TEMPO.CO, Jakarta - Dosen hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menyebut presiden tidak bisa semena-mena memecat kepala daerah yang dipilih oleh rakyat. Kepala daerah hanya bisa diberhentikan jika pemerintah menerapkan sistem berdasarkan penunjukan atau appointee oleh presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya kira pernyataan Menteri Dalam Negeri itu keliru ya. Bahwa proses keterpilihan kepala daerah itu melalui pemilihan kepala daerah. Jadi basis legitimasinya dari masyarakat. Jadi, enggak bisa lagi kemudian presiden secara semena-mena memberhentikan kepala daerah,” kata Herdiansyah saat dihubungi pada Sabtu, 1 Maret 2025.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian memperingatkan para kepala daerah bahwa mereka dapat diberhentikan meski mereka dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini disampaikan Tito saat acara retret kepala daerah di Akademi Militer, Magelang, Jawa Tengah, Jumat, 28 Februari 2025.
Belakangan, Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto menjelaskan pernyataan Tito tersebut. Ia mengatakan pemberhentian kepala daerah tetap melewati mekanisme undang-undang. “Jadi, bukan berarti dipilih langsung tidak bisa berhenti," ujar Bima Arya Sugiarto menjelaskan isi arahan Tito, Jumat.
Bima menjelaskan, indikasi kepala daerah bisa diberhentikan antara lain tidak melaksanakan program prioritas nasional, pergi ke luar negeri tanpa izin, dan diberhentikan ketika melakukan perbuatan tercela.
Herdiansyah menjelaskan, berdasarkan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, hanya ada tiga kondisi kepala daerah bisa diberhentikan, antara lain meninggal, mundur, atau diberhentikan. Pemberhentian pun ada syarat-syarat yang harus terpenuhi, misalnya, tidak dapat memenuhi tugas secara berkelanjutan selama enam bulan, terlibat korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta melakukan perjalanan luar negeri tanpa izin dari menteri.
“Karena diberhentikan pun itu bukan karena persoalan otoritas presiden. Jadi, enggak bisa dipahami bahwa pemberhentian kepala daerah itu otoritas presiden itu enggak ada sama sekali,” katanya.
Bahkan, kata Herdiansyah, larangan perjalanan ke luar negeri pun merupakan ketentuan prosedural dan bukan proses bagian otoritas Presiden. “Pemberhentian kepala daerah itu mekanismenya itu diusulkan oleh DPRD ke presiden setelah ada keputusan Mahkamah Agung. Jadi, keliru pernyataan Mendagri bahwa seolah-olah presiden yang punya otoritas itu,” katanya.
Terkait program startegis nasional, Herdiansyah mengatakan kepala daerah hanya wajib mematuhi program strategis nasional yang telah diatur oleh undang-undang. Misalnya, Undang-Undang (UU) yang mengatur Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN).
“Itu mesti ditaati baik pusat maupun daerah karena sudah menjadi program bersama secara nasional yang ditetapkan melalui undang-undang,” ujarnya.
Sementara dosen hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, mengatakan Undang-Undang Pemerintahan Daerah memang mengatur pemberhentian kepala daerah, termasuk tidak menjalankan program strategis nasional dan berpergian keluar negeri tanpa izin.
Yance mengatakan, ketentuan tidak menjalankan program strategis nasional diatur pada Pasal 67 dan 68 UU Nomor 23 Tahun 2014. Sementara berpergin ke luar negeri tanpa izin diatur Pasal 77 ayat (2) beleid yang sama.
“Terhadap pelanggaran tersebut dilakukan pemberhentian sementara selama 3 bulan oleh presiden untuk gubernur, lalu oleh menteri untuk bupati dan wali kota,” kata Yance.