Peran Ayah dalam Perkembangan Psikologis Anak Perempuan: Dampak Fatherless hingga Pemulihan Relasi

5 hours ago 3

Jakarta -

Dalam perkembangan anak, peran ayah sering kali dianggap sekunder dibandingkan dengan ibu. Namun, penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan ayah memiliki dampak signifikan terhadap perkembangan psikologis anak perempuan.

Ketidakhadiran ayah, baik secara fisik maupun emosional, dapat memengaruhi kesejahteraan mental anak perempuan, terutama dalam hal harga diri, ketahanan, dan penyesuaian sosial. Oleh karena itu, orang tua perlu menyadari pentingnya peran ayah dan berusaha untuk memastikan bahwa anak perempuan mereka menerima dukungan yang mereka butuhkan untuk tumbuh menjadi individu yang sehat secara emosional dan sosial.

Dampak Positif dari Keterlibatan Ayah (Father Involvement)

Keterlibatan ayah secara konsisten, baik secara fisik maupun emosional memiliki kontribusi yang besar dalam perkembangan psikososial anak perempuan. Teori Father Involvement menyebutkan tiga komponen utama peran ayah: availability (kehadiran), responsiveness (respon emosional), dan engagement (keterlibatan aktif).

Ketiganya berkontribusi pada perkembangan psikologis positif sebagai berikut:

1. Citra diri yang positif

Kehadiran dan keterlibatan ayah yang konsisten dapat menjadi pondasi penting dalam membentuk harga diri anak perempuan. Ketika seorang ayah memberikan afirmasi positif, mendukung keberhasilan anak, dan menunjukkan bahwa anaknya dicintai tanpa syarat, anak perempuan akan menginternalisasi keyakinan bahwa dirinya berharga dan layak dicintai.

Misalnya, seorang ayah yang hadir di setiap acara anaknya di sekolah, memberi pujian atas usahanya, dan menunjukkan kebanggaan terhadapnya, membantu anak membangun citra diri yang positif.

Penelitian mengenai Father's Roles in the Lives of Their Daughters menemukan bahwa anak perempuan dengan ayah yang aktif secara emosional cenderung memiliki efikasi diri yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tumbuh tanpa figur ayah yang suportif.

Hal ini menunjukkan bahwa pengakuan dan penghargaan dari ayah memainkan peran unik dalam memperkuat rasa percaya diri anak perempuan sejak dini.

2. Pengembangan Hardiness (Daya Tahan Mental)

Ayah yang aktif terlibat dalam pengasuhan anak perempuan tidak hanya berperan dalam menyediakan perlindungan, tetapi juga menumbuhkan hardiness, yaitu kemampuan untuk bertahan dan berkembang dalam situasi penuh tekanan.

Hardiness terdiri dari tiga komponen: commitment (komitmen), control (perasaan memiliki kendali), dan challenge (melihat kesulitan sebagai tantangan, bukan ancaman).

Misalnya, ketika seorang ayah membiarkan anaknya mencoba menyelesaikan masalah sendiri terlebih dahulu, sambil tetap mendampingi dan memberi dorongan ("Ayah percaya kamu bisa mencoba dulu. Kalau butuh bantuan, Ayah di sini ya"), hal tersebut membantu anak membangun rasa kontrol dan ketangguhan emosional.

Penelitian mengenai Father Involvement and Hardiness in Adolescent Girls menemukan bahwa keterlibatan ayah secara signifikan berkontribusi pada terbentuknya dimensi control dan challenge dalam diri anak perempuan, terutama saat mereka menghadapi stres di masa remaja.

Artinya, hubungan positif dengan ayah dapat menjadi bekal penting bagi anak dalam membentuk pola pikir tangguh sejak kecil.

3. Model Hubungan yang Sehat

Ayah merupakan figur pria pertama yang dikenal anak perempuan dalam hidupnya, dan interaksi antara ayah dan anak perempuan membentuk suatu pola (pattern) mengenai bagaimana seorang pria memperlakukan perempuan. Teori Attachment menyebutkan bahwa hubungan emosional yang aman dengan pengasuh utama (termasuk ayah) akan menjadi dasar dalam membangun relasi interpersonal.

Anak perempuan yang mengalami kasih sayang, rasa aman, dan penghargaan dari ayahnya cenderung tumbuh dengan ekspektasi bahwa hubungan harus didasarkan pada rasa hormat, kasih sayang, dan kepercayaan. Sebagai contoh, seorang ayah yang memperlakukan istri dan anak perempuannya dengan lembut dan menghormati batasan pribadi akan menjadi teladan nyata bagi anak tentang relasi sehat.

Sebaliknya, ketika hubungan dengan ayah penuh ketidakhadiran emosional, anak perempuan bisa kesulitan membedakan relasi yang sehat dan cenderung mencari validasi melalui hubungan yang tidak aman. Maka dari itu, kehadiran ayah bukan hanya tentang kehadiran fisik, tetapi juga tentang membentuk standar dan harapan anak terhadap dunia sosial dan relasi romantis di masa depan.

Dampak Negatif dari Ketidakhadiran Ayah (Fatherless)

Di sisi lain, ketidakhadiran ayah karena perceraian, kematian, atau ketidakhadiran emosional dapat menimbulkan risiko pada perkembangan psikologis anak perempuan, terutama jika tidak ada figur pengganti yang memadai. Berikut di antaranya:

1. Rendahnya harga diri dan kecemasan sosial

Anak perempuan yang tumbuh tanpa kehadiran figur ayah sering kali mengalami krisis harga diri. Dalam konteks fatherlessness, anak perempuan cenderung merasa diabaikan, tidak cukup berharga, atau bahkan tidak pantas untuk dicintai, apalagi oleh figur laki-laki yang bermakna dalam hidupnya.

Perasaan ini perlahan membentuk identitas diri yang rapuh dan memicu rasa tidak percaya diri, terutama saat harus bersosialisasi atau tampil di lingkungan luar.

Kondisi ini juga berkaitan erat dengan kecemasan sosial. Ketika harga diri anak rendah, ia cenderung merasa tidak yakin akan penerimaan sosial dari orang lain. Misalnya, anak perempuan yang tidak memiliki pengalaman emosional positif bersama ayah, mungkin merasa sangat takut dinilai negatif oleh teman sebaya atau guru, bahkan untuk hal sederhana seperti berbicara di depan kelas.

Penelitian mengenai The Adjustment of Children with Divorced Parents: A Risk and Resiliency Perspective menunjukkan bahwa anak perempuan dari keluarga fatherless memiliki kemungkinan dua kali lipat mengalami gangguan emosional dan perilaku dibandingkan dengan mereka yang memiliki ayah yang hadir.

Hal ini menunjukkan bahwa keterikatan awal dengan ayah berperan penting dalam membentuk kepercayaan diri sosial anak.

2. Ketidakmampuan mengelola emosi dan stres

Peran ayah dapat memberi pengaruh besar dalam membantu anak belajar mengenali dan menenangkan emosinya. Ketika anak perempuan menghadapi kegagalan dalam suatu tugas ataupun mengalami konflik dengan teman, reaksi ayah yang empatik dan membimbing akan mengajarkan keterampilan regulasi emosi yang penting.

Sebaliknya, dalam kondisi ketidakhadiran ayah, anak sering kali tidak memiliki referensi atau dukungan emosional yang seimbang untuk belajar mengelola perasaannya. Ketidakhadiran ini bisa bersifat fisik (misalnya karena perceraian atau kematian), maupun emosional (ayah ada secara fisik tetapi tidak responsif secara emosional).

Tanpa bimbingan tersebut, anak perempuan berisiko tumbuh dengan regulasi emosi yang lemah, mudah marah, atau cenderung menekan perasaan hingga menumpuk. Penelitian dari Fathers' Influence on Their Children's Cognitive and Emotional Development menunjukkan bahwa kontribusi emosional ayah terhadap kemampuan anak mengelola stres bersifat unik, dan tidak sepenuhnya bisa digantikan oleh peran ibu.

Oleh karena itu, absennya ayah dalam proses ini dapat menyebabkan anak menjadi lebih rentan terhadap stres berkepanjangan dan gangguan emosi saat remaja atau dewasa.

3. Pola relasi tidak aman saat dewasa

Salah satu dampak jangka panjang dari ketidakhadiran ayah pada anak perempuan adalah terbentuknya pola attachment yang tidak aman baik cemas (anxious) maupun menghindar (avoidant). Ketika memasuki usia remaja hingga dewasa dan mulai menjalin hubungan romantis, anak perempuan yang tumbuh tanpa kehadiran ayah, sering kali mengalami kesulitan dalam menjaga batasan sehat, merasa takut ditinggalkan, atau justru menghindari kedekatan emosional.

Sebagai contoh, mereka mungkin merasa sangat tergantung pada pasangannya untuk mendapatkan validasi, atau sebaliknya, menjadi sangat tertutup dan tidak nyaman menerima cinta. Studi mengenai Father Absence and Adolescent Girls' Romantic Relationships mengonfirmasi bahwa ketidakhadiran ayah berkorelasi dengan peningkatan ketergantungan emosional dan ketidakstabilan dalam relasi romantis perempuan dewasa.

Hal ini menunjukkan pentingnya figur ayah dalam membentuk kemampuan anak perempuan untuk mencintai dan dicintai secara sehat.

Cara Ayah membangun relasi yang positif dengan putrinya

Simak ulasan selengkapnya di bawah ini:

1. Menjadi pendengar yang aktif dan emosional responsif

Langkah pertama yang dapat dilakukan ayah adalah menjadi pendengar yang aktif. Peran ayah tidak hanya hadir secara fisik, tetapi benar-benar menyimak cerita, keluhan, atau pertanyaan anak tanpa langsung memberi solusi atau menghakimi. Ketika seorang anak berkata, "Aku takut tampil di depan kelas," dan ayah merespons, "Wajar kok takut, Ayah juga dulu pernah seperti itu," dengan cara tersebut membuat anak merasa dipahami dan tidak sendirian dalam emosinya.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kehangatan emosional dan responsivitas dari orang tua, termasuk ayah, berperan besar dalam membangun secure attachment yang kemudian meningkatkan regulasi emosi dan kepercayaan diri anak.

2. Melibatkan diri dalam aktivitas harian anak

Ayah yang melibatkan diri dalam rutinitas anak, seperti mengantar ke sekolah, membacakan buku sebelum tidur, atau menemani bermain, sedang membentuk pengalaman emosional yang sangat berharga. Aktivitas harian ini bukan hanya soal kebersamaan, tetapi juga cara ayah menunjukkan bahwa keberadaan anak adalah prioritas.

Bahkan kegiatan sederhana seperti membantu anak memilih baju atau menggambar bersama di akhir pekan bisa menjadi momen koneksi emosional yang kuat. Sebuah studi mengenai Fathers' Roles in The Care and Development of Their Children menekankan bahwa keterlibatan ayah dalam kehidupan anak, termasuk aktivitas bermain dan pendidikan, berhubungan dengan peningkatan fungsi eksekutif, kontrol diri, dan kemampuan sosial anak.

3. Memberi validasi dan pujian yang tepat

Validasi dan pujian yang tepat dari ayah memiliki pengaruh jangka panjang terhadap pembentukan konsep diri anak perempuan. Daripada hanya memuji hasil akhir seperti "Kamu cantik banget pakai baju ini," akan lebih konstruktif jika ayah berkata, "Ayah suka caramu memilih warna, kreatif banget."

Pujian yang berfokus pada usaha, pemikiran, dan karakter membantu anak memahami bahwa nilai dirinya tidak semata-mata terletak pada penampilan fisik, tetapi pada kualitas dalam dirinya. Penelitian Effects of Mothers' and Fathers' use of Control on Children's Development menunjukkan bahwa pujian yang berfokus pada usaha (process praise) dibanding hasil (person praise) membantu anak memiliki growth mindset, atau pola pikir bahwa kemampuan dapat diasah lewat latihan dan ketekunan.

4. Menjadi figur laki-laki yang aman dan menghargai batasan anak

Anak perempuan belajar banyak tentang dinamika hubungan gender dari ayahnya. Ketika ayah menunjukkan rasa hormat terhadap batasan fisik dan emosional anak, misalnya tidak memaksa anak untuk dipeluk jika ia belum siap, atau menghormati ruang pribadi anak di rumah. Hal ini membuat anak belajar bahwa dirinya memiliki hak atas tubuh dan emosinya, sehingga menjadi bekal penting agar anak mampu membangun relasi yang sehat dan tidak mudah dimanipulasi dalam hubungan di masa depan.

Dari perspektif feminist developmental theory, kehadiran ayah yang suportif dan menghargai otonomi anak perempuan memperkuat identitas anak dan mencegah anak mencari "pengakuan" secara berlebihan dari sosok laki-laki lain yang mungkin tidak sehat secara emosional.

Regulasi emosi ayah saat stres kerja dalam mengasuh anak perempuan

Penelitian mengenai Father Work Stress and Child Adjustment menunjukkan bahwa stres kerja pada ayah berkorelasi dengan meningkatnya masalah perilaku (seperti kecemasan, depresi ringan) pada anak perempuan usia sekolah dasar, terutama ketika ayah kurang mampu mengekspresikan atau meregulasi emosinya secara sehat. Anak perempuan cenderung lebih peka terhadap ekspresi emosional orang tua, terutama ayah.

Ketika ayah menunjukkan wajah lelah, datar, atau mudah tersinggung, anak perempuan bisa merasa bingung, tidak aman, bahkan berpikir bahwa dirinya penyebab ketegangan tersebut. Oleh karena itu, ayah dapat melakukan regulasi emosi yang efektif sebelum mengasuh anak.

Langkah pertama adalah menyadari kondisi emosional setelah bekerja. Misalnya, ayah yang pulang kerja merasa stres dapat berkata pada diri sendiri: "Aku sedang lelah, aku butuh waktu 10 menit sebelum mulai bermain dengan anak".

Kemudian melakukan "jeda" emosional sebelum berinteraksi dengan anak.Misalnya, ayah bisa mandi, atau mendengarkan musik selama 10-15 menit sebelum mulai menemani anak bermain. Namun apabila stres kerja masih dirasakan, alih-alih memendam atau melampiaskan, ayah bisa membagikan perasaannya dengan cara yang tepat: "Hari ini Papa capek banget, tapi Papa senang bisa pulang dan peluk kamu".

Memperbaiki hubungan ayah dan anak perempuan yang sudah berjarak

Tidak semua hubungan ayah dan anak perempuan terjalin hangat sejak awal. Ada kalanya karena kesibukan, konflik rumah tangga, atau pola komunikasi yang kaku, hubungan menjadi renggang. Namun, keterikatan emosional bisa dibangun kembali dengan komitmen, kesabaran, dan pendekatan yang tepat.

Ayah perlu memiliki upaya sadar untuk memperbaiki koneksi yang retak dengan menunjukkan niat tulus untuk mendekat. Hal ini bisa dimulai dari permintaan maaf, misalnya: "Ayah sadar belakangan ini jarang ngobrol dan kadang keras ke kamu. Ayah minta maaf, dan Ayah ingin mulai berubah, bolehkah kita mulai pelan-pelan ngobrol lagi?".

Ketika anak yang mendengar orang tua mengakui kesalahan secara jujur, ia cenderung lebih terbuka untuk memulihkan kelekatan (attachment) yang sempat renggang. Ayah dapat melakukan aktivitas ringan seperti menonton film bersama, membuat camilan favorit anak, atau rutin menjemput anak sekolah bisa menjadi langkah awal.

Dalam beberapa studi, keterlibatan ayah dalam aktivitas sederhana namun konsisten, sangat efektif dalam membangun kembali ikatan emosional.Ayah perlu melakukan validasi emosi anak, tanpa membela diri.

Saat hubungan renggang, anak mungkin menyimpan kekecewaan. Ayah perlu mendengarkan perasaan ini tanpa membantah atau langsung menjelaskan diri.Misalnya, jika anak berkata, "Ayah nggak pernah ada waktu buat aku," ayah bisa merespons, "Kamu sedih ya karena merasa Ayah enggak ada? Ayah terima perasaan itu.

Ayah mau belajar jadi lebih hadir."Ayah dapat melakukan koneksi emosional melalui cerita dan kenangan. Berbagi cerita masa kecil, album foto, atau momen lucu bisa menghidupkan kembali perasaan "connectedness." 

Bahkan ayah yang dulunya jarang bercerita bisa mencoba mulai dengan, "Ayah dulu waktu kecil juga suka nangis kalau gelap, kayak kamu dulu. Tapi lama-lama berani. Ayah bangga kamu juga makin berani sekarang." Cerita personal memperkuat koneksi emosional yang membentuk identitas bersama ayah dan anak.

Cara merilis inner child anak perempuan yang terluka karena hubungan buruk dengan ayah

Dalam konteks anak perempuan yang memiliki hubungan buruk dengan ayah, inner child mungkin menyimpan rasa tidak dicintai, ditolak, atau tidak cukup baik. Jika tidak dirawat, luka ini bisa terbawa hingga dewasa dan memengaruhi hubungan romantis, kepercayaan diri, dan bahkan pola pengasuhan saat ia menjadi ibu.

Oleh karena itu, untuk merawat luka tersebut perlu dukungan dari profesional seperti psikolog dan lingkungan yang suportif dalam prosesnya.

Adapun hal yang dapat dilakukan dengan membantu anak atau remaja mengenali perasaannya. Teori Emotion-Focused Therapy menekankan pentingnya mengakses dan memberi nama pada emosi yang terpendam. Contoh: "Aku merasa diabaikan oleh Ayah," atau "Aku merasa tidak cukup berharga di matanya."

Latihan sederhana: menulis surat (tanpa dikirim) kepada ayah yang mengungkapkan semua perasaan dan harapan masa kecil yang tidak terpenuhi. Dalam konteks anak perempuan, ibu atau figur pengasuh lain dapat menjadi external regulator yang membantu anak berkata: "Perasaanmu valid. Kamu tidak salah karena merindukan kehadiran ayah".

Kemudian menerapkan konsep reparenting atau "mengasuh ulang" diri sendiri dapat digunakan dalam terapi skema dan inner child healing. Bagi anak perempuan, hal ini bisa dilakukan dengan membangun ulang pengalaman positif yang dulu tidak dimiliki bersama ayah, misalnya dengan menghadirkan figur laki-laki suportif lainnya (kakek maupun paman) yang bisa memenuhi kebutuhan emosional yang dulu kosong.

Demikian ulasan mengenai peran ayah dalam perkembangan psikologis anak perempuan. Hadir dalam kehidupan anak menjadi langkah penting bagi Ayah dalam menjaga masa depan anak perempuan.

Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!

(rap/mdj)

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online