INFO NASIONAL - Pesantren yang selama ini dikenal sebagai benteng pendidikan moral dan agama, ternyata tidak lepas dari kasus kekerasan berbasis gender dan seksual (KBGS). Tidak sedikit kasus KBGS terbungkam di pesantren. Banyak kasus kekerasan tidak dilaporkan atau berakhir tanpa keadilan bagi korban. Di beberapa pesantren, bahkan, menjaga nama baik pesantren lebih diutamakan daripada keselamatan dan pemulihan korban.
Kementerian Agama RI mengungkapkan bahwa dalam tiga tahun terakhir, sedikitnya 30 kasus kekerasan seksual terjadi di lembaga pendidikan Islam. Sebagian besar di antaranya terjadi di pesantren yang belum memiliki sistem perlindungan yang memadai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus-kasus yang masih kerap terjadi di lingkungan pesantren ini membuktikan bahwa sistem perlindungan yang lebih kuat, keberanian untuk bersuara, tafsir keagamaan yang berperspektif keadilan gender, serta upaya mengatasi relasi kuasa yang timpang sangat dibutuhkan agar seluruh santri, baik perempuan maupun laki-laki, dapat merasa aman dan terlindungi dari kekerasan di lingkungan pesantren.
UPM dan Tafsir Agama yang Membebaskan
Ulama Perempuan Muda (UPM) pun hadir sebagai kekuatan baru yang menjembatani agama dan keadilan gender. Mereka merupakan para perempuan muda yang memiliki otoritas keagamaan sekaligus kepedulian pada isu kekerasan terhadap perempuan. Dengan pendekatan tafsir Al-Quran dan Hadis yang berpihak pada korban, UPM menantang narasi lama yang selama ini kerap dijadikan pembenaran atas kekerasan.
“Islam mengajarkan perlindungan, keadilan, dan penghormatan atas martabat manusia. Itu yang kami bawa ke ruang-ruang pengajian dan majelis taklim,” ujar salah satu ustadzah di pesantren sekaligus anggota UPM dari Garut, Ai Nur Maulidah.
Salah seorang UPM muda lainnya, Sarifah, menjelaskan tantangan paling mendasar justru berasal dari cara pandang lama terhadap kitab suci. Sehingga, pendekatan SOP penanganan KBGS pun harus menyesuaikan dengan nilai-nilai keagamaan setempat.
“Seringkali yang keliru itu tafsirannya. Agama tidak pernah melegitimasi kekerasan, tapi tafsir bias gender membuat kekerasan dianggap wajar,” ujarnya. “Kalau cuma bilang ini melanggar UU, tidak cukup. Harus dengan dalil, hadis, dan kitab salaf yang mereka yakini,” tambahnya.
Di sisi lain, anggota UPM di Pondok Pesantren Ar-Risalah di Ciamis, An An Aminah menjadi pelopor pengenalan kelas gender dan Islam sebagai salah satu upaya memperkuat pemahaman para santri tentang keadilan gender dari perspektif Islam.
Anggota Ulama Perempuan Muda (UPM), Ai Nur Maulidah dalam pengenalan kelas gender dan Islam sebagai salah satu upaya memperkuat pemahaman para santri tentang keadilan gender dari perspektif Islam. Dok. YGSI
Ia menjelaskan, kelas ini membongkar narasi-narasi tradisional yang membatasi peran perempuan, dan mempromosikan pandangan Islam yang lebih setara dan adil terhadap relasi gender. Melalui dakwah, diskusi keagamaan, hingga pelatihan di internal pesantren, Aminah mengatakan, UPM mulai membuka ruang kesadaran baru dengan menyoroti ayat-ayat yang menentang segala bentuk kekerasan dan menekankan hak atas keselamatan sebagai bagian dari ajaran Islam.
Dalam hal penanganan kekerasan berbasis gender dan seksual di lingkungan Pesantren, UPM bekerja sama dengan RAHIMA, sebuah organisasi Islam yang fokus pada keadilan gender dengan dukungan pendanaan dari Program Gen G. Direktur RAHIMA, Pera Sopariyanti mengatakan, pihaknya melihat bahwa UPM dapat menjadi kunci dalam membangun narasi keagamaan yang lebih adil gender.
“Kami mempersiapkan mereka menghadapi tantangan besar, terutama di lingkungan sosial dan media yang masih sangat konservatif. Dengan pendidikan keulamaan, baik dari sisi metodologi kajian islam, analisis gender dan sosial, mereka para UPM mampu membawa perubahan nyata di komunitas atau di ruang khidmahtnya yang beragam,” katanya.
Inisiatif Penerapan SOP Penanganan KBGS di Pesantren
Sebagai salah satu mitra kerja strategis Yayasan Gemilang Sehat Indonesia (YGSI), RAHIMA menggandeng UPM untuk mulai menginisiasi penyusunan dan penerapan SOP penanganan KBGS di sejumlah pesantren di Indramayu, Kuningan, Cirebon, Ciamis, Tasikmalaya, dan Garut.
SOP ini mencakup mekanisme pencegahan, penanganan dan pemulihan bagi korban yang aman dan rahasia, termasuk mekanisme monitoring yang dilakukan. Tim penanganan kasus terdiri dari ustadzah, pengurus pesantren, dan konselor, protokol pendampingan korban dan penyuluhan dan sosialisasi berkala di lingkungan pesantren.
Yayasan Gemilang Sehat Indonesia (YGSI) menggandeng UPM menginisiasi penyusunan dan penerapan SOP penanganan KBGS di sejumlah pesantren. Dok. YGSI
Beberapa pesantren yang menjadi mitra program bahkan telah menyematkan SOP ini dalam aturan internal lembaga secara resmi. Hal ini menunjukkan komitmen kelembagaan terhadap perlindungan santri. Dengan adanya panduan penanganan kekerasan, pengurus pesantren menjadi lebih tahu bagaimana cara menangani kasus KBGS.
Tantangan Keberlanjutan Penanganan Kasus Kekerasan di Pesantren
Salah satu tantangan besar yang dihadapi adalah menjaga keberlanjutan inisiatif ini setelah dukungan pendanaan dari program Gen G berakhir. Direktur YGSI, Ely Sawitri berharap sistem perlindungan yang telah dibangun dapat terus berjalan tanpa hambatan, dan menjadi bagian dari kebijakan sistemik yang diterapkan oleh semua pihak, terutama pemerintah. Menurutnya, hal ini penting untuk memastikan pesantren tetap menjadi tempat yang aman bagi seluruh santri, terutama santri perempuan, agar mereka dapat belajar dan berkembang tanpa rasa takut.
"Kami berharap upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di pesantren tidak terhenti begitu saja. Dengan peran aktif Ulama Perempuan Muda dan penerapan SOP, kami ingin perlindungan ini terus berlanjut dengan dukungan semua pihak, termasuk pemerintah, sehingga menjadi kebijakan yang tak tergoyahkan," ujar Ely.
Waktunya Negara Hadir: Santri Perlu Perlindungan Sistemik
Gerakan UPM dan mitra masyarakat sipil seperti YGSI dan RAHIMA jelas menunjukkan bahwa transformasi perlindungan di pesantren sangat mungkin dilakukan asal ada kemauan dan dukungan yang cukup. Namun, perubahan tidak bisa hanya dibebankan kepada aktor-aktor akar rumput seperti UPM dan organisasi masyarakat sipil.
Negara memiliki tanggung jawab konstitusional untuk melindungi seluruh warga negaranya, termasuk para santri yang tinggal dan belajar di pesantren. Untuk itu, Ely mendorong pemerintah khususnya Kementerian Agama, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk segera mengambil langkah konkret seperti menyusun dan menerapkan regulasi mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan di seluruh lembaga pendidikan berbasis agama, termasuk pesantren.
Para santri yang tinggal dan belajar di pesantren. Dok. YGSI
Menurutnya, pemerintah juga perlu memastikan tersedianya sistem pelaporan dan pengaduan yang aman, mudah diakses, serta melindungi korban dari potensi re-viktimisasi. Selain itu, penting untuk memberikan pelatihan menyeluruh kepada para pengasuh pesantren dan tenaga pendidik berbasis agama mengenai pencegahan dan penanganan KBGS.
Tak kalah penting, negara juga harus memberikan dukungan penuh terhadap keberadaan dan peran UPM serta organisasi masyarakat sipil yang telah terbukti mampu mendorong perubahan positif dari dalam komunitas.
Tanpa dukungan negara, upaya perlindungan di pesantren hanya akan bertumpu pada inisiatif sporadis, dan itu tidak cukup untuk mengatasi persoalan yang sudah bersifat sistemik. Di tengah meningkatnya angka kekerasan di satuan pendidikan, negara harus bergerak lebih cepat, lebih konkret, dan lebih berpihak pada korban. (*)