Sejumlah Alasan Masyarakat Sipil akan Gugat UU TNI ke MK

4 days ago 14

REVISI Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau UU TNI telah disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR pada Kamis, 20 Maret 2025. Terdapat sejumlah perubahan dalam revisi UU TNI, di antaranya soal kedudukan koordinasi TNI, penambahan bidang operasi militer selain perang, penambahan jabatan sipil yang bisa diisi TNI aktif, serta perpanjangan batas usia pensiun.

Pengesahan revisi UU TNI dilakukan di tengah gelombang penolakan dari berbagai kalangan, dari masyarakat sipil hingga mahasiswa. Kelompok masyarakat sipil menganggap proses pembahasan RUU TNI terburu-buru dan minim keterlibatan partisipasi publik. Mereka juga khawatir tentara dapat menduduki jabatan sipil, sehingga meminta TNI tetap di barak.

Bahkan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan akan mengajukan judicial review terhadap UU TNI ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Alasan Masyarakat Sipil akan Ajukan Judicial Review UU TNI ke MK

Ada sejumlah alasan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan berencana menggugat UU TNI ke MK. Menurut peneliti Centra Initiative, Al Araf, pembahasan revisi UU TNI menunjukkan proses legislasi yang mengesampingkan prinsip-prinsip yang benar dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Koalisi juga menilai ada berbagai persoalan yang secara substantif ada dalam revisi UU TNI.

Centra Initiative adalah lembaga yang berfokus pada isu keamanan. Lembaga ini termasuk dalam Koalisi Masyarakat Sipil. Al Araf menuturkan pihaknya menilai revisi UU TNI bermasalah secara formil. Pertama, pembahasan revisi UU itu terlalu cepat dan terburu-buru tanpa memberikan kesempatan masyarakat untuk turut terlibat lebih luas dalam pembahasan atau meaningful participation.

“Berbagai dialog dengan elemen akademisi maupun civil society dalam rapat dengar pendapat umum semestinya memperlihatkan urgensi dan ruang dialog yang terbuka dan lebih luas,” kata Al Araf dalam keterangannya di Jakarta pada Kamis, 27 Maret 2025.

Namun, kata dia, pembahasan revisi UU TNI malah dilakukan secara tertutup di hotel dan pada hari libur. Menurut Al Araf, hal itu semakin menunjukkan tertutupnya partisipasi publik. Dia menilai tindakan itu mencerminkan rendahnya komitmen DPR untuk bersikap transparan dan membuka ruang partisipasi publik dalam penyusunan regulasi.

Kedua, koalisi berpendapat, alih-alih membahas masalah krusial untuk mendorong transformasi TNI ke arah yang profesional, revisi UU TNI justru terkesan politis dan tidak menjawab kebutuhan reformasi TNI.

Al Araf menilai revisi UU TNI yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPR justru tidak menyentuh agenda krusial transformasi TNI, misalnya reformasi peradilan militer. Padahal, dalam rapat dengar pendapat umum, masyarakat sipil mendesak pencabutan Pasal 74 UU TNI. Pencabutan itu secara otomatis akan menghukum prajurit TNI yang terjerat pidana sipil diadili di peradilan umum.

Kemudian, kata dia, revisi tersebut tidak memuat pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tugas Perbantuan Militer, moderninsasi alutsista, kesejahteraan prajurit, problematika transparansi dan akuntabilitas, hingga kekerasan terhadap warga sipil. “Alih-alih membahas substantif, DPR justru mengesahkan pasal yang memperluas penempatan TNI di jabatan sipil, pengaturan operasi militer selain perang, serta penambahan kewenangan dan lain lain,” katanya.

Adapun Direktur Eksekutif Imparsial Ardi Manto Adiputra mengatakan pengajuan uji materi itu sebagai koreksi terhadap pengesahan revisi UU TNI yang dinilai bermasalah secara formil dan materiel. “Ini kritik atas upaya legalisasi dwifungsi TNI melalui pengesahan revisi Undang-Undang TNI, koalisi akan mengajukan judicial review Undang-Undang TNI,” ujar dia dalam keterangannya pada Kamis.

Imparsial juga menjadi bagian dalam koalisi masyarakat sipil. Ini adalah lembaga nirlaba yang berfokus pada isu hak asasi manusia (HAM) dan juga sektor keamanan. Ardi menuturkan pengesahan revisi UU TNI menambah panjang daftar preseden buruknya proses legislasi di DPR.

Sebab, kata dia, proses legislasi regulasi tersebut, mulai dari pembahasan hingga pengesahan, memicu penolakan meluas dari berbagai rakyat sipil. Bahkan penolakan terus terjadi setelah pengesahan.

Judicial Review UU TNI yang Diajukan Guru Besar Unhan

Koalisi Masyarakat Sipil juga menduga adanya upaya perluasan peran dan fungsi TNI di ranah sipil (dwifungsi) melalui judicial review UU TNI yang diajukan Kolonel Sus Mhd. Halkis. Dia adalah anggota TNI aktif sekaligus guru besar di Universitas Pertahanan. 

Halkis mengajukan uji materi perihal penghapusan pasal larangan berbisnis bagi prajurit aktif. “Uji materi UU TNI diajukan karena dianggap bertentangan dengan konstitusi dan mengekang hak prajurit sebagai warga negara,” kata Halkis dalam keterangannya pada Sabtu, 15 Maret 2025, seperti dikutip dari Antara.

Pengajuan judicial review UU TNI itu disampaikan kuasa hukum Halkis, Izmi Waldani dan Bagas Al Kautsar. Gugatan itu sudah didaftarkan dengan Nomor Registrasi 41/PAN.ONLINE/2025.

Menurut Halkis, yang juga perwira aktif itu, Pasal 2 huruf d UU TNI mendefinisikan tentara profesional sebagai prajurit yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya.

Menurut dia, definisi itu tidak tepat secara logika karena menggunakan pendekatan negatif, tidak menjelaskan apa definisi tentara profesional secara positif. Melainkan, kata dia, hanya menyebutkan apa yang tidak boleh dilakukan. 

Sehingga, dia mengklaim ada kesalahpahaman dalam memahami profesionalisme militer. “Tentara profesional harus dimaknai sebagai prajurit yang menjalankan tugas negara secara netral, berbasis kompetensi, dan memiliki hak dalam aspek ekonomi serta jabatan publik,” katanya.

Berikutnya, Pasal 39 ayat (3) UU TNI melarang prajurit berbisnis. Dia mengklaim aturan itu bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, yang menjamin hak setiap warga negara mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Dia menuturkan prajurit mengalami ketimpangan ekonomi akibat larangan ini, terutama pascapensiun.

Halkis juga mengklaim Pasal 47 ayat (2) UU TNI, yang membatasi jabatan sipil bagi prajurit TNI aktif, tidak sejalan dengan prinsip meritokrasi dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945, yang menjamin hak warga negara atas kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Pendapat Menteri Hukum dan Pakar Hukum Tata Negara

Sementara itu, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mempersilakan masyarakat yang tidak sepakat dengan UU TNI menempuh judicial review di MK. Menurut dia, hal itu merupakan hak masyarakat. “Semua boleh. Karena struktur ketatanegaraan baku,” kata dia di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa, 21 Januari 2025.

Politikus Partai Gerindra ini menyadari tidak semua orang sepakat UU TNI. Meski begitu, dia meminta masyarakat memberikan kesempatan UU TNI berjalan. “Beri kesempatan kepada pemerintah untuk melaksanakan UU TNI,” kata dia.

Adapun pakar hukum tata negara Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Nanik Prasetyoningsih, mendorong segera diajukan judicial review ke MK atas UU TNI. “Judicial review ini untuk menguji apakah RUU TNI sudah sesuai dengan konstitusi atau tidak,” kata Nanik di Yogyakarta, Jumat, 21 Maret 2025.

Dosen Ilmu Hukum UMY ini mengungkap pengesahaan aturan itu telah menimbulkan kekhawatiran dan penolakan masyarakat luas tentang bakal adanya dominasi militer dalam struktur pemerintahan sipil. “Campur aduk militer di ranah sipil dapat membahayakan iklim demokrasi Indonesia,” ujarnya.

Nanik menuturkan potensi campur tangan militer ke ranah sipil kemungkinan besar semakin menguat melalui revisi perundangan itu. Hal ini, kata dia, jelas akan memperlemah struktur pemerintahan sipil yang berujung kepada semakin terabaikannya supremasi sipil sebagai sistem kontrol masyarakat terhadap militer. Dampaknya, akan terbentuk gaya pemerintahan yang militeristik.

Eka Yudha Saputra, M. Rizki Yusrial, Hendrik Yaputra, Pribadi Wicaksono (kontributor), dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan Editor: Reaksi Puan Maharani, Dave Laksono, hingga Zulhas atas Penolakan UU TNI

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online