Selular.ID – Rantai pasokan Apple yang luas, dari pabrik-pabrik di China hingga toko-toko ritel global, menghadapi ketidakpastian yang belum pernah terjadi sebelumnya imbas perang dagang AS – China yang semakin memanas.
Meskipun konsumen China tidak terburu-buru ke toko-toko Apple untuk membeli iPhone karena khawatir akan kenaikan harga – sebagian besar iPhone tidak dikenakan tarif balasan sebesar 84 persen dari Beijing untuk barang-barang AS – ada tanda-tanda meningkatnya kekhawatiran tentang gangguan pasokan dan kenaikan biaya secara umum.
Seorang pakar rantai pasokan yang dekat dengan pemasok Apple di China, mengatakan bahwa harga untuk model-model iPhone yang ada yang dijual di negara tersebut tidak mungkin berubah.
Namun, seri iPhone 17 yang diperkirakan meluncur pada September mendatang, dapat mengalami kenaikan harga sebagai bagian dari penyesuaian global.
Di sisi lain, terdapat peningkatan jumlah pertanyaan pelanggan tentang kenaikan harga di toko utama Apple di kawasan perbelanjaan Sanlitun, Beijing.
Apple belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait kekhawatiran tentang dampak tarif baru AS dan China, yang mulai berlaku mulai pekan lalu.
Untuk saat ini, harga seri iPhone 16, termasuk iPhone 16e yang baru saja diluncurkan, tetap tidak berubah di seluruh platform e-commerce utama seperti pasar Taobao dan Tmall milik Alibaba Group Holding dan JD.com, serta situs web Apple di China.
Baca Juga: Bank of America: Apple Sulit Bangun Pabrik di AS
Meski menghadapi ketidakpastian imbas kebijakan tarif Presiden Donald Trump, sejauh ini China tetap menjadi pasar luar negeri terbesar Apple.
Negara itu juga merupakan pusat perakitan utama perusahaan untuk iPhone dan banyak perangkat lainnya.
Namun keputusan Trump untuk mengenakan tarif tambahan pada China, menaikkannya hingga 145 persen, telah memaksa Apple untuk mengambil tindakan drastis guna mengatasi gangguan pada rantai pasokannya.
Reuters melaporkan bahwa Apple menyewa penerbangan kargo untuk mengangkut 600 ton iPhone – sebanyak 1,5 juta unit – ke AS dari India, untuk membawanya ke negara tersebut sebelum tarif baru berlaku.
Lembaga riset pasar terkemuka, Counterpoint, juga memperkirakan kenaikan harga yang tajam untuk model iPhone mendatang.
Huatai Securities China memperkirakan bahwa tarif Trump dapat menambah hingga US$240 pada harga setiap iPhone yang dijual di AS. Kenaikan harga yang drastis, membuat iPhone akan menjadi barang mewah di pasar negara itu.
Jika biaya penuh dibebankan kepada konsumen, hal itu dapat menaikkan harga eceran Amerika Utara hingga 24 persen, tulis analis di perusahaan jasa keuangan tersebut dalam sebuah catatan kepada klien minggu lalu.
Sementara itu, Luxshare Precision Industry, pemasok utama Apple, membantah laporan bahwa pihaknya berencana untuk membangun fasilitas manufaktur di AS, di tengah upaya China berupaya mencegah penataan ulang rantai pasokan.
Baca Juga: Boncosnya Apple: Saham Jatuh Lebih Dari 20%, Disalip Microsoft Sebagai Perusahaan Paling Berharga
Apple Masih Bergantung Pada China
Rantai pasokan Apple sering dianggap sebagai salah satu sistem paling canggih dan efisien dalam manufaktur global.
Raksasa teknologi yang berbasis di Cupertino – California itu, sangat bergantung pada produsen China untuk merakit dan memproduksi produk unggulan, seperti iPhone, iPad, dan MacBook.
Namun, ketergantungan ini telah menempatkan Apple di pusat ketegangan geopolitik dan perdagangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok.
Selama lebih dari dua dekade, China memainkan peran yang tak tertandingi dalam rantai pasokan Apple, dengan sebagian besar produknya dirakit dan dikirim dari kawasan tersebut.
Ketergantungan ini berasal dari tenaga kerja terampil yang dimiliki China, ekosistem manufaktur yang maju, dan efisiensi biaya yang sulit ditiru di tempat lain.
Mitra manufaktur utama Apple, termasuk Foxconn dan Pegatron, juga telah membangun rantai pasokan Apple yang sering dianggap sebagai salah satu sistem paling canggih dan efisien dalam manufaktur global.
Perusahaan sangat bergantung pada produsen China untuk merakit dan memproduksi produk unggulan, seperti iPhone, iPad, dan MacBook. Fasilitas besar di kota-kota seperti Zhengzhou dan Shenzhen—sering disebut ‘Kota iPhone’.
Pusat-pusat ini mempekerjakan ratusan ribu pekerja yang mampu memproduksi jutaan perangkat dalam rentang waktu yang singkat, skala yang tak tertandingi oleh negara-negara lain.
Di luar perakitan, pemasok China menyumbangkan komponen penting dan bahan baku, yang memperdalam ketergantungan Apple pada kawasan tersebut.
Baca Juga: Apple Dikabarkan Fokus Produksi di Brasil, Imbas Tarif Impor AS
Namun, hubungan simbiosis ini semakin menjadi pedang bermata dua. Kini mencapai puncaknya saat Presiden Donald Trump, menghukum China dengan tarif impor gila-gilaan.
Perang dagang yang dimulai selama masa kepresidenan pertama Donald Trump menimbulkan tarif dan pembatasan yang berdampak langsung pada industri teknologi.
Meskipun Apple berhasil mengatasi tantangan tersebut dengan relatif aman, ancaman tarif baru yang membayangi di bawah pemerintahan Trump kedua telah memicu kembali kekhawatiran.
Tarif ini dapat meningkatkan biaya produksi, yang berpotensi memaksa Apple untuk menaikkan harga atau menanggung dampak finansial, sehingga mengurangi margin keuntungan.
Di sisi lain, meningkatnya persaingan dari merek domestik China seperti Huawei semakin memperumit posisi Apple.
Kebangkitan Huawei, khususnya dengan ponsel pintar baru yang dilengkapi chipset domestik canggih, menggarisbawahi meningkatnya kecanggihan para pesaingnya itu.
Kerasnya persaingan tercermin dari penjualan iPhone yang anjlok 18,2% di China selama kuartal Desember 2024, menjadi kemunduran besar bagi perusahaan tersebut di pasar terbesarnya setelah Amerika Serikat (AS).
Laporan penelitian independen, Counterpoint Research, menunjukkan iPhone yang merupakan produk terlaris di China pada tahun sebelumnya, terpaksa menyerahkan posisi teratas pada Huawei.
Apple merosot ke posisi ketiga di pasar smartphone terbesar di dunia itu selama tiga bulan, dengan hanya menguasai sekitar seperenam pangsa pasar.
Menanggapi berbagai kerentanan ini, Apple telah berupaya untuk mendiversifikasi rantai pasokannya dengan menjajaki peluang manufaktur di India dan Vietnam.
Kedua negara tersebut menawarkan ekosistem manufaktur yang berkembang dan insentif pemerintah yang ditujukan untuk menarik perusahaan teknologi global.
Di India, Apple telah bermitra dengan perusahaan lokal untuk merakit iPhone, didorong oleh inisiatif ‘Buatan India’ pemerintah.
Demikian pula, Vietnam telah muncul sebagai lokasi strategis untuk memproduksi komponen dan perangkat yang lebih kecil, seperti AirPods.
Namun, meniru skala dan efisiensi yang telah dicapai oleh China dalam dua dekade terakhir, tetap menjadi tantangan berat yang harus dihadapi oleh CEO Apple Tim Cook.
Isu-isu seperti kesenjangan infrastruktur, pelatihan tenaga kerja, dan risiko geopolitik di wilayah-wilayah ini menambah kompleksitas upaya diversifikasi Apple.
Dengan segala kompleksitas yang dihadapi Apple, para ahli berpendapat bahwa, meskipun kemajuan telah dibuat, dominasi China dalam rantai pasokan Apple akan tetap bertahan dalam waktu dekat.
Baca Juga: Upaya Menahan Kenaikan Tarif, Apple Kirimkan 600 Ton iPhone