INFO NASIONAL - Anggota Komisi III DPR RI, Martin Daniel Tumbelaka, mengecam keras insiden pengeroyokan terhadap seorang perempuan berinisial RP (31), oleh kelompok debt collector atau penagih utang, di depan kantor Polsek Bukit Raya, Kota Pekanbaru, pada Sabtu, 19 April 2025. Menurutnya, hal itu menjadi bentuk nyata premanisme berkedok penagihan utang yang mencederai rasa keadilan dan keamanan masyarakat.
“Ini bukan sekadar pelanggaran pidana biasa. Kasus ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan ketidaktegasan dalam menertibkan praktik debt collector yang melanggar hukum,” ujarnya, di Jakarta, Rabu, 23 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Martin menilai, insiden yang terjadi di depan kantor polisi dengan melibatkan 11 pelaku itu menjadi bukti bahwa negara belum hadir secara maksimal dalam menjamin keamanan rakyat.
Ia pun mendesak agar tindakan hukum diberikan secara maksimal terhadap para pelaku, termasuk penerapan pasal penganiayaan dan perusakan. “Tidak cukup dengan mediasi atau peringatan. Pelaku harus dijerat pidana dan dihukum setimpal,” ujar Politisi Fraksi Partai Gerindra itu.
Selain penegakan hukum, Martin juga mendorong pembentukan regulasi tegas yang melarang kekerasan dan penahanan barang pribadi dalam praktik penagihan. Ia menyarankan agar Kementerian Hukum dan HAM bersama OJK dan kepolisian menyusun protokol khusus yang mengatur sanksi terhadap perusahaan pembiayaan yang bekerja sama dengan debt collector ilegal.
“Perlu ada aturan yang rinci dalam bentuk peraturan menteri atau bahkan peraturan pemerintah agar tidak ada celah hukum bagi kekerasan dalam proses penagihan,” ujarnya.
Martin juga menekankan pentingnya perlindungan terhadap korban dan pelapor. Ia meminta agar negara tidak membiarkan ancaman atau intimidasi dari pihak pelaku. “Rakyat harus merasa aman. Jangan sampai rakyat kehilangan kepercayaan terhadap hukum karena merasa tak mendapat perlindungan,” katanya.
Ia pun mendesak Polri sebagai institusi penegak hukum agar meningkatkan respons cepat dan memperkuat kehadiran dalam menangani kekerasan publik, apalagi jika terjadi di sekitar kantor kepolisian. “Kasus ini harus menjadi momentum mempertegas bahwa hukum adalah pelindung rakyat, bukan alat intimidasi.” (*)