TEMPO.CO, Yogyakarta - Mahasiswa Indonesia di Melbourne, Australia menggelar demonstrasi “Indonesia Gelap” sebagai bentuk protes terhadap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka pada Sabtu, 1 Maret 2025.
Pilihan editor: Menu Makan Bergizi Gratis Bisa Dibawa Pulang Selama Ramadan
Unjuk rasa bertajuk Melbourne Bergerak berlangsung di State Library of Victoria atau perpustakaan negara bagian Victoria pada pukul 15.00-17.00 waktu setempat. Salah satu penggerak demonstrasi, Ulya Niami Jamson, mengatakan protes itu fokus untuk memperjuangkan demokrasi, melawan militerisme, dan menuntut kesejahteraan di Indonesia.
Kandidat PhD dari The University of Melbourne itu mengatakan selama 100 hari kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, menunjukkan bayangan gelap otoritarianisme ala Orde Baru yang semakin pekat. “Reformasi dan demokrasi rakyat Indonesia yang diraih dengan darah dan air mata terancam kembali terkubur di bawah gaya kepemimpinan militeristik, maskulin, dan paternalistik Prabowo,” kata Pipin, sapaan akrab Ulya Niami Jamson kepada Tempo melalui pesan WhatsApp pada Sabtu, 1 Maret 2025.
Unjuk rasa Indonesia Gelap menurut dia, bukan sekadar slogan, melainkan bentuk perlawanan. Pipin menjelaskan demonstran merumuskan sejumlah kajian dan poin penting dalam protes tersebut. Mereka melihat pemerintahan Prabowo berusaha menghidupkan kembali Orde Baru Soeharto. Selain itu, terjadi penggelembungan struktur kabinet dan penempatan orang-orang dekat Prabowo di jabatan strategis kementerian, lembaga, badan baru, dan staf khusus sebagai bentuk nepotisme yang membuka lebar pintu kolusi kepentingan politik-bisnis dan korupsi.
Prabowo menunjukkan secara gamblang bagaimana oligarki bekerja, yaitu melalui konsolidasi dan dominasi kekuasaan, manipulasi sistem, dan penguasaan sumber daya. Situasi itu terlihat dari Koalisi Indonesia Maju yang memenangkan pemilihan gubernur pada 26 provinsi, menurut sejumlah pemberitaan media massa.
Masalah lainnya adalah pelemahan lembaga yudikatif dengan dalih memperbaiki taraf hidup hakim yang menciptakan sistem peradilan yang tunduk pada kekuasaan dan tidak independen. Pada 20 Februari 2025, Prabowo mengundang para hakim ke Istana Negara setelah sehari sebelumnya Prabowo menghadiri acara laporan tahunan Mahkamah Agung. “Kontrol atas DPR dan KPK telah mencederai prinsip checks and balances yang membuat hukum tak lagi menjadi alat keadilan, tetapi senjata untuk membungkam lawan politik,” ujar Pipin.
Kekuasaan yudikatif atau peradilan yang dijamin independensinya dalam konstitusi UUD 1945. Namun, Prabowo telah mengintervensi independensi peradilan melalui pengarahan presiden kepada para hakim. Dalam sistem ketatanegaraan, presiden tidak berwenang melakukan pengarahan kepada para hakim.
Hakim merupakan personifikasi kekuasaan kehakiman yang independen, imparsial, dan bekerja untuk menyeimbangkan penyalahgunaan wewenang oleh penguasa dengan prinsip-prinsip negara hukum.
Hakim juga bukan alat pemerintah atau alat penguasa. Namun, pengarahan yang dilakukan Prabowo di Istana Negara menunjukkan bahwa pemerintah seakan-akan melihat hakim dan peradilan sebagai alat penguasa yang akan mendukung semua kebijakan pemerintah.
Di sisi lain, pihak peradilan juga harus menjaga martabat sebagai hakim yang independen dan imparsial. Demokrasi Indonesia, ujar dia, juga sedang dalam ancaman besar. Tiga cabang kekuasaan negara berdasarkan konsep Trias Politica diintervensi dan dilemahkan oleh pemerintahan Prabowo.
Pemerintah Prabowo seakan-akan punya tujuan, yakni perlahan-lahan menghilangkan checks and balances antara tiga cabang kekuasaan tersebut.
Upaya pelemahan legislatif juga terlihat dari pembentukan Koalisi Indonesia Maju. Koalisi gemuk tanpa kehadiran oposisi yang kuat akan cenderung menyalahgunakan kekuasaan karena lemahnya pengawasan dari Dewan Perwakilan Rakyat selaku legislatif. Situasi itu tergambar dari kebijakan asal-asalan yang bersifat “trial and error”, misalnya kebijakan larangan penjualan gas Liquefied Petroleum gas atau elpiji 3 kg di pengecer yang menyengsarakan rakyat. Masalahnya DPR tidak banyak merespons dan mengawasi.
Selain itu, pembentukan Kabinet Merah Putih yang berisi lebih dari 110 menteri, wakil menteri dan pejabat setingkat menteri. Kabinet gemuk ini juga dibentuk dalam upaya melanggengkan oligarki dan menjalankan kebijakan-kebijakan tanpa basis ilmiah yang hanya menguntungkan pihak mendukung Prabowo-Gibran dalam pemilihan presiden 2024.
Pembentukan koalisi dan kabinet gemuk penuh konflik kepentingan di mana banyak pejabat dalam pemerintahan yang rangkap jabatan dan menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.
Di tengah banyaknya proyek strategis nasional yang diperkarakan ke pengadilan dan kebijakan yang “trial and error”, peran pengadilan sangat penting dalam melakukan checks and balances kepada bukan hanya ke pemerintah, tapi juga ke DPR.
Demonstran juga menyoroti kebebasan pers sebagai pilar keempat demokrasi yang kini berada di ambang kehancuran. Contohnya pertemuan Prabowo dengan para pimpinan redaksi media massa di tengah eskalasi aksi Indonesia Gelap.
Persoalan lain yaitu kebebasan berekspresi dan berpendapat warga negara melalui saluran-saluran alternatif semakin sempit dan berisiko pada kriminalisasi. Sensor media semakin masif melalui perluasan fungsi pengawasan perangkat pemerintah dan aparat yang mempermudah pembungkaman suara-suara kritis, melalui seni, komentar di media sosial, atau percakapan sehari-hari.
Pemerintah terus aktif memanipulasi, mendistorsi, dan meredam narasi-narasi publik, misalnya melalui pembajakan tagar Indonesia Terang oleh influencer maupun buzzer yang menggunakan uang rakyat. Kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengawasan penyelenggaran negara juga dibredel melalui program dan kebijakan yang minim partisipasi publik dan tidak bisa diawasi. Program itu tidak akuntabel dan membuka ruang untuk terciptanya korupsi yang masif.
Gaya kepemimpinan Prabowo yang militeristik menjadi ancaman nyata bagi kehidupan sipil. Pertama, Prabowo mengabaikan tuntutan reformasi untuk menghapus dwifungsi Tentara Nasional Indonesia. Malahan, ia mengembalikan dwifungsi TNI melalui pemilihan personel aktif militer dalam kabinet dan sektor-sektor sipil lain.
Selain itu Prabowo juga berniat menambah jumlah komando daerah militer dan komando resort militer. Ini adalah alarm bagi Indonesia dengan pola represi di masa lalu, di mana militer berkuasa penuh atas kehidupan politik dan sosial rakyat Indonesia.
Maskulinitas dan paternalismenya itu, kata Pipin berpotensi meminggirkan kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak.
Masuknya kembali Rancangan Undang-Undang TNI/Polri dalam program legslasi nasional menunjukkan langkah konkret pemerintahan Prabowo untuk mempertebal kekuasaan aparat dalam ruang-ruang sipil yang berpotensi menimbulkan benturan kepentingan.
Militerisme juga terlihat pada program seperti retret pimpinan eksekutif dan kepala daerah ke pusat pendidikan dan pelatihan militer dan program Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI). Tentara juga terlibat dalam program Makan Bergizi Gratis.
Berbagai program dan kebijakan pemerintahan Prabowo menggunakan semangat militeristik secara top-down, diktatif, dan antikritik. Program-program itu lahir tanpa kajian yang komprehensif seperti Makan Bergizi Gratis, kebijakan gas melon, Danantara, dan pemotongan anggaran yang hanya menguntungkan kroni-kroni oligarki dan relasi Prabowo.
Kontradiktif dengan pengetatan anggaran yang banyak berdampak pada pelayanan masyarakat rentan, Prabowo justru menghambur-hamburkan uang negara dengan melantik pejabat-pejabat problematik tanpa kapabilitas dan rekam jejak yang mumpuni, bergaya hidup mewah, dan mendapatkan insentif dalam setiap kunjungannya ke luar negeri.
Kritik, masukan, dan aspirasi yang disuarakan warga tidak hanya diabaikan tapi juga direpresi dan dipersekusi; seperti yang terjadi pada kawan-kawan seniman Sukatani dan pembredelan lukisan Yos Suprapto. Kekerasan dan pengerahan aparat militer menjadi jurus jitu untuk membungkam suara-suara kritis, termasuk lewat serangan digital.
Di bawah pemerintahan militeristik, kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia menjadi hal yang lumrah. Di tengah kemegahan kabinet "Merah Putih" yang terdiri dari ratusan menteri, wakil menteri dan staf khusus terjadi pemotongan anggaran. Ini berdampak pada berkurangnya anggaran pendidikan dan anggaran kesejahteraan umum, termasuk untuk kelompok disabilitas, perempuan, dan anak. Dampaknya, layanan perlindungan terhadap kelompok rentan tidak bisa berfungsi dengan maksimal.
Pipin mencontohkan anggaran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Komnas Perempuan, Komnas Disabilitas Nasional (KDN), dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dipangkas. Padahal, sepanjang Tahun 2024, data menunjukkan sebanyak 7,6 juta anak mengalami kekerasan dan 290 perempuan serta anak perempuan menjadi korban femisida. Anggaran untuk kelompok difabel dipangkas hingga 90 persen akan berimbas pada advokasi dan pemenuhan hak 22 juta orang dengan disabilitas di Indonesia.
Akademisi, kata dia, juga dipaksa bekerjasama dengan Badan Usama Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah untuk mengelola tambang, membuat kampus kehilangan kekritisannya dalam isu lingkungan. Di sisi lain, proyek-proyek ekstraktif seperti food estate di Merauke, deforestasi, dan pengelolaan tambang justru memperburuk kehidupan masyarakat rentan dan merampas ruang hidup masyarakat adat. Situasi itu makin parah karena RUU Masyarakat Adat, sementara UU Minerba tidak segera disahkan.
Pemerintah Prabowo terlihat lebih mengutamakan kepentingan oligarki ketimbang kesejahteraan rakyat. Good governance, kata dia hanya sekadar jargon, tanpa riset mendalam, dan kebijakan dibuat secara asal-asalan dan tidak tepat sasaran. “Alih-alih meningkatkan taraf hidup, yang terjadi justru menunjukkan semakin dalamnya jurang ketimpangan sosial dan ekonomi,” kata Pipin.
Pilihan editor: BGN Tegaskan Pemda Tidak Wajib Kucurkan APBD untuk Makan Bergizi Gratis