahan pada Agustus 2024 seluas 8.018.575,04 hektare. Lalu lahan yang fokus pada pangan seluas 1.942.426 hektare.

Perhutanan Sosial secara lapangan memiliki beberapa tantangan seperti  pengelola Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) belum siap, lalu tumpang tindih Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH dengan Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS).

“Ketiga ada keterbatasan akses modal dan pasar. Sulitnya permodalan dan akses ke pasar bagi produk hasil perhutanan sosial,” ujar Adam.

Tantangan yang lain seperti akses perhutanan sosial yang jauh dari pemukiman masyarakat dan alokasi untuk pangan yang belum diketahui.

Penyuluh Kehutanan Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Wilayah Sumatera Fellizka Rezmiaty mengatakan terdapat 162 Kelompok Perhutanan Sosial (KPS) dengan total 172371,81 hektare dan 30.932 Kemitraan Kehutanan (KK) di Riau.

Total KUPS yang terdata pada GO KUPS ada 80 dengan beberapa jenis komoditas seperti alpukat, aren, rebung, jengkol, madu, kopi robusta, nanas, udang, nipah, bambu, matoa, eucalyptus, dan sagu. Fellizka mengatakan tantangan ketahanan pangan terdapat pada kesiapan dan komitmen KPS, lokasi areal perhutanan sosial yang sesuai kriteria, serta faktor alam.

Lalu rekomendasi ketahanan padangan, Fellizka katakan perlu ada sosialisasi kepada pemegang persetujuan dari kegiatan ketahanan pangan. “Kita memang harus bekerja sama antar instansi pemerintah, masyarakat, dan NGO (Non-Governmental Organization),” ujarnya.

Sehingga ada peningkatan kapasitas pemegang persetujuan kegiatan pertahanan pangan, baik dari kelembagaan maupun kelola kawasan dan usaha.

Akademisi Universitas Riau (Unri) Ashaludin Jalil mengatakan Riau memiliki karakteristik dengan sagu. Awalnya sawit tidak diterima oleh masyarakat, namun hingga dipegang oleh inflasi kekuasaan baru laha ada kebun sawit.

“Sawit inilah yang merusak Riau,” ujarnya. Ketahanan sosial baru muncul ketika sawit sudah berkembang. Dia mengatakan sebanyak empat ribu hektare wilayah hutan berganti menjadi kebun sawit.

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online