TEMPO.CO, Jakarta - Kasus pagar laut yang memicu polemik di Desa Kohod, Tangerang, Banten, semakin memanas setelah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menetapkan Kepala Desa atau Kades Kohod, Arsin bin Arsip, dan stafnya bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan denda administratif sebesar Rp 48 miliar atas pelanggaran pemasangan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer. Namun, keputusan ini memunculkan berbagai protes, baik dari pihak Kades Kohod maupun masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hingga kini, proses hukum masih berlanjut dengan berbagai tanggapan dari pihak terkait. Berikut adalah kronologi keterlibatan Kades Kohod dalam kasus pagar laut Tangerang.
Penahanan Kades Kohod
Arsin bin Arsip yang menjabat sebagai Kepala Desa Kohod, ditahan pada Senin malam, 24 Februari 2025. Ia ditangkap oleh Bareskrim Polri atas dugaan pemalsuan dokumen yang digunakan untuk mengurus Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Surat Hak Milik (SHM) terkait dengan tanah yang dipagari di perairan utara Tangerang.
Selain Arsin, dua orang stafnya, Sekretaris Desa Kohod, Ujang Karta, serta dua pemberi kuasa dari Septian Wicaksono Law Firm, juga ditahan dalam kasus ini. Penahanan ini terjadi setelah rangkaian penyelidikan yang mengungkap dugaan manipulasi dokumen yang mempermudah proses penerbitan sertifikat tanah.
Sebelumnya, Arsin dan stafnya menghindar dari publik setelah kasus pagar laut ini mencuat, dengan warga desa bahkan melakukan aksi untuk mencari keberadaan mereka. Baru pada 14 Februari 2025, Arsin muncul di rumahnya dan mengklaim bahwa dia terlibat dalam penerbitan sertifikat tanah dengan bantuan pihak ketiga, tetapi tidak mengetahui adanya pemalsuan dokumen yang dilakukan oleh pihak tersebut.
Denda dan Sanksi Rp 48 Miliar
Pemberian denda administratif sebesar Rp 48 miliar langsung disampaikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono. Denda yang sangat besar ini mencakup biaya pelanggaran penggunaan ruang laut untuk pembangunan pagar sepanjang 30,16 kilometer.
Denda ini dikenakan karena pembangunan pagar laut tersebut melanggar ketentuan pemanfaatan ruang laut yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Menteri Trenggono mengungkapkan bahwa Arsin dan stafnya sudah menyatakan kesediaannya untuk membayar denda tersebut dalam rapat bersama Komisi IV DPR.
"Itu maksimum 30 hari dia (Kepala Desa Kohod dan staf) harus bayar. Dan dia menyatakan sanggup membayar dalam pernyataan itu," kata Trenggono seperti dilansir dari Antara.
Kuasa Hukum: Perhitungan Denda Ngaco
Meskipun demikian, kuasa hukum Arsin, Yunihar, segera mengkritik perhitungan denda tersebut. Yunihar menyebutkan bahwa angka denda Rp 48 miliar tersebut sangat tidak rasional dan bahkan menganggapnya "ngaco".
"Itu hitung-hitungan ngaco, " kata Yunihar kepada Tempo, Ahad 2 Maret 2025.
Menurutnya, denda ini tidak didasarkan pada pertimbangan yang jelas dan akan dipertanyakan lebih lanjut kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sikap Yunihar ini kemudian memicu kontroversi.
Pihak kuasa hukum berencana untuk menemui Kementerian Kelautan dan Perikanan pada Senin, 3 Maret 2025, untuk meminta penjelasan lebih lanjut mengenai mekanisme perhitungan denda tersebut.
Namun, hingga saat ini, Arsin dan stafnya belum menerima surat resmi terkait status tersangka dalam kasus ini, yang membuat mereka merasa kebingungan terkait dasar pemberian denda tersebut.
Staf Khusus Menteri KKP, Doni Ismanto Darwin, dalam klarifikasinya mengungkapkan bahwa denda Rp 48 miliar dihitung berdasarkan peraturan yang berlaku dan tim ahli yang melakukan perhitungan.
"(Denda) sesuai hitungan dari tim ahli yang merujuk pada PP 85 Tahun 2021," kata Doni.
Meskipun demikian, pihak KKP tetap mempertahankan keputusan ini sebagai bagian dari penegakan hukum yang sesuai dengan ketentuan yang ada.
Kuasa hukum Arsin yang belum memberitahukan denda ini kepada kliennya sejak penahanannya, berencana untuk memberikan penjelasan lebih lanjut setelah pertemuan dengan kementerian tersebut. Proses hukum yang masih berlangsung akan terus dinantikan, apakah denda tersebut akan tetap dipertahankan atau ada perubahan yang lebih adil bagi pihak yang terlibat.
Novali Panji Nugroho dan Ayu Cipta turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.