TEMPO.CO, Jakarta - Jalur menuju musala di gedung Energy Building, SCBD, Jakarta, berbelok-belok dan ada tangga pada struktur bangunannya. Seorang disabilitas netra perempuan, pada 5 Desember 2024, terlihat pelan-pelan menuruni anak tangga di musala itu sambil dipandu pendampingnya, menuju ke tempat wudu. Usai salat zuhur, dia kembali dipandu keluar musala. perempuan pemandu itu membantu mengambilkan sepatunya yang berserak dengan sepatu jamaah lain di lantai depan masjid.
Ade Yayang Latifah, 23 tahun, seorang tunanetra, mengakui sulit salat di luar rumah tanpa pendamping. Harus diakui, sebagian besar masjid atau musala di Indonesia belum ramah disabilitas. Misalnya, untuk masuk ke dalam, setiap orang harus menaiki tangga yang menyulitkan tunanetra dan disabilitas fisik. Sangat jarang ada struktur masjid tanpa anak tangga atau setidaknya menyediakan jalan khusus yang ramah bagi penyandang disabilitas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain tangga, kendala lain yang ditemui Ade saat hendak salat di musala atau masjid adalah tak mengetahui arah kiblat. Kondisi ini bisa terjadi kala masjid sedang sepi sehingga tak ada orang yang bisa ditanyai. Biasanya, untuk mengatasi kendala ini, Ade menggunakan aplikasi kompas digital yang ada di ponselnya. Sedangkan untuk wudu, Ade juga harus berhati-hati agar tak terpeleset.
“Marbot masjid kebanyakan laki-laki. Maka cara mengatasinya, saya minta dipandu dengan suara tanpa bersentuhan langsung atau dipegang bajunya saja sehingga tetap tak bersentuhan secara langsung kulit dengan kulit,” kata Ade, mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia di Universitas Pamulang, Tangerang Selatan, Banten.
Dosen Akuntansi di Universitas Gadjah Mada, Wuri Handayani penyandang disabilitas fisik, mengalami kendala serupa. Perempuan yang menggunakan kursi roda sejak 1993 setelah mengalami kecelakaan ini, mengeluhkan sulitnya beribadah di masjid lantaran umumnya struktur bangunan masjid menggunakan tangga sehingga menyulitkan disabilitas fisik untuk mengakses.
“Saya mendesak supaya tempat ibadah juga dibuat lebih aksesibel seperti yang dibuat di rumah sakit dan kantor-kantor pemerintahan. Ini sudah kami desakkan ke berbagai komunitas dan lembaga agar memfasilitasi hal ini,” ujar Wuri.
Dia bahkan pernah dilarang masuk masjid oleh marbot karena kursi rodanya disebut mengotori lantai. Kejadian diskriminatif ini membuat Wuri trauma salat berjamaah di masjid. Dia memilih salat berjamaah di lapangan hanya saat Idulfitri dan memilih salat wajib di rumah atau tempat kerja.
Bukan hanya itu, penyandang disabilitas fisik yang menggunakan kaki palsu, terkadang diminta harus melepas kaki palsunya saat masuk masjid. Padahal beberapa desain kaki palsu dibuat menyatu dengan sepatu. “Masa mereka harus merangkak (karena kaki palsu dilepas). Bayangkan betapa susahnya untuk ketemu Tuhan,” kata Wuri kepada Tempo, 5 Desember 2024.
Kendala beribadah juga dialami oleh difabel gerak yang beragama Hindu. Wuri menjelaskan pura dibuat berundak-undak karena ada kepercayaan semakin tinggi pura semakin dekat dengan Tuhan.
Menurutnya, rumah ibadah itu harus bisa diakses oleh semua ragam disabilitas. Bukan hanya infrastruktur secara fisik, tapi juga nonfisik seperti penyediaan bahasa isyarat atau TV dengan sub-title sebagai akses bagi kawan Tuli. Sebab beribadah adalah hak paling asasi dari manusia dan setiap orang ingin dekat dengan Tuhan.
“Bagaimana kami (difabel) bisa dekat dengan Tuhan kalau fasilitasnya saja tidak memungkinkan kami dekat dengan Tuhan,” ujarnya.
Seorang pengurus masjid perempuan di Masjid Nurul Iman, Jakarta Selatan, menjelaskan pada Tempo alasan melarang kursi roda masuk ke dalam area masjid. Umumnya lantaran roda kursi roda dikhawatirkan daapat mengotori lantai padahal masjid adalah tempat yang harus bersih.
Solusinya, orang dengan disabilitas fisik disediakan kursi agar bisa salat atau mendengarkan ceramah sambil duduk. Sedangkan untuk juru bahasa isyarat tidak disediakan sehingga difabel tuli belum terakomodasi.
“Kalau untuk juru bahasa isyarat, itu biasa ada ustadnya yang bawa sendiri saat mau ceramah. Kalau dari pihak masjid, kami tidak punya juru bahasa isyarat,” ujarnya.
Menjawab persoalan larangan kursi roda masuk masjid, Bahrul Fuad, Komisioner Komnas Perempuan dan Inisiator Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas, mengatakan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada 2018 telah menerbitkan buku fiqih disabilitas. Dalam buku itu dijelaskan,selama pada kursi roda tidak terlihat noda najis, termasuk unsur rasa dan bau, maka boleh dibawa masuk area utama masjid.
Pertimbangan Nahdlatul Ulama ini diambil lantaran tidak semua penyandang disabilitas fisik dapat melepaskan kursi roda, kaki palsu atau tongkat yang membantunya berjalan. Kendati peran alat pengampu tersebut diganti dengan kursi biasa di dalam masjid.
“Jalan itu dihukumi suci, asal tidak terlihat ada kotoran kucing. Maka, selama dilihat kursi roda itu tidak membawa bau, warna dan rasa sebagai bukti najis, maka enggak apa-apa masuk masjid, termasuk tongkat. Kecuali kalau kursi roda ada bau kotoran,” kata Bahrul Fuad kepada Tempo, 7 Januari 2025.
Ulama besar dari Mekah, Arab Saudi, Al-Bakri Muhammad Syatha ad-Dimyathi, dalam kitab fiqih I'anah al-Thalibin, menuliskan “Guru kami berfatwa yang isinya: dia ditanya tentang jalan raya beraspal yang diatasnya ada kotoran hewan, kotoran manusia dan kotoran anjing. Apakah dimaafkan status najisnya ketika ada hujan kemudian mengenai pakaian dan kaki? Guru tersebut menjawab: bagian yang sulit untuk dihindari dari hal tersebut dimaafkan di jalan raya karena najisnya merata di seluruh jalan, selama orangnya tidak dianggap jatuh, sengaja menginjak najisnya atau tidak menjaga diri”.
Buku fiqih disabilitas PBNU menjelaskan inti dari petikan kitab fiqih tersebut adalah kursi roda dan bagian bawah tongkat dengan segala bentuknya, tidak dihukumi najis ketika sudah dipakai menyentuh tanah, aspal atau jalanan dengan berbagai kondisinya. Yang dianggap najis adalah hanya ketika barang-barang tersebut sengaja menyentuh najis, contohnya kotoran hewan, muntah, nanah, darah dan lainnya.
Menurut Fuad, jika memang tempat ibadah itu, misalnya masjid, ingin bersih dari najis, maka petugas atau marbot masjid harus bisa menyediakan tempat wudhu yang bisa diakses disabilitas. Kalau tidak bisa, maka harus mau mengizinkan penyandang disabilitas masuk area utama masjid.
“Petugas di rumah ibadah harus diberi pemahaman bahwa disabilitas punya hak yang sama, baik sebagai warga negara dan sebagai umat yang ingin beribadah di fasilitas-fasilitas ibadah. Petugas atau marbot yang melarang disabilitas masuk tempat ibadah, itu berdosa. Sebab mempersulit orang yang mau beribadah. Dalam Islam, bahkan dianjurkan untuk mempermudah urusan umat dalam beribadah,” kata lelaki yang akarab disapa Cak Fu ini.
Infografis
Tempat ibadah bukan tempat yang ramah untuk disabilitas
Infrastruktur tempat ibadah yang secara umum terletak di tempat tinggi, menggunakan anak tangga berundak dan tempat bersuci yang hanya dapat diakses umat non disabilitas tidak hanya terjadi di Indonesia. Direktur United Nations Information Centre (UNIC) Jakarta Miklos Gaspar mengatakan Ada banyak tempat ibadah di dunia yang belum bisa diakses untuk penyandang disabilitas.
“Kalau sedang berkunjung ke rumah teman atau saudara, para penyandang disabilitas bisa ibadah di sana. Namun di luar itu, susah. Padahal ini penting, ini bagian dari HAM,” ujarnya.
Direktur Eksekutif dari Setara Institute for Democracy and Peace Halili Hasan mengingatkan difabel adalah kelompok minoritas. Kesulitan mereka beribadah bukan hanya ditemukan di masjid, namun ditempat ibadah lainnya. Dia mengkritik, ketika muncul gerakan untuk inklusi sosial, kelompok minoritas baru dipikirkan.
“Sejak awal, tempat ibadah itu tidak cukup kuat untuk mengakomodasi kalangan minoritas,” kata Halili, 10 Desember 2024.
Menurut Halili dalam menghadapi isu disabilitas ini, yang paling dibutuhkan adalah kebijakan afirmatif semua orang. Secara umum, sikap afirmatif itu harus tumbuh di masyarakat. Misalnya, perkara suci atau najis (kaki palsu atau kursi roda di masjid), seharusnya fikihnya digeser menjadi fikih darurat. “Kami ingin menjelaskan bahwa kita tidak punya cara pandang lebih afirmatif kepada minoritas,” kata Halili.
Dia menekankan agama memiliki ruang untuk hukum kedaruratan. Misalnya dalam Islam, ketika tidak ada air, maka bisa wudu dengan cara tayamum, dalam situasi darurat makanan haram pun bisa menjadi halal. Diakui Halili, sulitnya akses beribadah di fasilitas ibadah untuk umum, bukan hanya dialami umat Islam, namun juga agama yang lain. Sebab beberapa penganut agama itu, meletakkan agama sebagai ruang yang tidak memberikan afirmasi bagi kelompok disabilitas.
“Kelompok difabel memang tidak mendapat ruang untuk diperlakukan lebih layak dalam perspektif agama. Maka kalau kemudian mereka ‘menjauh dari agama’, itu karena ruang tersebut tidak disediakan. Mereka jadi menjauh dari tempat ibadah, persoalan utamanya adalah para pengurus tempat ibadah itu tidak menyediakan ruang afirmatif untuk kelompok difabel,” ujarnya.
Setara Institute belum memiliki jumlah tempat ibadah di Indonesia yang ramah untuk penyandang disabilitas. Halili mengingatkan pemerintah bertugas menerbitkan perizinan (pendirian rumah ibadah). Adapun soal kelayakan tempat ibadah bagi seluruh warga termasuk kelompok difabel, menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pengelola tempat ibadah.
Dia menilai pemerintah pada dasarnya pihak yang paling bertanggung jawab menyediakan fasilitas, termasuk fasilitas ibadah bagi penyandang disabilitas. Pemerintah adalah pemangku tugas dan kewajiban sehingga ketika ada hak warga negara yang tidak terpenuhi, maka negara yang harus bertanggung jawab.
Menanggapi sulitnya mengakses rumah ibadah bagi penyandang disabilitas, Kasubdit Kemasjidan Kementerian Agama Akmal Salim Ruhana menjelaskan pemerintah sudah menyediakan pedoman berupa Petunjuk Pelaksanaan Masjid Ramah yang diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama No.463 tahun 2024. Penerbitan aturan itu di antaranya berdasarkan pertimbangan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Dalam aturan itu, kata Akmal, di antaranya menjelaskan definisi masjid ramah adalah memberikan perlindungan dan sosialisasi pencegahan terjadinya tindak kekerasan, eksploitasi, diskriminasi dan perundungan pada anak penyandang disabilitas, lansia, dhuafa dan musafir di sekitarnya. Bukan hanya itu, masjid ramah juga membuat program rutin untuk meningkatkan pemahaman dan kapasitas tentang pemenuhan hak anak, para penyandang disabilitas, lansia, dhuafa dan musafir.
Untuk memudahkan mencari tempat ibadah ramah disabilitas, khususnya masjid, Kementerian Agama selain terus mengupayakan dalam mensosialisasikan penerapan konsep masjid ramah disabilitas agar bisa dilaksanakan merata di seluruh Indonesia, juga terus mengupayakan peningkatan fasilitas pencarian secara digital melalui ‘Simas’ sehingga kedepannya akan lebih mudah ditemukan
Sayang, Akmal belum bisa memberikan data mengenai jumlah rumah ibadah dengan fasilitas ramah disabilitas belum tersedia karena pendataannya masih dikembangkan agar lebih akurat.
Sebelumnya pada Oktober 2024, Presiden RI Prabowo Subianto, membentuk unit Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan, terkait dengan unit ini Akmal berharap Kementerian Agama bisa bersinergi dan berkolaborasi dalam membantu memfasilitasi penyandang disabilitas untuk beribadah.
Dia meyakinkan Kementerian Agama RI memfasilitasi para penyandang disabilitas dalam beribadah di tempat umum - bukan hanya berupa bantuan sarana dan prasarana, melainkan peningkatan kualitas SDM masjid yang mencakup pola pikir (mindset), kemampuan (skillset), dan sarana itu sendiri (toolset).