TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi memutuskan menghapus ketentuan ambang batas presiden atau presidential threshold 20 persen pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Putusan MK itu dibacakan pada Kamis, 2 Januari 2025.
Menurut Anggota Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo, putusan MK tersebut membawa implikasi yang kompleks bagi dinamika politik Indonesia. Di satu sisi, kata dia, putusan MK memberikan kesempatan besar bagi partai politik berpartisipasi dalam pemilihan presiden dengan bertambahnya jumlah pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden. Namun, di sisi lain, bertambahnya jumlah paslon tidak selalu menjadi pertanda positif.
“(Dengan) Penghapusan presidential threshold, diperkirakan jumlah pasangan calon presiden bisa meningkat dari tiga pasangan pada Pilpres 2024 menjadi lebih dari empat, atau bahkan enam pasangan pada Pilpres 2029,” kata pria yang akrab disapa Bamsoet itu dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta pada Kamis, 9 Januari 2024, seperti dikutip dari Antara.
Dia mengatakan, dengan kondisi itu, ada berbagai risiko yang berpotensi timbul, mulai dari fragmentasi politik, polarisasi, tingginya biaya politik, hingga munculnya calon berkualitas rendah, yang menjadi tantangan nyata.
Ketua MPR RI periode 2019-2024 itu menuturkan strategi yang tepat perlu dicari untuk menghindari terlalu banyaknya pasangan calon presiden, kualitas yang rendah, dan agenda politik yang sempit. Menurut dia, peningkatan jumlah kandidat dalam pilpres tidak selalu membawa indikasi positif bagi demokrasi.
Pengalaman di berbagai negara menunjukkan banyaknya kandidat dalam pilpres yang muncul sering kali disertai dengan latar belakang politik yang kurang matang, visi dan misi yang terbatas, serta keterwakilan politik yang tidak proporsional.
Politikus Partai Golkar itu mencontohkan Pilpres Brasil 2018 di mana terdapat 13 kandidat yang bertarung. Hasilnya, muncul banyak calon presiden dengan pengalaman politik yang minim, serta menciptakan kebingungan pemilih mencari figur pemimpin kredibel.
“Salah satu tantangan utama setelah penghapusan presidential threshold adalah menjaga kualitas kandidat. Masyarakat perlu cerdas dalam memilih dan mendorong partai-partai untuk mengusulkan calon presiden yang memiliki visi dan misi yang jelas, serta agenda yang luas dan inklusif,” ujarnya.
Selain soal kualitas, menurut Bamsoet, banyaknya kandidat dalam pilpres juga berpotensi menimbulkan polarisasi. Indonesia yang memiliki keragaman etnis dan budaya rentan terhadap perpecahan jika tidak dikelola dengan baik.
“Dengan banyaknya calon presiden yang ada, dapat dipastikan bahwa pemilihan presiden akan berlangsung lebih dari satu putaran yang akan menambah beban biaya pemilu bagi pemerintah,” kata dia.
Di samping itu, kata dia, pemilih perlu diberi edukasi memilih calon pemimpin yang berkualitas karena pemimpin yang dipilih jangan hanya berdasarkan popularitas atau citra semata.
“Perlu adanya peningkatan kapasitas partai politik dalam mengedukasi kader mereka mengenai pentingnya integritas dan kualitas kepemimpinan. Pelatihan dan pembinaan kader bisa membantu menyeleksi calon presiden yang lebih berkualitas guna meningkatkan daya saing dan kemampuan mereka,” kata dia.
MK Menghapus Ambang Batas Presiden di Undang-Undang Pemilu
Sebelumnya, MK resmi menghapus ketentuan ambang batas presiden, yang mengatur syarat pencalonan presiden dan wakilnya hanya bisa dilakukan oleh partai politik dan koalisi dengan minimal 20 persen kursi di DPR. Ambang batas itu tertuang dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan yang menghapus ambang batas itu, dengan nomor perkara 62/PUU-XXII/2024, pada Kamis, 2 Januari 2025. “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Suhartoyo saat membacakan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Suhartoyo mengatakan norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar NRI 1945. Selain itu, norma tersebut dinilai tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Adapun hakim MK Saldi Isra menyebutkan penentuan ambang batas ini juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable secara nyata bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945. Karena itu, hal tersebut menjadi alasan menurut MK untuk menggeser dari pendirian putusan sebelumnya.
Keputusan penghapusan ambang batas ini juga melalui beberapa pertimbangan lain oleh MK. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan pembentuk undang-undang dapat melakukan rekayasa konstitusional dalam merevisi UU Pemilu.
Rekayasa konstitusional ini dapat dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal. Yang utama, semua partai politik berhak mengusulkan calonnya masing-masing tanpa didasari persentase jumlah kursi di DPR maupun perolehan suara sah secara nasional.
Dalam mengusung calon, partai politik diminta tidak menyebabkan dominasi partai atau gabungan partai sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden. Hal ini dinilai bisa membuat pilihan lebih terbatas bagi para pemilih.
MK juga memerintahkan agar pembuat undang-undang melibatkan partisipasi semua pihak, termasuk partai politik yang tidak menduduki kursi di DPR. Hal ini sejalan dengan prinsip partisipasi publik yang bermakna atau meaningful participation.
M. Raihan Muzzaki dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Buntut Penembakan Bos Rental Mobil, TNI akan Evaluasi Penggunaan Senjata Api