TEMPO.CO, Surabaya - Ketua Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul membantah bahwa ia tidak cocok bila Megawati Soekarnoputri kembali memimpin partai pada Kongres VI 2025. Menurut Bambang isu itu hanya omong kosong, sebuah logika yang tidak terkonfirmasi kebenarannya.
“Saya pastikan Megawati Soekarnoputri bukan sekedar ketua umum, beliau sudah menjadi ibu buat kita semua. Mau menghancurkan PDIP? Mohon izin, di sana banyak sekali lone wolf. Pacul siap jadi lone wolf-nya,” kata Bambang Pacul saat menjadi pembicara kegiatan ‘Seminar HUT PDI Perjuangan, Refleksi 52 Tahun PDI Perjuangan: Perjalanan Panjang Serta Berliku Merawat dan Mengawal Demokrasi’ di Hotel Mercure Grand Mirama, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu, 11 Januari 2025.
Seminar yang digelar oleh Dewan Pimpinan Daerah PDI Perjuangan Jawa Timur itu juga menghadirkan pembicara pengamat politik Ikrar Nusa Bhakti dan Adi Prayitno. Sekitar 200 orang kader dan simpatisan PDIP hadir dalam seminar tersebut.
Bambang kembali menegaskan bahwa Megawati sudah merupakan ibu dari semua kader PDIP. Sehingga mengganggu Megawati, kata dia, akan bertempur dengan semua kader partai. “Bambang Pacul siap menjadi barisan terdepan. Cocok? Clear? Ini supaya kau paham,” kata dia.
Sementara itu Ikrar Nusa Bhakti menilai tak berlebihan bila seluruh kader struktural PDIP masih menginginkan Megawati sebagai ketua umum partai dalam kongres nanti. Sejauh ini, kata Ikrar, pendirian Megawati terhadap masalah kebangsaan tetap kukuh. “Jika Megawati jadi Ketua Umum PDIP, konstitusi kita bisa bertahan, PDIP bisa bertahan,” kata Ikrar.
Ikrar mengkilas balik perjalanan PDIP. Menurutnya sejak masih bernama Partai Nasional Indonesia (PNI), PDIP tak pernah sepi dari gangguan maupun intervensi dari luar. Ikrar mencontohkan saat PNI dipimpin Hadi Supeno digempur habis oleh Soeharto di awal-awal rezim berkuasa. Namun gempuran itu justru melahirkan Isnaeni yang akhirnya memimpin PDI pertama kalinya.
Ketika Soerjadi giliran tampil memimpin PDIP, Ikrar melihat dia melakukan langkah politik brilian dengan mengajak Megawati dan Guruh Soekarnoputra masuk partai. Terbukti setelah Megawati masuk, perolehan suara PDI meningkat drastis. Pada 1992 suara PDI bahnya hampir menyusul Golkar. “Rezim tidak nyaman dengan kondisi tersebut, lalu diciptakanlah politik adu domba Soerjadi dan Megawati,” kata Ikrar.
Setelah berusia 52 tahun, kata Ikrar, PDIP diharapkan makin dekat kepada rakyat kecil. Sebab hanya itulah modal yang dapat membuat partai banteng moncong putih itu tetap besar. Ikrar melihat tantangan kebendaan berupa uang, ke depan makin kuat ditawarkan oleh partai-partai kaya. “PDIP harus meregenerasi kader agar partai ini tetap eksis,” kata dia.
Ikrar menyarankan PDIP menjadi oposisi loyal pada pemerintahan Prabowo. Partai bisa mendukung Prabowo namun tidak bergabung ke dalam pemeritahannya. Ikrar menilai dalam pemerintahan saat ini legitimasi kuat hanya pada Prabowo. “Sedangkan pada Gibran saya melihat sebaliknya. Di tengah masyarakat pun legitimasi Gibran lemah,” kata Ikrar.
Berbicara sebelum Bambang Pacul, pengamat politik Adi Prayitno mengatakan bahwa hubungan PDIP dengan mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sampai saat ini masih buruk. Dari pandangan Adi, memburuknya hubungan itu sama-sama merugikan dua belah pihak. Ia mencontohkan ketika Ganjar Pranowo diusung menjadi calon presiden PDIP pada 2024, elektabilitasnya pernah tercatat paling tinggi di antara calon lainnya.
Namun di saat kemesaraan PDIP-Jokowi berakhir, perlahan-lahan elektabilitas Ganjar menurun. “Diakui atau tidak figur kunci PDIP saat itu adalah Sukarno, Megawati, dan Jokowi,” kata dia.
Pekerjaan Rumah PDIP ke depan, menurut Adi, ialah mencari figur kuat sebagai suksesor Jokowi. Menurut Adi, dengan semua sumber daya yang ada, wajib hukumnya bagi PDIP mengusung kader sendiri dalam pemilu presiden 2029. Bisa juga Puan Maharani yang dimunculkan, atau sejumlah gubernur dari kader PDIP. “Haram mengusung kader naturalisasi,” ujar dia.
Adi menambahan, per hari ini wajah politik PDIP bak terbelah dua, yakni kaku dan lunak. Sikap kaku, agresif dan ofensif tercermin pada Sekretaris Jenderal Hasto Kristianto dan beberapa kader lain. Adapun wajah lunak antara lain terlihat pada Puan Maharni, Said Abdullah dan Bambang Pacul. “Tidak terkonfirmasi sikap kaku pada bertambahnya perolehan elektoral,” kata Adi.
Bambang Pacul berujar dalam bersikap politik Bung Karno telah mengajarkan agar luwes saat bergaul dan berkomunikasi, tetapi teguh dalam berprinsip. Prinsip di sini, kata Bambang, mengacu pada ideologi sebagai ruh perjuangan. “Ideologi ini bak api dalam perjuangan. Begitu, Bos,” kata dia.
Pilihan Editor: Megawati Bicara Ujian Jelang Kongres VI, Singgung Ada yang Ingin Jadi Ketum PDIP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini