Saat ini banyak orang tua tanpa sadar terjebak dalam pola pengasuhan yang diam-diam menanamkan anak menjadi sosok narsistik. Oleh sebab itu, ada beberapa hal yang perlu ditanamkan orang tua sejak dini agar tidak terjebak demikian.
Sering kali antara kepercayaan diri dan narsisme memang sulit dibedakan. Anak yang terlalu sering dibanjiri pujian tanpa dasar, atau selalu dijadikan pusat perhatian tanpa diajarkan empati dan tanggung jawab sosial, berisiko tumbuh menjadi individu yang kurang peka terhadap orang lain.
Untuk mencegah hal ini, peran orang tua sangatlah penting, Bunda.
"Narsisme cenderung berkembang di lingkungan yang 'terlalu memanjakan'. Orang tua yang terlalu memanjakan anak hanya fokus pada pencapaian eksternal," kata Chelsey Cole, seorang psikoterapis, seperti dikutip dari USA Today.
Perbedaan antara narsistik pada anak dan NPD
Menurut psikolog klinis, Jeanette Raymond, PhD, hampir setiap orang memiliki aspek narsistik pada kepribadiannya. Ini membantu membangun harga diri.
Sementara itu, Narcissistic Personality Disorder atau NPD ketika seseorang memiliki cara terus-menerus untuk merasa terluka, dirugikan, dan menjadi korban. Mereka bahkan tidak dapat menoleransi keberhasilan orang lain.
"Namun, apa yang sering dicap sebagai narsisme pada anak-anak berbeda. Fokus pada diri sendiri, yang dikaitkan dengan narsisme dan NPD, sebenarnya merupakan bagian yang normal dan penting dari proses perkembangan anak-anak," kata terapis keluarga, Stephanie Macadaan, LMFT, seperti dikutip dari Parents.
Banyak anak-anak dan remaja mengalami fase-fase mementingkan diri sendiri, memiliki rasa percaya diri atau harga diri yang tinggi, dan dapat kurang berempati terhadap orang lain karena fokus untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Jenis narsisme ini cukup umum terjadi pada anak-anak, dan bukan merupakan tanda gangguan kepribadian di masa mendatang seperti NPD.
Untuk lebih memastikan apakah anak memiliki perilaku narsistik yang mengkhawatirkan, jangan ragu berkonsultasi dengan profesional seperti psikolog atau psikiater ya, Bunda.
Tanda-tanda narsisme yang mengkhawatirkan pada anak-anak
Meskipun beberapa sifat narsistik merupakan bagian normal dari perkembangan anak, tapi beberapa lainnya tidak. Ada beberapa perilaku narsistik pada anak-anak yang oleh para ahli dianggap tidak biasa, seperti:
- Mengontrol atau memonopoli percakapan
- Meremehkan orang lain
- Melebih-lebihkan keberhasilan mereka, sambil meremehkan pencapaian orang lain
- Kurang empati
- Sangat cepat marah ketika mereka tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan
- Menentang figur otoritas
Apa yang perlu dilakukan agar anak tidak tumbuh jadi narsistik?
Berikut beberapa hal yang sebaiknya diterapkan oleh orang tua, untuk memperkecil kemungkinan anak-anak memiliki karakter narsistik:
1. Menjadi teladan empati
Anak-anak belajar dari meniru orang tua. Jika orang tua berperilaku narsistik, besar kemungkinan anak-anak pun juga akan menirunya.
Empati harus dicontohkan orang tua dalam segala hal, terutama dalam setiap interaksi yang disaksikan anak. Penting juga untuk memberi contoh positif, termasuk bagaimana Bunda mengatasi kesulitan emosional sendiri.
2. Hargai proses perilaku anak
Jangan hanya menghargai anak dalam bentuk pencapaian semata. Tunjukkan kebanggaan yang sama saat mereka melakukan hal sederhana lainnya, seperti akur bermain adik.
Ini membuat anak belajar bahwa orang tua melihat setiap perilaku baik anak, bukan hanya hal besar saja. Pun demikian ketika anak berhasil melakukan sesuatu, orang tua perlu memberikan apresiasi pada 'prosesnya'.
"Daripada bilang 'Wah kamu paling hebat!', lebih baik bilang 'Keren ya kamu sudah usaha sejauh ini," ungkap psikolog Irma Gustiana A, HaiBunda sudah diizinkan untuk mengutip pendapatnya dari laman Instagram-nya, @ayankirma.
3. Ajarkan anak untuk memperhatikan perasaan orang lain
Hal ini tidak perlu dilakukan dalam percakapan formal. Lakukan dalam hal kecil seperti saat menonton film, belajar untuk menilai karakter yang ada.
Tujuannya adalah agar anak terbiasa berpikir tentang perasaan orang lain. Mereka akan menyadari bahwa orang lain bisa memiliki perspektif berbeda, serta memahami bahwa tindakan mereka dapat memengaruhi orang lain.
4. Dukung minat anak
Biarkan anak mengembangkan minat yang mereka sukai dan rayakan hal itu, sekecil apa pun. Sebagai contoh, anak mungkin tidak suka bermain komputer, tapi ia justru sangat suka membuat kue. Dukung dan rayakan minat tersebut sebisa mungkin.
Hal ini dapat membuat anak merasa dihargai dan dilihat, bukan sebagai target orang tua, tetapi sebagai diri mereka sendiri.
5. Berkomunikasi secara terbuka
Orang tua juga perlu mencontohkan cara mengelola kekecewaan. Meski tampak biasa, tapi ini adalah sesuatu yang sulit bagi orang yang narsistik.
Jadi, tidak apa-apa jika anak melihat Bunda menangis, selama ada penjelasan tentang mengapa ini terjadi dengan bahasa yang dimengerti oleh anak. Sampaikan bahwa kecewa dan sedih merupakan sesuatu yang normal, bahkan dapat dialami oleh orang dewasa.
"Waktu anak lagi sedih, bingung, atau takut, tunjukkan bahwa orang tua ada. Emosi mereka valid. Hadir secara emosional itu penting banget. Akui perasaannya, tapi ajari juga cara mengelolanya. Jangan langsung disalahkan atau diabaikan," imbuh Irma.
6. Luangkan waktu berkualitas bersama
Tak peduli seberapa sibuk pekerjaan, sempatkan waktu untuk bermain dan berinteraksi bersama anak. Lakukan setidaknya 15–20 menit sehari, atau bisa juga dengan membangun kebiasaan duduk bersama untuk makan malam keluarga.
Ini bisa memberikan dampak besar bagi rasa kehangatan yang dimiliki seorang anak, terutama rasa aman dan kenyamanan.
"Bangun koneksi lewat percakapan dua arah. Anak yang didengar, cenderung nggak merasa harus cari perhatian buat diperhatikan," pesan Irma.
7. Terima kesalahan anak
Mengejar kesempurnaan dan prestasi memang baik, tetapi menjadi perfeksionis hingga malu karena kesalahan bukanlah hal yang sehat.
Tunjukkan pada anak bahwa kesalahan dan kegagalan adalah bagian dari hidup. Lalu ajari mereka bagaimana menjadikan kesalahan sebagai sebuah pelajaran.
Seorang anak yang bisa menerima kesalahan, lalu berusaha memperbaiki atau belajar darinya, akan tumbuh menjadi pribadi yang matang. Diharapkan mereka mampu menghadapi tantangan hidup tanpa terus-menerus menyalahkan diri sendiri.
8. Biarkan anak merasakan konsekuensi
Jangan selalu 'menyelamatkan' anak setiap kali ia merasa tidak bahagia atau menghadapi akibat dari tindakannya sendiri.
Misalnya, jika Bunda selama ini selalu datang ke sekolah untuk meminta guru memberinya nilai tambahan karena ia mendapat nilai buruk akibat tidak mengerjakan PR atau belajar, maka Bunda tidak sedang benar-benar menolongnya.
Lebih baik awasi dan dampingi anak saat mengerjakan tugas dan belajar, hingga ia menunjukkan kemandirian. Setelah itu, Bunda bisa mulai melepas mereka sedikit demi sedikit.
Jika Bunda terus turun tangan dan memberinya jalan keluar, Bunda secara tidak langsung menyampaikan bahwa mereka bisa mendapat perlakuan istimewa.
9. Pertimbangkan dinamika dalam keluarga
Akar dari narsisme sering kali berasal dari lingkungan terdekat, dalam hal ini seperti orang tua dan keluarga.
Oleh karena itu, penting juga untuk meninjau kebiasaan dalam keluarga yang mungkin menciptakan rasa narsistik dalam diri anak.
Demikian ulasan tentang hal-hal yang perlu dilakukan orang tua agar anak tidak tumbuh jadi narsistik. Terapkan secara bertahap sejak dini, demi pembentukan karakter anak yang lebih positif di kemudian hari. Semoga bermanfaat ya, Bunda.
Bagi Bunda yang mau sharing soal parenting dan bisa dapat banyak giveaway, yuk join komunitas HaiBunda Squad. Daftar klik di SINI. Gratis!
(rap/rap)