Sejarawan UGM Soal Soeharto Pahlawan Nasional: Jangan Abaikan Fakta Sejarah

3 hours ago 2

TEMPO.CO, Jakarta - Sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM) Agus Suwignyo menuturkan bahwa Soeharto memang memenuhi kriteria dan persyaratan untuk dijadikan pahlawan nasional. Namun, masyarakat tidak bisa mengabaikan soal fakta sejarah dan kontroversi presiden Soeharto di era 1965.

“Kalau melihat kriteria dan persyaratan sebagai pahlawan nasional, nama Soeharto memang memenuhi kriteria tersebut. Namun tidak bisa juga mengabaikan fakta sejarah dan kontroversinya di tahun 1965,” ujar Agus, Kamis, 17 April 2025 seperti dikutip dari laman Ugm.ac.id.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelumnya, kementerian Sosial akan tetap memproses usulan gelar pahlawan nasional untuk Presiden ke-2 RI, Soeharto. Menteri Sosial Saifullah Yusuf mengatakan kementeriannya akan bekerja berdasarkan mekanisme normatif, selama tidak ada aturan yang dilanggar.

“Kemensos tetap normatif. Kalau memang tidak ada yang dilanggar, kami harus memproses usulan itu dan menaikkannya ke Dewan Gelar,” kata Mensos Saifullah Yusuf atau akrab disapa Gus Ipul kepada Tempo, Rabu, 16 April 2025.

Sejarawan UGM Agus Suwignyo mengatakan berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Nomor 15 Tahun 2012 tentang Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional, seseorang yang diajukan untuk mendapat gelar tersebut harus memenuhi sejumlah persyaratan umum dan khusus. Beberapa syarat yang harus dipenuhi ialah berkontribusi secara nyata sebagai pemimpin atau pejuang, serta tidak pernah mengkhianati bangsa.

Agus menyebut bahwa Soeharto diakui memiliki peran besar ketika memperjuangkan kemerdekaan. Sepanjang meniti karir militer, Soeharto pernah bergabung dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 yang berhasil merebut Kota Yogyakarta dari cengkraman kolonial. 

Kemudian pada 1962, Soeharto naik menjadi Panglima Komando Mandala dalam operasi pembebasan Irian Barat. Peran penting Soeharto di berbagai pergerakan militer, kata Agus, membuktikan pengaruh kuat dalam kemerdekaan. 

“Cara pandang sejarah terhadap Soeharto ini tidak bisa hitam putih. Sebagai pahlawan nasional, tidak bisa mengabaikan fakta sejarah. Tapi tidak bisa juga mengabaikan kontribusinya dalam kemerdekaan,” ujar Agus.

Agus mengaku tidak ada masalah dari sisi kontribusi Soeharto pada kemerdekaan. Namun, kata dia, penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional akan memunculkan sudut pandang kritis, bagaimana seseorang yang pernah menjadi pemimpin dalam kejahatan HAM dan represi kebebasan pers diberi gelar pahlawan.

Agus menyarankan perlu adanya pengkhususan dan kategorisasi jika tetap memberikan gelar pahlawan nasional pada Soeharto. “Penulisan sejarah itu harus memperhatikan konteks, ya. Jadi semisal ada kategori pahlawan nasional dalam bidang tertentu, sehingga bisa diberikan gelar namun dalam konteks dan catatan,” kata dia.

Agus mengungkapkan kemungkinan seorang tokoh pergerakan juga memiliki catatan kelam semasa hidupnya yang berdampak hingga masa kini. Jika penetapan gelar diberikan konteks dalam bidang atau periode tertentu, pengakuan terhadap kontribusi dapat dilakukan tanpa mengabaikan fakta sejarah lainnya. Agus menyebut penulisan dan pengakuan sejarah perlu memperhatikan sudut pandang dan konteks yang akan mempengaruhi penilaian publik di masa kini dan masa depan terhadap sejarah nasional.

Kasus seperti ini juga pernah terjadi pada Syafruddin Prawiranegara, salah satu tokoh yang dianggap ekstrim ketika menentang sentralisasi kekuasaan di awal kemerdekaan. Agus menyebut, perannya dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) tahun 1958 membuatnya dicap sebagai pengkhianat padahal Syafruddin merupakan tokoh penting ketika pemerintah darurat dibentuk.

“Selain itu, kita belum (memberikan pengakuan) pada berbagai tokoh-tokoh di bidang seni, teknologi, dan pengetahuan. Saya kira perlu ada kajian mengenai pahlawan nasional di luar latar belakang militer,” kata Agus.

Gerakan Tolak Soeharto Pahlawan Nasional

Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto atau Gemas membuka petisi tolak pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto pada 8 April 2025.

Sekretaris Umum Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia atau IKOHI, Zaenal Muttaqien, mengatakan petisi ini dibuat karena mantan Presiden Soeharto tidak layak untuk diberikan kehormatan sebagai pahlawan nasional.

“Usulan gelar pahlawan untuk Soeharto sudah berkali-kali muncul setiap tahun. Sehingga kami bersama non-government organization, pembela hak asasi manusia, lembaga bantuan hukum dan lainnya selalu membuat petisi untuk menolaknya,” kata Sekretaris Umum IKOHI Zaenal Muttaqien saat dihubungi Tempo, Selasa, 15 April 2025.

Hingga 21 April 2025 pukul 07.00 WIB, petisi berjudul “Tolak Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto!” sudah ditandatngani oleh 3.870 orang di situs web Change.org.

“Kami menilai usulan tersebut merupakan upaya penghapusan sejarah dan pemutihan terhadap kejahatan yang telah dilakukan oleh Soeharto,” kata Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Jane Rosalina, kepada Tempo, 15 April 2025.

Jane meyakini usulan gelar pahlawan untuk Soeharto menguat setelah MPR telah mencabut nama Soeharto dari Pasal 4 Ketetapan (Tap) MPR Nomor 9 Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme pada September 2024. MPR mencabut nama Soeharto yang secara spesifik disebut pada Pasal 4. 


Dinda Shabrina turut berkontribusi pada penulisan artikel ini

Read Entire Article
Berita Nusantara Berita Informasi Informasi Berita Berita Indonesia Berita Nusantara online Berita Informasi online Informasi Berita online Berita Indonesia online