Selular.ID – Hampir lima tahun setelah operator meluncurkan 5G di Hong Kong, pengguna layanan tersebut mencapai hampir 30% dari total langganan selular pada akhir September 2024.
Menurut data dari Office of the Communications Authority (OFCA), pelanggan 5G tumbuh 16,1% tahun-ke-tahun menjadi 7,6 juta, sementara pengguna 4G sedikit lebih tinggi yaitu 17,5 juta. Sementara jumlah pelanggan 3G turun 13,7% menjadi sekitar 563.000.
OFCA menambahkan, rata-rata penggunaan data bulanan meningkat 7,7% menjadi 8,6 GB. Tercatat, pengguna prabayar mencapai hampir 39% dari total pelanggan selular.
Untuk diketahui, operator Hong Kong pertama kali meluncurkan layanan 5G pada 2020 menggunakan pita spektrum 3,5 GHz.
Salah satu operator terdepan dalam layanan 5G di Hong Kong adalah CMHK (China Mobile Hong Kong).
Pada November tahun lalu, CMHK telah mengumumkan peluncuran layanan roaming internasional 5G SA (Standalone), menjadi operator jaringan selular pertama di Hong Kong yang menawarkan layanan roaming 5G SA di daratan China. Terobosan ini memberikan pengalaman jaringan 5G yang lebih efisien dan stabil bagi pelanggan.
Sejalan dengan dorongan pemerintah China untuk mengintegrasikan Greater Bay Area, di mana perjalanan yang sering antara Guangdong, Hong Kong, dan Makau telah menjadi hal yang biasa.
Tonggak sejarah ini semakin memperkuat konektivitas di antara penduduk di wilayah tersebut, yang mendukung tujuan pembangunan strategis nasional.
Baca Juga: Jaringan 5G di Indonesia Belum Merata, China Orbitkan Satelit 6G
CMHK telah secara aktif berkolaborasi dengan China Mobile Group dalam beberapa bulan terakhir untuk memajukan pembentukan jaringan roaming 5G SA.
Upaya ini mencakup penerapan gateway SEPP (Security Edge Protection Proxy), peningkatan dan perluasan jaringan inti, integrasi jaringan, dan berbagai uji teknis, yang menjadi landasan yang kokoh bagi peluncuran roaming 5G SA.
Layanan tersebut saat ini mencakup Beijing, Shanghai, Provinsi Guangdong, dan Provinsi Hunan, dengan cakupan penuh di seluruh daratan China pada akhir 2024.
China Mobile saat ini mengoperasikan lebih dari 2,3 juta stasiun pangkalan 5G, dengan lebih dari 330 kota yang menawarkan layanan komersial 5G SA.
Melalui interkoneksi jaringan 5G SA yang sukses dengan grup tersebut, CMHK memungkinkan pelanggan Hong Kong menikmati layanan jaringan 5G berkecepatan tinggi dan latensi rendah di seluruh Greater Bay Area dan banyak kota di daratan China.
Arsitektur jaringan mandiri 5G SA tidak hanya menawarkan kecepatan unggah dan unduh yang lebih cepat, tetapi juga secara signifikan mengurangi latensi jaringan.
Ditambah dengan teknologi enkripsi data yang canggih, hal ini meningkatkan keamanan transmisi data dan perlindungan privasi, yang memenuhi kebutuhan keamanan jaringan pelanggan lintas batas.
Penetrasi 5G di Indonesia Baru 5%
Berbeda dengan Hong Kong, penetrasi layanan 5G di Indonesia seolah jalan di tempat. Padahal 5G telah resmi diperkenalkan pada Mei 2021.
Melansir dari laman Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), menurut data coverage prediction operator selular, dari total luas wilayah pemukiman di Indonesia sebesar 46.031,49 km², sekitar 98,51% sudah dilayani oleh jaringan 2G, 5,73% oleh jaringan 3G, 97,16% oleh jaringan 4G, dan baru 2,90% oleh jaringan 5G.
Apa yang menyebabkan pembangunan jaringan 5G mandek di Indonesia? Mengapa operator belum mau melakukan ekspansi besar-besaran dalam mengembangkan 5G?
Setidaknya ada beberapa faktor utama di balik minimnya impementasi layanan 5G di Tanah Air.
Penyebab utama adalah infrastruktur yang belum memadai. Seperti kerapatan BTS serta kabel serat optik yang masih kurang.
Padahal penggelaran jaringan fiber optik secara luas dan merata, menjadi salah satu kunci kestabilan konektifitas 5G.
Seperti diketahui, berbeda dengan 4G, konektifitas 5G membutuhkan pita frekwensi yang besar, sehingga tidak bisa hanya mengandalkan frekwensi radio atau microwave link.
Itu sebabnya, diperlukan pengembangan jaringan fiber optik yang lebih luas, agar operator bisa mengakomodir layanan 5G sesuai standar.
Namun untuk menggelar konektifitas berbasis fiber optic, bukan perkara mudah. Selain investasi yang besar, persoalan izin yang ribet membuat biaya yang dikeluarkan operator bertambah mahal.
Persoalan lain yang mengganjal adalah belum adanya alokasi frekwensi yang secara khusus digunakan untuk menggelar 5G.
Untuk menjalankan 5G, operator terpaksa menggunakan spectrum existing, seperti 1.800 Mhz atau 2,3 Ghz. Saat ini lebar pita frekuensi yang dimiliki operator selular – yang bisa digunakan untuk menyediakan layanan secara minimal di 5G – terbilang tidak cukup. Bahkan bisa dikatakan kurang.
Untuk diketahui, Telkomsel menggunakan lebar pita 50 MHz di frekuensi 2.300 MHz untuk menggelar 5G. Indosat punya total lebar pita 2×22,5 MHz di frekuensi 1.800 MHz, di mana 20 MHz-nya dimanfaatkan untuk 5G.
Begitu pun dengan XL Axiata. Layanan 5G yang dibesut oleh anak perusahaan Axiata Malaysia itu, berjalan pada pita frekuensi 1.800MHz dengan lebar pita 20MHz, dalam rentang 1.807,5MHz sampai 1.827,5MHz.
Angka tersebut masih jauh dari lebar pita minimal yang dibutuhkan untuk menggelar layanan 5G secara optimal atau melakukan ekspansi jaringan 5G.
Karena untuk menggelar layanan 5G yang optimal, satu operator telekomunikasi harus menguasai spektrum frekuensi selebar 100 MHz.
Lebar pita minimal 100 MHz itu harus berada pada satu spektrum frekuensi yang sama atau berdampingan (contiguous). Bukan gabungan dari frekuensi yang berbeda, misalnya 50 MHz di 2.300 MHz dan 50 MHz sisanya di 1.800 MHz.
Di sisi lain, operator tak ingin mendahulukan 5G dengan mengorbankan layanan 4G. Pasalnya, layanan 4G kini telah menopang pertumbuhan trafik data dan internet, sekaligus menjadi lumbung utama pendapatan operator.
Itu sebabnya, spectrum yang digunakan operator untuk menjalankan 5G menjadi terbatas. Alhasil, wajar jika 5G di Indonesia saat ini bisa disebut sebagai “5G rasa 4G”.
Mandeknya 5G di Indonesia, sejatinya sudah disuarakan oleh sejumlah lembaga. Tengok saja laporan A.T Kearney yang dipublikasikan pada 2019.
Lembaga riset dan teknologi terkemuka asal AS itu, menyebutkan bahwa lambatnya ketersediaan spektrum untuk layanan 5G dan peluncuran jaringan yang tidak optimal, akan menjadi tantangan terberat bagi pemerintah di masing-masing negara.
Tetapi bahkan jika dukungan spektrum dan peraturan sudah tersedia, adopsi dan kasus penggunaan (use case) yang diharapkan dapat menjadi revenue generator bagi operator selular, tetap tidak pasti karena lambatnya pertumbuhan ekosistem, tambah laporan itu.
Padahal, menurut kajian Ivan Samuels, peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang dipaparkan pada “Unlocking 5G Potential for Digital Economy in Indonesia”, September 2020, implemensi jaringan 5G di Indonesia diproyeksikan bisa menyumbang sebesar 9,3% – 9,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp 2.802 – Rp 2.874 triliun pada 2030.
Baca Juga: Belanja Jaringan Private 5G Untuk Industri Pertahanan Global Diprediksi Tembus $1,5 Milyar