TEMPO.CO, Jakarta - Komisi bidang Pertahanan DPR mengeklaim terdapat tiga pasal yang menjadi pembahasan dalam revisi UU TNI. Ketiga pasal itu adalah Pasal 3, 47, dan 53. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, revisi yang dilakukan instansinya di Pasal 47, berupa penambahan pos jabatan sipil yang dapat diduki prajurit TNI aktif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sebelum direvisi ada 10, kemudian ada penambahan karena di masing-masing institusi, di undang-undangnya dicantumkan," kata Dasco dalam konferensi pers di komplek Parlemen Senayan, Senin, 17 Maret 2025.
Adapun penambahan pos jabatan itu sebagaimana termaktub dalam Pasal 47 ayat (1) revisi UU TNI, menyebutkan prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor kementerian atau lembaga yang:
1. Membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara.
2. Pertahanan negara.
3. Dewan pertahanan nasional.
4. Kesekretariatan negara yang menangani urusan kesekretariatan presiden dan kesekretariatan militer presiden.
5. Intelijen negara.
6. Siber dan atau sandi negara.
7. Lembaga ketahanan nasional.
8. Search and rescue (SAR) nasional.
9. Narkotika nasional.
10. Pengelola perbatasan.
11. Kelautan dan perikanan.
12. Penanggulangan bencana.
13. Penanggulangan terorisme.
14. Keamanan laut.
15. Kejaksaan Republik Indonesia.
16. Mahkamah Agung.
Dasco mencontohkan, prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan di Kejaksaan Agung, karena dalam undang-undang Kejaksaan terdapat pos jabatan Jaksa Agung Muda Pidana Militer atau Jampidmil yang dapat dijabat oleh militer.
Sedangkan, untuk pos jabatan pengelola perbatasan, akomodasi di pasal ini dilatari karena adanya tugas dan fungsi yang beririsan antara TNI dengan jabatan terkait. "Ini yang kami masukan, sehingga tidak ada pasal-pasal lain seperti yang banyak beredar di media sosial," ujar Dasco.
Sebelumnya, usulan perluasan pos jabatan sipil yang dapat diduduki prajurit aktif ini dihujani kritik oleh kelompok masyarakat sipil untuk reformasi sektor keamanan. Mereka menilai usulan ini tak sejalan dengan semangat reformasi.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan usulan penambangan pos bagi prajurit aktif di jabatan sipil mengaburkan batas antara ranah militer dan sipil. "Usulan ini berisiko mengikis prinsip supremasi sipil," kata Isnur.
Menurut dia, penempatan prajurit TNI di luar fungsi sebagai alat pertahanan bukan hanya melanggar aturan dalam undang-undang TNI, tapi juga berpotensi memperlemah profesionalisme prajurit.
Isnur melanjutkan, penambahan pos jabatan sipil bagi prajurit juga akan merusak sistem merit dan karier aparatur sipil negara lantaran TNI diberikan karpet merah untuk menempati jabatan strategis di ranah sipil dengan melalui revisi Undang-Undang TNI.
"Menempatkan TNI pada jabatan sipil jauh dari tugas dan fungsi sebagai alat pertahanan. Ini sama saja dengan menghidupkan kembali dwifungsi ABRI," ujar dia.
Ketua Panitia Kerja revisi UU TNI Utut Adianto mengklaim, pembahasan revisi UU TNI yang dilakukan DPR dan pemerintah tidak akan mengembalikan dwifungsi militer sebagaimana yang dikhawatirkan.
Politikus PDIP itu menjelaskan, sejak Komisi bidang Pertahanan DPR melakukan rapat dengan Panglima TNI, pekan lalu. Komitmen menjaga supremasi sipil adalah hal utama yang diatensi oleh DPR dan pemerintah.
"Kekhawatiran dwifungsi itu sudah berkali-kali saya sampaikan, justru ini melimitasi," kata Utut.