Pembahasan RUU TNI: Dari Dwifungsi Militer hingga Usulan TNI Terbuka Mengisi Jabatan Sipil

4 hours ago 2

PEMBAHASAN Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau RUU TNI Bergulir di DPR. Pada Senin, 3 Maret 2025, Komisi I DPR mengundang tiga pakar atau akademisi untuk mendengar masukan tentang RUU TNI.

Ketiga pakar tersebut adalah Mayjen TNI Purn. Rodon Pedrason (Advisor Defense Diplomacy Strategic Forum), Teuku Rezasyah (Indonesia Centre for Democracy Diplomacy and Defence), dan Kusnanto Anggoro (Centre for Geopolitics Risk Assessment). “Kami tidak minta persetujuan ini terbuka atau tertutup, karena ini bagian dari meaningful participation,” kata Ketua Komisi I DPR Utut Adianto di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, seperti dikutip dari Antara.

Utut mengatakan pembahasan RUU TNI harus menyerap aspirasi agar memenuhi syarat untuk hak menyampaikan masukan, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk menjelaskan agar tidak terjadi protes seperti pembahasan UU Cipta Kerja. “Dalam Undang-Undang Cipta Kerja, Mahkamah Konstitusi meminta pembuat undang-undang mengulang karena minim partisipasi yang dianggap belum memenuhi syarat,” kata dia.

Sebelumnya, Rapat Paripurna DPR pada 18 Februari 2025 menyetujui RUU TNI masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Wakil Ketua DPR Adies Kadir, yang memimpin rapat paripurna, mengatakan pembahasan RUU TNI selanjutnya ditugaskan kepada Komisi I DPR selaku alat kelengkapan dewan dengan ruang lingkup tugas mencakup bidang pertahanan, luar negeri, komunikasi dan informatika, serta intelijen.

Berikut pendapat anggota DPR dan pakar mengenai RUU TNI yang sedang dibahas di DPR.

DPR Klaim Revisi UU TNI Tak Akan Kembalikan Dwifungsi Militer

Anggota Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin mengklaim RUU TNI tidak akan mengembalikan dwifungsi militer seperti era Orde Baru. Dia menyebutkan ada sejumlah catatan agar perluasan peran militer di ranah sipil tidak terjadi lagi.

Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu mengatakan UU TNI telah mengatur pos-pos jabatan sipil yang bisa diisi oleh anggota TNI. Namun militer tidak akan berperan seperti era sebelum UU TNI disahkan pada 2004. “Dengan catatan dulu ya. Satu, Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada harus tetap seperti ini. Artinya, prajurit TNI yang ikut pilkada atau ikut pileg (pemilu legislatif) harus mundur,” kata Tubagus di kompleks parlemen, Senin.

Dia juga mengatakan Pasal 39 UU TNI yang melarang TNI berpolitik praktis dan menjadi anggota partai politik harus dijaga. “Selama itu, tidak usah khawatir. Tidak ada (dwifungsi TNI),” ujarnya.

Menurut dia, Komisi I DPR belum bisa memastikan poin-poin revisi dari UU TNI. Hingga saat ini, kata dia, DPR belum menerima daftar inventarisasi masalah (DIM) dari pemerintah. “Sekarang masih menunggu DIM. Seperti apa DIM-nya dan apa saja yang akan direvisi. Sebab dari pemerintah, ini inisiatif pemerintah,” tuturnya.

Dia menyebutkan saat ini ada pembahasan mengenai apakah perwira TNI aktif bisa ditempatkan di lembaga pemerintahan. Namun dia mengaku itu baru sebatas diskusi. Berdasarkan Pasal 47 UU TNI, kata dia, terdapat 10 pos di kementerian dan lembaga negara yang bisa diisi oleh TNI. Selain itu, ada pula 9 undang-undang lain yang memberikan ruang bagi TNI untuk mengisi jabatan di pos-pos lain.

Hasanuddin mengatakan penempatan anggota TNI dalam jabatan sipil harus dilaksanakan secara selektif, karena mempertimbangkan aparatur sipil negara (ASN) yang telah berkarier pada sebuah kementerian/lembaga, meskipun undang-undang telah mengatur anggota TNI dapat menjabat di posisi ASN.

Purnawirawan jenderal bintang dua TNI itu mencontohkan penempatan selektif seperti anggota TNI yang pernah berkuliah di IPB University, maka dia dapat ditempatkan di Kementerian Pertanian. “Kalau hanya lulus Akademi Militer, mohon maaf, kami kan belajarnya hanya bertempur. Akan tetapi, kalau ditempatkan di Bulog, ya harus belajar dulu lah sedikit,” ujarnya.

Usulan Prajurit TNI Terbuka Mengisi Jabatan Sipil

Dalam rapat dengan Komisi I DPR, pakar pertahanan yang juga Advisor Defense Diplomacy Strategic Forum Mayjen TNI Purn. Rodon Pedrason mengusulkan agar prajurit TNI bisa secara terbuka mengisi jabatan sipil.  

Pasal 47 UU TNI menjelaskan prajurit TNI aktif hanya bisa mengisi 10 kategori jabatan sipil. Menurut Rodon, pembatasan tersebut sejak awal justru menimbulkan polemik di kalangan TNI. “Kenapa disebutkan 10 lembaga ini? Kenapa enggak kita biarkan terbuka seperti undang-undang yang ada di polisi? Dengan demikian, tidak menimbulkan debat,” kata dia di kompleks parlemen, Senin.

Pasal 47 UU TNI menyebutkan prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, lembaga ketahanan nasional, Dewan Pertahanan Nasional, search and rescue (SAR) nasional, narkotika nasional, dan Mahkamah Agung.

Rodon mengungkapkan setiap warga negara mana pun berhak berada di mana pun sejauh hal tersebut demi kepentingan negara. Menurut dia, kebutuhan sumber daya manusia lebih pada pengalaman empirik yang perlu selaras dengan rencana percepatan dari pemerintah untuk memberdayakan TNI dan Polri. “Penempatan prajurit TNI di kementerian/lembaga saat ini karena berdasarkan undang-undang perlu dibahas,” kata dia.

Dia juga mengatakan jaringan yang dimiliki TNI atau Polri itu hingga ke tingkat bawah. Misalnya, hingga ke komando rayon militer (koramil) di tingkat kecamatan dan bintara pembina desa (babinsa). Dia mencontohkan penanganan Covid-19 oleh pemerintah tidak mungkin tanpa peran TNI dan Polri. Bahkan, semangat prajurit membantu pemerintah pun sudah mulai berkembang di tingkat bawah. “Kita juga dengar bahwa terakhir panglima mengatakan bahwa penempatan prajurit di kementerian/lembaga itu bukan merupakan dwifungsi, melainkan multifungsi,” ujar Rodon.

Karena itu, dia menilai partisipasi militer dalam pemerintahan sipil semestinya dimaknai dalam konteks pengembangan pemerintahan sebagai akselerator. Selain itu, partisipasi militer juga bisa menunjukkan variasi kuantitatif dan kualitatif.

Pakar Menilai TNI Tak Mungkin Terapkan Kembali Sistem Dwifungsi

Adapun pakar keamanan dan pertahanan Kusnanto Anggoro mengatakan TNI tidak mungkin menerapkan kembali sistem dwifungsi seperti yang terjadi pada era Orde Baru. Kusnanto mengatakan, ketika TNI masih bernama ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang menganut sistem dwifungsi, militer memiliki fungsi pertahanan negara serta fungsi sosial dan politik.

Kusnanto menuturkan hal itu tidak mungkin terjadi lagi karena sudah tidak ada lagi fraksi militer di DPR. “Saya kira kita tahu betul itu tidak akan mungkin lagi kembali, tetapi bahasa itu perlu dipakai,” kata Kusnanto di kompleks parlemen, Senin.

Dalam undang-undang yang masih berlaku, kata dia, tidak sulit memahami fungsi dari TNI. Dia menjelaskan TNI memiliki fungsi yang berhubungan dengan pertahanan negara maupun nonpertahanan negara.

Direktur Eksekutif Centre for Geopolitics Risk Assessment itu menyayangkan pernyataan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto yang menyatakan TNI sudah tidak lagi dwifungsi, melainkan multifungsi. Menurut Kusnanto, pernyataan panglima itu berkaitan dengan konteks prajurit TNI yang selalu membantu urusan masyarakat atau pemerintah, seperti penanggulangan bencana maupun hal lainnya.

Kusnanto menegaskan hal itu bukan merupakan fungsi, melainkan tugas. “Tidak akan terlalu sulit untuk membedakan perbedaan pengertian dan konotasi antara fungsi, peran, dan tugas. Jelas sekali dalam undang-undang TNI itu,” ujarnya.

Dia juga tidak memungkiri isu dwifungsi akan selalu muncul ketika ada pembahasan tentang RUU TNI. Di sisi lain, saat ini, Indonesia sedang berada pada masyarakat yang cenderung mencari-cari kesalahan pejabat. “Kita berbicara tentang fungsi, sekali lagi itu konotasinya adalah dengan pertahanan negara dan nonpertahanan negara, kalau dengan tugas itu jalan lain,” katanya.

Hammam Izzuddin, Daniel Ahmad Fajri, dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: Reaksi Mensesneg dan Wamendagri atas Pelaporan Dugaan Korupsi Retret Kepala Daerah ke KPK

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online