TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) berencana kembali menerapkan sistem penjurusan untuk sekolah menengah atas (SMA). “Jurusan akan kami hidupkan lagi, jadi nanti akan ada jurusan IPA, IPS, dan Bahasa,” ujar Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti di kantornya, Jakarta Pusat, Jumat, 11 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sistem penjurusan ini sebelumnya dihapus dalam penerapan Kurikulum Merdeka yang digagas Menteri Nadiem Makarim. Menurut Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek saat itu, Anindito Aditomo, peniadaan jurusan di SMA adalah upaya untuk menghapuskan diskriminasi kepada jurusan non-IPA dalam seleksi nasional mahasiswa baru.
Selain itu, persepsi bahwa jurusan IPA lebih unggul dibanding IPS dan Bahasa membuat sebagian siswa memilih jurusan bukan berdasarkan minat.
Lalu, apa kelebihan dan kekurangan sistem penjurusan jika kembali diterapkan?
Menurut Ketua Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri, sistem penjurusan sudah ada di sistem pendidikan Indonesia sejak 1994 silam. Dengan sejarah panjang itu, kata dia, sekolah dan guru dipastikan memiliki pengalaman yang cakap dalam menerapkan sistem ini.
"Jadi mereka tidak lagi kagok ketika harus kembali mengelola kelas IPA, IPS, dan Bahasa," kata Iman kepada Tempo, Senin, 14 April 2025.
Sisi positif lainnya, Iman menilai sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia saat ini memang belum cocok dengan konsep Kurikulum Merdeka. Dia menjelaskan, konsep awal dari Kurikulum Merdeka adalah memberikan keleluasaan pada siswa untuk meramu sendiri mata pelajaran yang ingin dipelajarinya sesuai dengan minat dan bakat.
Sayangnya, Iman berujar, banyak sekolah yang masih kekurangan tenaga pengajar hingga minim kapasitas dalam menyediakan menu-menu mata pelajaran. "Akhirnya di lapangan itu banyak sekali menu-menu pilihan penjurusan tanpa nama," kata dia.
Di sisi lain, menuru dia, kembali diterapkannya sistem penjurusan juga tak lepas dari bayang-bayang buruk. Salah satunya lahirnya kembali kastaisasi rumpun mata pelajaran.
"Sejarah membuktikan saat penjurusan berkembang di kurikulum sebelumnya, jurusan IPA dinilai lebih pintar dan pilihan, serta jadi jurusan favorit," kata Iman. Meski ia sendiri mengaku ragu persepsi ini kembali tumbuh di tengah situasi serba modern saat ini.
Lebih lanjut, guru di salah satu sekolah di Jakarta itu menilai pergantian kebijakan dalam waktu dekat ini akan merugikan perserta didik, khususnya bagi siswa kelas 11 yang akan ikut tes kemampuan akademik (TKA) pada November 2025.
Menurut dia, para siswa itu sudah terlanjur belajar menggunakan kurikulum merdeka dengan rumpun mata pelajaran campur antara IPA dan IPS. "Mereka akan kebingungan, diuji dengan sistem penjurusan yang baru, yang tidak mereka alami dalam pembelajaran."
Selain itu, menurut Iman, kurikulum penjurusan juga berpotensi menimbulkan demotivasi pada anak. Dengan adanya mata pelajaran khusus yang akan disertakan dalam tes kemampuan akademik, anak dikhawatirkan akan mengabaikan mata pelajaran lain. "Jadi sistem ini melahirkan kembali mata pelajaran yang dianggap penting dan tidak penting," katanya.
Aktivis Pendidikan dari Tamansiswa, Ki Darmaningtyas, menilai sistem penjurusan lebih cocok dibandingkan Kurikulum Merdeka. Ia setuju dengan rencana pemerintah mengembalikan sistem penjurusan di tingkat SMA. .
Tyas memaparkan, jumlah guru dan prasarana yang terbatas, persyaratan harus mengajar minimal 24 jam seminggu guna memperoleh tunjang profesi guru, serta pertimbangan linieritas dalam melanjutkan studi ke perguruan tinggi, sudah cukup untuk menjadi landasan bahwa Indonesia belum siap menerapkan sistem yang lebih fleksibel seperti Kurikulum Merdeka.
“Maka kembali ke penjurusan tidak dosa,” ujar Tyas melalui keterangan tertulis di kutip Senin, 14 April 2025.